Tentang Cinta, Jarak, dan Ilusi: dalam Refleksi HUT Kota Yogyakarta
Sepanjang pagi tadi
menengok linimasa media sosial sudah diramaikan dengan ucapan atau dokumentasi
peringatan hari ulang tahun Kota Yogyakarta. Iya, sebagai catatan, yang
berulang tahun itu sebenarnya wilayah administratif Kota Yogyakarta, bukan
Daerah Istimewa Yogyakarta (sebagai provinsi), apalagi Kabupaten Sleman,
Bantul, Kulon Progo, atau Gunung Kidul. Jadi, bagi saya cukup lucu ketika
orang-orang memperlakukan hari ini seolah menjadi hari ultah seluruh DIY, tapi
ya mau bagaimana lagi, perayaan HUT Kota Jogja memang yang paling terkenal
dibanding HUT wilayah lainnya di DIY. Jadi, meskipun selama berkuliah di UGM
para mahasiswa sebenarnya berdomisili di wilayah Kabupaten Sleman, yang ikut
mereka rayakan adalah HUT Kota Jogja. Ya, anggap saja sudah mewakili semangat
ke-Jogja-annya ya. Anggap saja, wilayah administratif Kota Yogyakarta sudah
bisa cukup mewakili nama “Yogyakarta”.
Saya dilahirkan di
Yogyakarta (Kabupaten Sleman, lebih tepatnya), tumbuh besar hingga akhirnya
berkuliah dan bekerja juga di kota ini. Sehingga saya punya beribu alasan untuk
merasa heran pada orang-orang yang datang dari luar kota yang begitu
mengagung-agungkan kota ini. Saya menemukannya pada orang-orang terdekat saya,
yaitu teman-teman saya sendiri yang banyak berasal dari luar kota. Teman-teman
kuliah S1 saya dulu, yang sekarang sudah kembali ke kampung halaman
masing-masing atau pergi bekerja di kota lain, sering sekali mengungkapkan
bahwa mereka merindukan kota ini; bahwa mereka ingin kembali. Dan pada tataran
ini saya bisa memahami beribu alasan yang mereka miliki untuk mendambakan
Yogyakarta. Mulai dari biaya hidup yang relatif murah, jalanan yang tidak
sepadat ibukota, serta masih banyak lagi.
Ada juga orang-orang
yang bahkan tidak pernah memiliki riwayat tinggal di Yogyakarta, namun begitu
mengagung-agungkan kota ini. Saking tertambatnya, mereka sampai jauh-jauh ke
sini untuk berwisata, menjalankan sesi foto prewedding,
atau bahkan mencari jodoh orang asli Jogja supaya punya alasan untuk sering
mengunjungi kota ini. Saya tidak tahu harus merasa bangga atau sedih. Bangga,
karena kota yang mereka dambakan adalah kampung halaman saya. Sedih, karena di
tengah orang-orang yang begitu tertambatnya dengan kampung halaman saya ini,
saya justru mulai merasa terasing di kota yang telah menjadi rumah selama 28
tahun kehidupan saya di dunia.
Hubungan saya
dengan Jogja bisa dikatakan merupakan hubungan benci-tapi-cinta (love-hate relationship), yang sebenarnya
wajar terjadi pada relasi dengan tingkat intimasi yang sangat dalam. Ya, saya
mengakui bahwa saking dekatnya saya dengan Yogyakarta, relasi saya dengan kota
ini menjadi relasi benci-tapi-cinta. Saya mencintai kota ini dengan sepenuh
hati, dengan seluruh kedekatan saya dengannya. Namun saya dalam kedekatan
tersebut, serta dalam rasa cinta saya yang tulus, saya masih bisa menaruh benci
pada kota ini, karena saya mengenalnya luar-dalam; dan tak ada satu pun yang
sempurna untuk dicintai dengan sepenuhnya di dunia ini, kecuali ilusi. Semua
itu terjadi karena faktor ‘jarak’. Kecintaan yang berlebihan akan meniadakan
jarak; kita menjadi fanatik terhadap sesuatu yang kita cintai tersebut, bahkan
bisa jadi cenderung obsesif. Kebencian, walaupun sedikit, akan menciptakan
jarak, sehingga kita masih memiliki ruang untuk mampu bersikap kritis terhadap
sesuatu yang kita cintai tersebut. Cinta dan benci, keduanya, secara bersinergi
akan menyeimbangkan jarak.
Pada tataran ini,
saya menangkap pemahaman mengenai sikap orang-orang yang begitu mendambakan
Yogyakarta tadi, seperti yang saya paparkan sebelumnya. Mereka bisa begitu
dengan sangat amatnya mendambakan kota ini karena ‘jarak’. Baik secara fisik
maupun emosional, mereka terlampau jarak yang jauh dari kota ini. Oleh karena
itu, muncul ilusi dalam diri mereka mengenai ketiadaan jarak tersebut. Cinta
yang fanatik dan obsesif tersebut muncul dari realita bahwa sebenarnya mereka
tidak memiliki tingkat intimasi yang dalam dengan kota ini. Hal ini juga
menjelaskan mengapa seseorang bisa begitu sangat tergila-gila pada orang yang
tidak pernah sempat mereka miliki untuk waktu yang lama, orang yang hanya
pernah hadir sementara saja dalam kehidupan mereka, atau orang yang pernah
menjalani kebersamaan hanya untuk sesaat saja dengan mereka; karena mereka
tidak pernah sempat mengenal sosok orang tersebut secara luar-dalam untuk waktu
yang lama, sehingga mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk merasa benci
pada orang tersebut, karena mereka sebenarnya tidak pernah benar-benar mengenal
sosok tersebut. Yang mereka kenal adalah sisi yang sempat ditunjukkan dalam
kurun waktu yang hanya sementara tersebut. Sehingga sesungguhnya, yang mereka
cintai dan idam-idamkan adalah ilusi mengenai sosok tersebut. Begitu pula
dengan kota ini.
Kenyataan yang
menyedihkan adalah: seringkali orang-orang lebih senang untuk terperangkap
dalam ketidaksadaran ilusi, ketimbang membuka pikiran untuk menghadapi realita
yang banal. Apalagi dalam hal mencintai. Bagi saya, hal tersebut
memprihatinkan. Selain karena kenyataan bahwa mereka enggan keluar dari
gelembung mereka sendiri, juga karena ketulusan yang mereka ciptakan
sesungguhnya adalah semu. Bagaimana kita bisa menahbiskan diri bahwa kita
mencintai seseorang dengan tulus, ketika bahkan kita tidak pernah benar-benar
mengenal sosok yang kita klaim sebagai orang yang kita cintai tersebut? Pada
tataran ini, saya berani berkata bahwa cinta saya untuk Jogja adalah tulus;
karena di tengah banyak hal yang telah menyakiti dan mengecewakan saya tentang
kota ini, saya masih mencintainya.
Orang-orang
terhanyut dalam romantisasi mereka sendiri atas kota ini. Sama seperti
orang-orang yang terhanyut dalam romantisasi mereka akan kasih-tak-sampai. Kota
ini tak tergapai bagi mereka, setidaknya untuk saat ini, seperti kisah
kasih-tak-sampai yang tak tergapai oleh mereka. Kisah kasih-tak-sampai itu
terus mereka romantisir sebagai upaya penciptaan intimasi, yang sesungguhnya
hanyalah ilusi. Dalam konteks kota Yogyakarta, saya mewajarinya. Toh, dari segi
ekonomi kapitalis, romantisasi tersebut mendatangkan keuntungan finansial bagi
kota ini, setidaknya.
Oke, sebelum saya
lebih melantur ke mana-mana lagi, saya hanya ingin mengucapkan selamat ulang
tahun bagi Kota Yogyakarta. Meskipun dirimu makin macet, meskipun dirimu makin
panas dan gerah, meskipun dirimu makin sesak, saya tahu bahwa banyak hal dalam
dirimu yang sanggup menyamankanku, seperti sloganmu: Berhati Nyaman. Semesta
menyertaimu, kotaku. Semoga aku tidak semakin kehilanganmu.
Di
persimpangan langkahku terhenti,
Ramai
kaki lima menjajakan sajian khas berselera, orang duduk bersila,
Musisi
jalanan mulai beraksi, seiring laraku kehilanganmu,
Merintih
sendiri, ditelan deru kotamu.
-KLA
Project, Yogyakarta
Tags:
birthday
cinta
hari ulang tahun
HUT
ilusi
jarak
kota yogyakarta
thoughts
ulang tahun
yogyakarta
0 komentar