Pesan Damai yang (Mungkin) Terabaikan
Pagi ini, linimasa saya diisi oleh beberapa unggahan
tentang upacara bendera. Oh, iya, saya kemudian ingat bahwa hari ini
diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Hmmm... ingin rasanya saya tidur
lagi... tetapi kemudian saya disadarkan pada kenyataan bahwa hari ini adalah
hari Senin. Dan saya harus memulai aktivitas.
Baru kemarin saya menulis perihal sudut pandang saya
terhadap pelanggengan isu “bahaya laten komunis dan kebangkitan PKI gaya baru”
(lihat “Balada (Akhir) September (yang Tidak Pernah) Ceria”), hari ini saya
digugah lagi oleh isu seputar hal tersebut. Ya, bicara soal tragedi 1965 memang
merupakan suatu rangkaian kejadian, yang salah satunya berujung pada penentuan
tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila; yang saya pahami sebagai
upaya penguasa rezim Orde Baru pada waktu itu untuk mengokohkan narasi
propagandanya, demi relasi kuasa. Pertanyaan saya: masih perlukah hari ini
diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila?
Menurut saya, Pancasila sebagai pandangan hidup yang
luhur bagi bangsa kita ini tidak perlu perayaan khusus untuk membuktikan
kesaktiannya. Hal yang penting tidak terletak pada perayaan, melainkan pada
pemaknaan dan pengamalan dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Sama halnya dengan
agama, Pancasila tidak perlu dibela, melainkan dimaknai dan diamalkan. Seperti
halnya dengan agama, Pancasila tidak menginginkan sesama manusia saling
menghujat dan membunuh demi dirinya, melainkan sesama manusia untuk saling
menyayangi dan menghormati hak dan kewajiban satu sama lain. Apabila kita
memahami esensi Pancasila yang dirumuskan oleh para founding fathers negara kita, maka kita akan mengerti bahwa
Pancasila sudah sakti tanpa perlu adanya perayaan ini. Perayaan ini, di sisi
lain, hanyalah konstruksi dari sebuah rezim, yang ironisnya, digunakan untuk
membungkam satu sisi kelam dari bangsa kita. Dan hal itu, menurut saya, justru
bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri. Sedih, bukan?
Sedih memang. Sungguh bangsa ini telah banyak membuat saya merasa sedih.
Saya memaknai bahwa Pancasila, selayaknya agama, mencoba
menyebarkan pesan damai kepada seluruh jiwa yang mengamalkannya. Iya, pesan
damai, bukan pesan hujat-hujatan, tuduh-tuduhan, asumsi tanpa landasan data,
apalagi pesan kebencian terhadap suatu kelompok masyarakat tertentu. Pancasila
membawa pesan damai dan persatuan, bukan pesan untuk menindas dan
mendiskriminasi suatu kelompok masyarakat tertentu. Pancasila membawa pesan
damai dan menyembuhkan luka, bukan reproduksi atas ketakutan yang menguak
kembali luka-luka lama sekaligus menabur luka-luka yang baru.
Siang ini saya dikirim pesan melalui aplikasi WhatsApp
oleh salah satu sosok yang saya hormati dan sayangi. Saya tidak ingin bercerita
tentang pesan tersebut, melainkan tentang pengirimnya, karena beliau
mengingatkan saya pada satu hal penting yang belum sempat saya singgung pada
tulisan kemarin. Namanya ibu Nani Nurrachman. Beliau adalah putri dari almarhum
Mayjend Sutoyo (dalam ejaan lama ditulis “Sutojo”), salah satu jenderal yang
dibunuh pada tragedi 1965. Saya memiliki kehormatan untuk kenal dengan sosok bu
Nani sejak tahun 2016 lalu melalui sebuah proyek film dokumenter. Adalah ibu
Svetlana Dayani, yang mengenalkan saya pada bu Nani. Bu Svet sendiri adalah
putri dari almarhum Nyoto (dalam ejaan lama ditulis “Njoto”), Menteri Negara
yang juga merupakan Wakil Ketua PKI ketika tragedi 1965 berlangsung. (Pada
tahun 1966, Nyoto diculik dan hingga saat ini tidak ada keterangan yang jelas
mengenai apa yang terjadi pada beliau selepas penculikan tersebut, bahkan
tanggal meninggalnya apabila ia telah meninggal, serta lokasi pemakaman
jenazahnya.)
Singkat cerita, bu Nani dan bu Svet sudah menjalin
pertemanan selama bertahun-tahun sejak mereka berkenalan melalui sebuah
komunitas yang bernama FSAB (Forum Silaturahmi Anak-anak Bangsa), di mana para
keturunan sosok-sosok dari berbagai aliran politik berkumpul dan melakukan
diskusi bersama. Bu Nani sendiri, meskipun dibesarkan dalam keluarga militer,
kini telah sanggup melihat dan memahami lebih luas daripada dogma dan narasi
yang ia dapatkan pada sepanjang masa kecil dan mudanya dulu. Misi bu Nani kini
adalah menyebarkan pesan damai kepada seluruh masyarakat Indonesia, semampu
yang ia bisa; bahwa sudah saatnya bagi masyarakat kita untuk beranjak dari isu
yang terus membuat kita terpecah-belah. Bagi bu Nani, ada hal yang jauh lebih
penting, yaitu membenahi mental dan psikologis bangsa ini, yang berarti
membenahi mental dan psikologis masyarakat Indonesia.
Begitulah, saya hanya ingin memberi ilutrasi bahwa
kedamaian itu bukan hal yang mustahil untuk dicapai dalam kaitannya dengan isu
sensitif satu ini. Namun, dengan satu catatan: kita bisa terbebas dari
gelombang narasi yang terus melanggengkan ketakutan imajiner. Dengan
membebaskan diri dari cengkeraman propaganda tersebut, kita akan sanggup
melihat bahwa orang-orang yang dibunuh, dibantai, diculik, dipenjara tanpa
pengadilan, disiksa, dan dilanggar HAM-nya, adalah manusia. Mengutip dari
tulisan Iqbal Aji Daryono:
“Sesungguhnya mereka bukan “mereka”, Saudara. Mereka adalah kita. Mereka lahir dari rahim kehidupan kita, bagian tak tersangkal dari diri kita yang nyata.”
Propaganda dalam konstruksi sosial telah menciptakan
pembenaran atas tindakan-tindakan yang jauh melampaui batas-batas nalar dan
batas-batas kemanusiaan. Apakah kita tidak sanggup terbebas dari itu semua?
Sebagai manusia yang dianugerahi akal dan pikiran, seharusnya kita semua
sanggup terbebas dari itu semua. Seharusnya kita semua mampu kembali pada
kemanusiaan dan mencapai kedamaian. Kita semua adalah manusia di bumi
Indonesia; selayaknya kita harus menyadari itu, dan mencoba untuk melihat
segalanya lebih dekat lagi.
Sisi sisi
sisi ...
Jangan
banyak bicara, terhalang suara
Kadang
kita terlupa, arti dari makna
Sisi sisi
sisi ceria ...
Sisi sisi
sisi manusia ...
Sisi sisi
sisi yang sebenarnya ...
-Matajiwa,
Sisi Sisi
0 komentar