Kembali (yang Tak Pernah Benar-Benar Pergi)
Rasanya aneh, namun
menyenangkan, bisa kembali ke tempat ini sebagai sesuatu yang berbeda. Sepuluh
tahun yang lalu, pertama kali saya memasuki Fisipol UGM, lebih tepatnya di
Jurusan Ilmu Komunikasi, adalah sebagai mahasiswa baru. Bocah yang baru saja
lulus SMA dan mencoba menapaki pendidikan dalam tingkatan yang lebih tinggi.
Tidak ada ekspektasi apapun. Saya ingat hanya ada rasa penasaran, sekaligus
rasa girang karena berada di lingkungan baru dan bertemu dengan orang-orang
baru. Tanpa saya duga, di sini saya bertransformasi menjadi orang yang ‘baru’,
dengan ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan dan ukir di sini.
Ketika saya
pikirkan lebih lanjut, saya tak pernah benar-benar pergi dari tempat ini. Empat
tahun setelah saya masuk, tepatnya setelah status saya berubah dari mahasiswa
baru menjadi mahasiswa bangkotan,
saya bergabung dengan pusat studi di jurusan yang baru saja didirikan, yang
pada waktu itu bernama Newmesis (New Media Studies). Setahun kemudian saya lulus
menjadi sarjana. Dan saya terus berada di Newmesis, mencoba mengembangkan
instansi yang masih bayi tersebut. Tidak terasa, dua tahun berlalu sejak saya
lulus sarjana, dan saya didorong untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang
lebih tinggi lagi.
Tiga tahun yang
lalu, tepatnya, saya mulai menduakan Fisipol dan Jurusan Ilmu Komunikasi dengan
Sekolah Pascasarjana dan Kajian Budaya dan Media (KBM). Setengah waktu saya
habiskan di KBM, sementara setengahnya lagi saya tetap berada di jurusan
sebagai anggota Newmesis. Dalam prosesnya, banyak turbulensi terjadi; mulai
dari bergantinya nama ‘jurusan’ menjadi ‘departemen’ hingga perombakan struktur
Newmesis menjadi pusat kajian Decode (Digital Media and Communication Research
Center), yang merupakan integrasi antara pusat studi dan laboratorium Ilmu
Komunikasi.
Sebagian besar
hari-hari saya selama sepuluh tahun belakangan ini saya habiskan di kampus.
Namun, ada yang berbeda dengan hari ini. Hari ini saya datang sebagai sosok
yang ‘baru’ lagi; sosok yang telah ditempa selama sepuluh tahun, sebagai
mahasiswa S1, mahasiswa S2, asisten peneliti, maupun peneliti. Hari ini saya
datang sebagai dosen; sebagai staf pengajar resmi di Departemen Ilmu
Komunikasi. Apakah ini adalah suatu pencapaian? Orang lain bisa jadi menganggapnya
demikian. Namun bagi saya, ini adalah suatu bentuk tanggung jawab.
Setelah saya
sadari, saya dibesarkan oleh keluarga saya menjadi orang yang sadar akan
tanggung jawab. Saya harus menuntaskan apa yang sudah saya mulai, seberat
apapun itu. Mungkin karena itu juga, bagi saya ‘menyerah’ bukanlah sebuah
pilihan, karena saya diajari untuk tidak lari dari masalah, melainkan
menghadapinya. Saya masuk ke sini sebagai dosen adalah bentuk tanggung jawab
saya; sebuah penuntasan akan enam tahun perjuangan saya menghidupkan sebuah
pusat studi di tingkat Jurusan/Departemen. Mengapa? Karena saya tahu, meskipun
ia telah hidup, untuk dapat mengembangkannya, saya harus masuk menjadi bagian
dari Departemen, sebagai dosen.
Saya juga sadar
betul bahwa langkah saya ini menimbulkan serangkaian tanggung jawab baru.
Layaknya sebuah game, bagi saya,
rangkaian tanggung jawab tersebut adalah level-level yang harus dituntaskan.
Rangkaian tanggung jawab tersebut membuat saya hidup. Rangkaian tanggung jawab
tersebut memberi makna bagi eksistensi diri saya. Bukan, itu bukan pencapaian;
dan terlalu dangkal apabila ‘pencapaian’ diukur berdasarkan status dan/atau
materi. Itu adalah tugas yang harus saya emban. Menjadi sarjana adalah tugas.
Menjadi master adalah tugas. Menjadi dosen adalah tugas. Menjadi manusia adalah
tugas.
Lalu apa yang saya
sebut sebagai pencapaian? Bagi saya, pencapaian adalah penuntasan atas tanggung
jawab dalam tugas-tugas tersebut. Sudahkah saya menjadi sarjana yang layak
disebut sarjana? Sudahkah saya menjadi master yang layak menyandang gelar
master? Sudahkah saya menjadi dosen yang pantas sebagai dosen? Belum. Belum ada
pencapaian itu. Namun bukan berarti mustahil. Dan saya percaya bahwa manusia
diciptakan untuk tidak berhenti belajar dan berproses.
Bukannya saya bermaksud
untuk sok bijak sok menganalisis, hanya saja, terkadang kita tak sanggup
memahami diri kita sendiri ketika jiwa dan pikiran tengah terbutakan oleh
emosi. Oleh karena itu kita butuh perspektif lain. Dan untuk dapat menerima
perspektif tersebut, kita harus lebih dahulu mengendapkan emosi kita. Tidak
banyak orang yang mendengar untuk memahami; kebanyakan mereka mendengar hanya
untuk menanggapi. Tidak banyak orang yang membaca untuk mengerti dan menerima;
kebanyakan mereka membaca untuk meneguhkan pemikirannya sendiri atau bahkan
membantah apa yang mereka baca. Dan saya masih terus belajar; mendengar untuk
memahami dan membaca untuk mengerti dan menerima.
Saya masih terus
berproses....
Saya sudah berjanji
pada Departemen untuk mengabdi. Dan janji harus dipenuhi; seberat apapun itu.
Janji adalah hutang. Janji, layaknya dendam dan rindu, harus dibayar lunas.
Janji, layaknya karma, harus dibayar tuntas. Menyerah bukanlah pilihan, karena
itu berarti mangkir dari janji dan tanggung jawab. Menyerah tidak pernah
menjadi solusi, karena itu berarti melarikan diri dari pokok permasalahan.
Layaknya manusia dengan segala sifat betina dan jantannya, saya memegang janji
saya.
Oleh karena itu,
apapun yang akan terjadi nanti, seberat apapun beban yang akan saya pikul,
sekasar apapun jalan yang akan saya lewati, sebesar apapun kendala yang akan
saya hadapi, saya akan selalu mencoba mengingat hari ini. Sebanyak apapun
rintangan yang harus saya lalui, saya akan mengingat hari ini; hari pertama di
mana saya dipenuhi gairah dan semangat. Hari pertama di mana saya dipenuhi
dengan tekad dan ketulusan. Hari pertama di mana saya dilimpahi rasa rendah
hati dan empati untuk terus belajar dan belajar dan belajar. Saya akan
mengingat hari ini.
Kelak, saya tahu
akan ada hari di mana saya merasa begitu lelah. Akan ada hari di mana saya
kehilangan rasa percaya diri. Akan ada hari di mana saya kehilangan keyakinan
dan pegangan. Akan ada hari di mana saya limbung dan terjatuh. Akan ada hari di
mana saya ketakutan dan cemas. Akan ada hari di mana saya ingin melarikan diri
dan menyudahi segalanya. Kelak, ketika hari-hari seperti itu tiba, saya akan
mengingat hari ini. Saya akan mengingat janji saya. Saya akan mengingat alasan
mengapa saya mulai pada awalnya. Saya akan mengingat apa yang saya rasakan hari
ini. Saya akan membaca kembali tulisan ini, dan saya akan mengingatnya.
Sepuluh tahun lalu,
saya masuk sebagai mahasiswa. Kini, sepuluh tahun kemudian, saya kembali
sebagai dosen. Meskipun memang, saya sebenarnya tidak pernah benar-benar pergi.
Sementara, teduhlah hatiku, tidak lagi jauh,
belum saatnya kau jatuh.
Sementara, ingat lagi mimpi, juga janji-janji,
jangan kau ingkari lagi.
Percayalah hati lebih dari ini, pernah kita lalui,
jangan henti di sini.
-Float, Sementara
0 komentar