Renungan Kamis: Mulai dari Dekonstruksi Patriarki hingga Curhat Colongan
Hari ini saya sampai di rumah (teman saya) dalam kondisi
basah kuyup. Pertama kalinya sejak hujan pertama jatuh di bulan November ini,
saya menghujani diri dengan air hujan. Sepertinya sudah jadi kebiasaan menahun
setiap kali musim penghujan tiba. Saya memilih untuk tidak memakai jas hujan,
selain karena repot, saya merasa perlu merasakan guyuran air yang langsung
turun dari langit. Setibanya di rumah teman saya (yang sudah 2 minggu saya
tumpangi), tidak ada orang di sana; seperti biasa. Sudah berhari-hari pemilik
rumah ini pergi ke luar kota, sementara teman serumahnya selalu pulang lebih
malam dibandingkan saya. Setibanya di rumah pun dia akan langsung pergi tidur.
Jadi, secara praktis, saya lebih banyak sendirian di rumah ini, seperti
sekarang ini.
Saya tidak langsung mandi, seperti biasa. Saya tidak
suka mandi sore, meskipun ada air hangat di sini. Kalau Mama tahu, ia pasti
akan memarahi saya, karena katanya, tidak mandi setelah kehujanan itu akan
membuat sakit. Yah, bisa separah apa sih sakit di badan, kalau jiwanya memang
sudah sakit? Anyway, saya menanak
nasi dan menggoreng tempe. Sudah 2 minggu ini saya tidak nafsu memakan sayur.
Malas memasak sayur, lebih tepatnya. Malas melakukan apapun, lebih tepatnya
lagi. Saya memakan nasi dan tempe seperti robot; tanpa selera. Saya memakannya
hanya atas kesadaran bahwa tidak boleh sakit secara fisik, setidaknya untuk
saat ini. Ini membuat saya teringat pada sebuah adegan di serial drama Korea
berjudul “Another Oh Hae Young”. Di
situ diceritakan si tokoh utama, Oh Hae Young, dicampakkan oleh tunangannya.
Ya, pernikahan mereka batal hanya satu hari sebelum hari-H. Berbulan-bulan
setelah itu, ia menjalani kehidupannya bagaikan zombie. Ia memberi makan tubuhnya, namun jiwanya kosong ketika
menyantap makanan itu. Yang saya rasakan, kurang lebih sama seperti Oh Hae
Young, meskipun dengan detail yang berbeda.
Setelah makan, saya duduk di atas lantai di ruang
televisi; melamun. Sembari menghabiskan sebatang rokok, saya memikirkan hari
ini. Hari yang luar biasa. Hari ini adalah hari yang bersejarah. Hari ini,
untuk kesekian kalinya, kampus Fisipol mengambil langkah berani untuk berada
dalam posisi vis a vis dengan induk
semang, yaitu Universitas.
Tentang
Dekonstruksi Patriarki
Masyarakat kita dijalankan dengan sistem patriarki.
Pertanyaannya: berapa persen dari seluruh populasi masyarakat Indonesia yang
sadar akan hal itu? Pertanyaannya lagi: berapa persen diantara mereka yang
sadar bahwa ada yang salah dengan
sistem patriarki tersebut? Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menerima
sistem patriarki sebagai sistem yang hadir secara serta-merta (taken-for-granted), bahwa sistem itu
sudah ada sedari awalnya dan tugas kita adalah melanggengkan sistem tersebut
dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat apabila kita ingin masyarakat kita
menjadi masyarakat yang “normal”. Sehingga, sistem tersebut menjadi mapan.
Bahkan, banyak dari mereka tidak sadar bahwa sistem tersebut bernama
‘patriarki’. Pada tataran ini, tugas kaum-kaum yang tercerahkan sesungguhnya
bermula dari akarnya: upaya dekonstruksi atas konstruksi sistem yang sudah
mapan tersebut.
Upaya dekonstruksi, dalam ranah apapun, selalu dimulai
dengan upaya pembangkitan kesadaran (awareness).
Kesadaran atas apa? Kesadaran bahwa ada yang salah dari sistem yang telah mapan yang berjalan dan terus
dilanggengkan oleh masyarakat hingga saat ini. Kita tidak akan pernah mencapai
upaya perbaikan sebelum upaya pembangkitan kesadaran ini dimulai. Dan
sesungguhnya, pada tataran global, upaya pembangkitan kesadaran ini sudah dimulai
sejak gelombang pertama gerakan feminisme terjadi. Lalu bagaimana dengan
Indonesia? Berbicara tentang upaya-upaya dekonstruksi patriarki dalam wujud
pemberdayaan perempuan memang sudah ada sejak zaman penjajahan. Sudah banyak
literatur yang membahas mengenai hal tersebut. Namun, pada tulisan ini saya
ingin menyorot pada linimasa 50 tahun terakhir. Upaya pembongkaran sistem
patriarki bisa dikatakan mati suri pada rezim Orde Baru. Ironisnya, menggunakan
“pemberdayaan perempuan” sebagai kedoknya, yang dilakukan oleh rezim ini justru
mengebiri perempuan dalam peran-peran sosialnya; bahwa sebaik-baiknya perempuan
adalah perempuan yang bisa menanak nasi dan menggoreng tempe, tanpa perlu
sekolah tinggi-tinggi atau mencapai jenjang karir setinggi mungkin.
Hal-hal sederhana namun memprihatinkan masih sering saya
temui pada pandangan masyarakat di era sekarang ini, sebagai warisan
peninggalan dari sistem patriarki yang dimapankan oleh rezim Orde Baru dengan
dalih “pemberdayaan perempuan”. Contoh: “Jangan kuliah S3 dulu sebelum menikah,
nanti nggak ada cowok yang mau lho!
Pada minder semua!” Contoh: “Jadi cewek nggak
usah terlalu ambisius mengejar karir, nanti kasihan anak-anaknya nggak keurus!” Contoh: “Jangan kelihatan
pintar-pintar amat kalau jadi cewek, yang penting cantik. Cowok itu sukanya
sama cewek yang nggak pintar-pintar
amat, tapi yang penting mau nurut sama dia.” Ayolah. Kalau diantara Anda-Anda
masih ada yang berpikiran seperti itu atau sejenis dengan itu, Anda layak
merasa malu pada diri Anda sendiri. Mengapa? Karena jelas ada yang salah dengan cara pandang seperti itu.
Bagaimana “salah”-nya? Uraian selanjutkan akan menjawab itu.
Pendapat-pendapat di atas merupakan contoh manifestasi
kecil dari sistem patriarki. Mengapa? Karena ada supremasi laki-laki di sana.
Mengapa laki-laki harus merasa minder pada perempuan yang berkuliah S3? Mengapa
perempuan yang mengejar karir dianggap tidak sanggup mengurus anak? Mengapa
laki-laki hanya menginginkan perempuan yang tidak pintar tetapi menurut
padanya? Mengapa perempuan harus tidak pintar supaya diinginkan oleh laki-laki?
Adakah jawaban rasional atas pertanyaan-pertanyaan itu? Apabila Anda terus
mengejar jawaban melalui pertanyaan-pertanyaan, maka Anda akan menemukan bahwa:
ini bukan masalah kodrat, melainkan manusia sendiri yang menciptakan
pembatasan-pembatasan atas peran-peran sosial laki-laki dan perempuan, yang
mana sesungguhnya telah merepresi tidak hanya perempuan itu sendiri, melainkan
juga laki-laki. Serendah diri itukah laki-laki sehingga perempuan harus lebih
merendahkan diri darinya supaya mereka dapat bersama? Tidak. Laki-laki lebih
dari itu. Laki-laki sejati bukan laki-laki yang sanggup lebih tinggi atau tidak
lebih rendah dari perempuan, melainkan laki-laki yang tidak merasa minder
ketika perempuan tidak lebih rendah daripada dirinya. Ilustrasi ini, inilah
upaya dekonstruksi.
Kesadaran bahwa ada yang salah dengan pola pikir yang dibentuk oleh sistem patriarki, serta
kesadaran bahwa pentingnya upaya dekonstruksi untuk dilakukan, merupakan pintu
gerbang bagi topik pembahasan berikutnya, yaitu mengenai gerakan anti kekerasan
seksual, yang hari ini berlangsung di kampus Fisipol UGM.
Tentang Gerakan
Anti Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan
Mengapa kemudian isu mengenai kekerasan seksual menjadi
masalah yang berkarat di tengah masyarakat kita? Karena pola pikir masyarakat
kita masih menggunakan logika patriarki, yang pada tataran ini, seringnya lebih
menyudutkan korban ketimbang pelaku. Sekarang bayangkan saja, berapa persen
orang yang masih berpandangan bahwa “perempuan lah yang harus menjaga tingkah
laku dan cara berpakaiannya supaya tidak diperkosa laki-laki”? Banyak. Dan
kenyataan itu memprihatinkan. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, selama ini
stigma sosial selalu menjerat korban. Mereka yang menjadi korban kekerasan
seksual pada praktiknya merasa takut untuk mengakui apa yang telah menimpa
mereka karena: masyarakat justru akan melekatkan stigma-stigma negatif pada
dirinya, alih-alih pada si pelaku; bahwa mereka lah yang ternoda, bahwa mereka
lah yang kotor, bahwa mereka lah yang sudah tidak memiliki harga diri. Di mana
letak keadilan sosial di sini? Tidak ada. Sila kelima dalam Pancasila sudah
ternodai.
Atas nama moral sosial itu, para korban dibungkam untuk
tidak berbicara mengenai pengalamannya, menjadikan pengalaman buruk tersebut
sebagai “aib” yang hanya pantas untuk ditutupi dan dikubur dalam-dalam. Hal ini
kemudian menimbulkan masalah berikutnya: psikologis. Secara psikologis, korban
mendapat tekanan berkali-kali lipat. Sudah ya mereka harus berhadapan dengan
trauma personal terkait kejadian yang mereka alami, ditambah lagi mereka harus
menghadapi penghakiman sosial yang terus memberi mereka tekanan dan trauma
tersendiri. Di sisi lain, yang terjadi pada pelaku, yang seringnya diuntungkan
dengan proses “menutupi aib” oleh masyarakat tersebut, penghakiman psikologis
tidak terjadi separah dengan apa yang terjadi pada korban. Ya, pada tataran ini
saya katakan bahwa: ada hierarki dalam sakit hati, dan hierarki itu dibentuk
sendiri oleh masyarakat dengan pola pikir dan logika patriarki mereka.
Pelaku, bahkan, dalam beberapa kasus, dengan sengaja
memanfaatkan kondisi masyarakat yang demikian ini dengan cara
menggembar-gemborkan cerita bahwa kejadian tersebut berlangsung atas dasar
kesepakatan bersama, dengan tujuan untuk lebih dulu “membungkam” paparan kisah
dari pihak korban yang sudah pasti bertolak belakang dengan apa yang ia katakan.
Oke, secara gamblang, begini ilustrasinya: si A menginisiasi aktivitas seksual
dengan si B, karena si B diam saja, si A menganggap si B tidak masalah dengan
hal itu dan melanjutkan kegiatannya, kemudian selepas kejadian itu, si A dengan
bangga membeberkan kepada teman-teman peer
group-nya bahwa ia telah melakukan aktivitas seksual dengan si B, sementara
di sisi lain, si B mengendapkan segala kejadian itu dalam proses traumatis,
sehingga setelah muncul kesadaran bahwa ia telah dilecehkan, ia hanya sanggup
bercerita ke kalangan terbatas saja. Apa hasil dari rangkaian kejadian itu?
Pertama, stigma mengenai si B di kalangan lingkar pertemanan si A (dan bahkan
mungkin lebih luas lagi, kita tahu bagaimana cerita dan rumor berkembang dari
satu lingkar ke lingkar yang lain) bahwa si B adalah orang “gampangan”, serta
segala bentuk julukan dan sifat negatif yang sanggup disematkan pada seseorang.
Kedua, apapun yang diutarakan si B setelah ia mendapatkan keberanian untuk
terbuka, akan dimentalkan sendiri oleh lingkungan yang sudah dikuatkan oleh
wacana yang disebarkan oleh A. Sehingga, perang wacana tidak terelakkan lagi di
sini.
Ada beberapa hal yang perlu saya tekankan di sini.
Pertama, “diam” atau “tak melawan” bukan berarti memberikan permisi. Meskipun
secara biologis seseorang bisa terangsang bahkan mencapai klimaks seksual,
namun secara psikologis bukan berarti ia “menikmati”. Secara psikologis, dapat
dipahami melalui infografis berikut ini.
Kedua, mengenai sanksi dan perkara hukum. Tidak dapat
dinafikkan bahwa hukum negara disusun berdasarkan logika patriarki. Pun dalam
implementasinya, hukum negara masih tidak dapat mengakomodir “keadilan” dalam
konteks sosial dan psikologis. Sungguh lucu ketika saya membaca salah satu
komentar mahasiswa Fisipol, yang meminjam komentar dari rekannya yang merupakan
mahasiswa Hukum, bahwa terkait kasus kekerasan seksual di wilayah kampus ini
tidak perlu dibesar-besarkan karena pelakunya sudah dikenai sanksi dari pihak
kampus, yang mana sanksi tersebut (berdasarkan info yang dituliskan pada komentar
yang sama tersebut) hanya berupa ‘mengulang’ (entah mana kuliah tertentu atau
ujian skripsi). Sekarang, pertanyaannya, lalu apa bedanya pelaku kekerasan
seksual dengan mahasiswa yang gemar membolos, kalau mereka sama-sama berakhir
dengan mengulang mata kuliah, saja? Lalu apa bedanya pelaku kekerasan seksual
dengan mahasiswa yang luput dalam mengerjakan skripsi mereka, kalau mereka
sama-sama berakhir dengan mengulang ujian skripsi, saja? Tidak ada. Jadi,
kriminal sama saja dengan mahasiswa pemalas dan bodoh? Dasar hukum apapun yang
digunakan oleh Universitas dalam menindak kejadian ini sudah jelas gagal paham
akan logika keadilan.
Ketiga, mengenai gerakan sosial anti kekerasan seksual. Gerakan
sosial, dalam ranah dan bentuk apapun itu, lahir melalui amarah masyarakat atas
kegagalan hukum dalam mengakomodir keadilan, terutamanya keadilan sosial dan
keadilan psikologis. Gerakan massa adalah hukum rimba, yang memberi penghakiman
terhadap pihak-pihak yang lolos dari jeratan hukum sosial dan psikologis. Gerakan
massa adalah vigilante; seorang
Batman bagi kota Gotham dan seorang Spider-Man bagi kota New York. Menyoal
kasus kekerasan seksual dalam institusi pendidikan, gerakan massa adalah
langkah awal untuk membukakan mata, untuk memberi kesadaran bahwa ada yang salah dalam sistem dan proses
rekonsiliasi yang didasarkan pada hukum institusi pendidikan, serta lebih jauh
lagi, untuk memberi upaya bagi dekonstruksi sistem patriarki yang masih sangat
kental dalam institusi pendidikan di Indonesia. Kasus Agni hanyalah satu dari
sekian banyak kasus ketidakadilan sosial dan psikologis yang dialami oleh
korban-korban kekerasan seksual, baik dalam institusi pendidikan pada khususnya
maupun dalam masyarakat Indonesia pada umumnya.
Tentang Hegemoni
Patriarki
Jujur, saya sedih mendapati masih banyaknya pihak yang
melalukan victim blaming dan victim shaming terhadap korban kekerasan
seksual, dengan dalih hukum (yang jelas-jelas pincang logika dengan aroma
patriarkinya yang kental), moral (yang jelas-jelas dikonstruksi oleh sistem
patriarki), dan sebagainya yang mereka bisa temukan untuk membenarkan aksi
mereka dalam “mempersalahkan korban”. Lebih sedih lagi bahwa masih ada orang
Fisipol yang melakukannya. Masih ada orang Fisipol yang terjebak dalam hegemoni
patriarki. Dan inilah dilema dari upaya dekonstruksi patriarki. Di
fakultas-fakultas selain Fisipol, hegemoni patriarki masih menancap kuat, namun
bukan berarti tidak ada orang di sana yang memiliki kesadaran bahwa ada yang salah dengan sistem yang sudah mapan
tersebut. Di Fisipol yang notabene merupakan fakultas paling vokal (dan paling
disegani) oleh seantero UGM dari masa ke masa (terutama pada masa pecahnya
gerakan Reformasi 1998, di mana motor penggerak sebagian besar datang dari
Fisipol), masih ada orang yang belum terlepas dari hegemoni patriarki. Dalam
konteks gender, masih banyak perempuan yang melanggengkan sistem patriarki,
meskipun telah banyak laki-laki yang memiliki kesadaran untuk berupaya terbebas
dari hegemoni tersebut.
Ya, kemungkinan bagi perempuan untuk mendukung patriarki
sama besarnya dengan kemungkinan bagi laki-laki untuk menentang patriarki. Ini
bukan permasalahan perempuan melawan laki-laki, melainkan soal kita melawan sebuah sistem yang sudah
mapan. Banyak laki-laki turut menandatangani petisi mendukung penyintas
kekerasan seksual hari ini. Sore tadi, sembari menunggu hujan yang tak kunjung
reda, saya berkesempatan mengobrol dengan beberapa dari mereka, para laki-laki
yang mendukung gerakan anti kekerasan seksual. Mereka adalah adik angkatan saya
di Departemen, yang sekarang berarti menjadi mahasiswa saya. Karena sebuah
proyek film dokumenter, saya mengenal mereka sehari-harinya, tidak hanya
sebagai senior-junior atau dosen-mahasiswa. Saya mengobrol banyak dengan
mereka, dan menariknya, menemukan bahwa hegemoni patriarki berada dalam rentang
antara alam bawah sadar (subconscious)
dan alam ketidaksadaran (unconscious)
mereka sebagai laki-laki.
Mereka menemukan bahwa mereka merasa minder dan tidak
percaya diri untuk “menggapai” perempuan yang mereka anggap “lebih” dari
mereka. Padahal, katakanlah, perempuan ini sudah memberi “lampu hijau” bagi
mereka untuk datang. Dan mereka menganggap rasa minder dan tidak percaya diri
itu sebagai suatu kewajaran. Mereka memasang standar-standar atau indikator
pencapaian yang harus mereka raih terlebih dahulu sebelum memberanikan diri
untuk mendekati perempuan tersebut. Di satu sisi, saya memahaminya. Itulah
hasil kreasi patriarki. Sedih namun nyata, sistem tersebut telah menuntut
laki-laki untuk serba “lebih” dari perempuan, dan di situ, tataran antara
aktualisasi diri dan relasi romantis antara pria-wanita menjadi kabur
batas-batasnya.
Di sisi lain, saya berpikir bahwa upaya dekonstruksi
patriarki juga perlu dilakukan dengan cara memisahkan antara tataran
aktualisasi diri seseorang dan tataran relasi romantis dirinya dengan orang
lain. Misalnya, seperti yang telah saya katakan kepada mereka sebagai masukan:
“ketika kita berusaha lulus kuliah, atau mendapatkan pekerjaan dengan gaji
tertentu, jangan lakukan untuk mendapatkan perempuan, tetapi lakukanlah untuk
dirimu sendiri. Ketika kita mengharuskan diri kita untuk menjadi kaya, jangan
lakukan untuk mendapatkan istri yang cantik dan seksi, tetapi lakukanlah untuk
dirimu sendiri. Itu aktualisasi diri. Nah, di tataran relasi romantis, jangan
berpikir bahwa semua perempuan hanya melihat kita dari atribut-atribut atau
materi yang kita miliki. Bisa jadi kita justru melewatkan orang yang tepat
ketika tengah sibuk mengejar aktualisasi diri yang kita campur-adukkan dengan
relasi romantis. Perempuan bukan cenayang. Mereka tidak akan tahu bahwa kalian
perlu meraih pencapaian tertentu sebelum datang ke mereka, dan mereka tidak
akan tahu segala pergolakan batinmu sebagai laki-laki ketika kalian diam saja.
Ketika mereka hadir dengan apa adanya, apa yang lantas membuatmu tidak percaya
diri untuk hadir dengan apa adanya juga? Toh kalian sama-sama manusia yang
saling tertarik pada satu sama lain.”
Perempuan juga memiliki rasa minder dan tidak percaya
diri, meskipun dalam spektrum yang bisa jadi berbeda, seperti yang saya katakan
juga ke mereka. Sistem patriarki telah membuat kami perempuan, baik disadari
maupun tidak, menjadi makhluk yang selalu merendah. Seringnya, demi menjaga ego
para laki-laki, perempuan memilih untuk menjadi subordinat mereka. Gerakan
feminisme, mulai dari gelombang pertama hingga kedua, dapat dikatakan cukup
berhasil mendekonstruksi diri perempuan pada tataran ini. Sekarang bisa dilihat
bahwa perempuan tidak lagi takut untuk mencapai jenjang karir yang tinggi, baik
di sektor swasta maupun pemerintahan. Namun, hal ini kemudian menimbulkan
permasalahan sosial lainnya: rasa minder laki-laki. Dan hal inilah yang menjadi
poros semangat gerakan feminisme gelombang ketiga atau yang biasa disebut
sebagai feminisme kontemporer; bahwa kesetaraan bukan persoalan perempuan
melawan laki-laki, melainkan soal kita
melawan sistem yang telah merepresi kita secara sosial dan psikologis.
Banyak relasi romantis pria-wanita yang kandas karena
permasalahan semacam ini, yang kini sudah menjadi permasalahan sosial. Dan
parahnya, sebagian besar masyarakat mendukung sistem yang melahirkan
permasalahan tersebut. Contohnya, laki-laki yang memiliki istri yang jauh lebih
sukses secara karir dan finansial dianggap masyarakat bukan laki-laki sejati.
Ayolah, masyarakat! Hanya karena pasanganmu lebih sukses darimu, bukan berarti
kamu adalah laki-laki tidak sejati. Hanya karena pasanganmu lebih sukses
darimu, bukan berarti ia memandangmu lebih rendah. Hanya karena pasanganmu
lebih sukses darimu, bukan berarti ia tidak membutuhkanmu. Terkadang,
permasalahan justru muncul bukan dari kedua belah pihak yang berelasi,
melainkan dari lingkungan mereka; dari pola pikir lingkungan mereka yang masih
terhegemoni oleh patriarki. Permasalahan sosial semacam ini, tentunya, tidak
bisa hanya disadari dan diupayakan penyelesaiannya oleh perempuan saja. Upaya
ini memerlukan kerjasama pihak laki-laki.
Perempuan tidak memiliki tanggung jawab moral untuk
merendahkan diri mereka demi meningkatkan rasa percaya diri laki-laki. Rasa percaya
diri laki-laki pun tidak semata-mata hadir hanya karena rendahnya perempuan.
Ini semua soal aktualisasi diri. Ini semua soal pemenuhan ego. Dan kita perlu
menelisik ulang, apakah ego yang kita miliki tersebut hadir secara serta-merta
dari dalam diri kita, atau dibentuk oleh konstruksi sosial yang didasarkan pada
sistem patriarki ini? Kita perlu menelisik ulang, apakah selama ini kita telah
mencampuradukkan antara aktualisasi diri dan relasi romantis? Apakah kita telah
melukai perasaan pasangan kita, baik secara langsung maupun tidak, atas nama
pemenuhan ego diri kita sendiri? Orang sering berpikir bahwa mereka tahu yang
terbaik, kemudian mendorong pasangannya pergi karena berpikir bahwa itu adalah
hal terbaik yang bisa mereka lakukan. Namun seringnya mereka salah, karena hal
terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan menghadapi segalanya bersama. Dan
kini, sudikah kita menurunkan ego kita sedikit untuk mengakui bahwa kita telah
melakukan kesalahan?
Sekejap
badai datang mengoyak kedamaian,
Segala
musnah, lalu gerimis, langit pun menangis.
Kekasih...
andai saja kau mengerti,
Harusnya
kita mampu lewati itu semua, dan bukan menyerah untuk berpisah.
Kekasih...
andai saja kau sadari,
Semua
hanya satu ujian ‘tuk cinta kita, dan bukan alasan untuk berpisah.
-KLA Project,
Gerimis
0 komentar