• Home
  • Download
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Social
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Entertainment
  • Travel
  • Contact Us

footer logo

pieces of me



Don’t they know, that most of the times,
human’s perception is misguided?
It gives you the somewhat meaning
that is different from rationality,
It traps you in the delusion of things
                    that are far away from reality,
And how do you feel when your perception is misguided?
      Or do you possibly have no idea to be aware that it is misguided?
Aren’t you afraid? Aren’t you ashamed?
      When others can clearly see that your perception is misguided,
      And you’re the only one who’s not able to see, or know, or even feel.

M.F
Wrote by Mashita Fandia



You’ve taught me love, efforts, and perseverance,
You’ve given me all the money in the world cannot buy,
You’ve showered me with strength, affection, and patience,
You’ve given me all the power in the world cannot pay.

Your soft hands that used to hold me when I cried are now getting weaker as time goes by,
Your warm smile just as heartfelt as it has always been and it gives me strength to go on,
Your small body that used to carry me before I was born is now getting older as time passes by,
Your soft voice just as heartwarming as it has always been and it gives me passion to move on.

In your eyes, I know what you’ve been through and how strong you’ve endured,
In your eyes, I know what you feel and how deep the affection you have for us,
In your eyes, I know what you’re praying for and how sincere your hopes are,
In your eyes, I see love, I see the endless warmth of a woman I called Mom, I see life.

You know I’ve always been a weird and insolent one,
But I’m always ready to give my everything whenever you ask for,
And you know I’m often not capable to confess my feeling toward anyone,
But let me just show you through this how much I love you more and more.

And today, let me give my gratitude towards the universe,
For letting you born into this world,
For giving you the life,
And let me give my gratitude towards you,
For being born into this world,
For carrying me and giving life to me,
For living strongly, passionately, and perseverance,
For never giving up on me and always believing in me,
I thank you. Thank you. Thank you.

M.F

* In celebration of my Mother’s birthday. May she lives happily and healthily, and many joyful returns. With all the love in the world, your first-born daughter.


Wrote by Mashita Fandia


Mungkin saya masih dalam euforia kelulusan pada sidang tesis yang lalu. Mungkin saya mulai memasuki fase kehampaan sindrom-setelah-lulus. Apapun itu, yang jelas, saya merasa aneh. Beberapa hari yang lalu saya sudah selesai mengurus yudisium, yang itu berarti saya hanya tinggal mengurus berkas-berkas untuk wisuda pada bulan Oktober nanti. Sebentar lagi, status “mahasiswa” akan ditanggalkan dari diri saya. Bersamaan dengan itu, secara resmi satu gelar baru akan disematkan pada diri saya, yaitu Master. Pada tulisan sebelumnya tentang berproses bersama tesis, saya mengungkapkan betapa bahagianya ketika kerja keras dan usaha saya selama mengerjakan tesis akhirnya terbayar lunas di ruang sidang. Kini, setelah proses yudisium selesai, saya merasa resah bukan main. Mungkin karena saya sadar, bahwa seiring dengan pencapaian seseorang, maka sesungguhnya semakin bertambah besar tanggung jawab yang ia pikul untuk peradaban.
Selesai tesis, lulus S2, dan meraih gelar Master bukan akhir dari perjalanan, melainkan suatu awal dari babak perjalanan yang baru. Seseorang tidak boleh bersuka cita terlalu lama dan larut dalam kebahagiaan atas pencapaiannya. Ia harus segera sadar dan bangkit untuk melakukan sesuatu yang lebih besar lagi. Dan itu yang sedang saya resahkan sekarang. Saya harus mulai dari mana?
Setelah sempat kebingungan, saya memutuskan untuk mengulas kembali proses pembelajaran yang saya lalui selama S2 tiga tahun terakhir ini. Mungkin dari situ saya sanggup mendapatkan pencerahan. Dan kalau Anda tidak keberatan, saya ingin mengajak Anda untuk turut serta dalam perenungan saya atas proses pembelajaran itu melalui tulisan ini.
Saya menempuh pendidikan S1 di Jurusan (sekarang menjadi Departemen) Ilmu Komunikasi UGM, di mana positivisme menjadi paradigma yang menjalankan roda keilmuan pada lembaga pendidikan tersebut. Sebelum lulus dari sana, saya telah direkrut untuk bekerja pada pusat studi yang berada di bawah naungan jurusan tersebut. Hingga lulus, bahkan hingga saat ini, saya terus berada di sana. Sebenarnya, alasan saya memulai pendidikan S2 adalah alasan yang cukup strategis dan cenderung pragmatis: saya butuh gelar dalam bidang pekerjaan yang saya tekuni, yaitu sebagai peneliti dan akademisi. Yang menarik kemudian adalah saya menemukan bahwa UGM memiliki sebuah program studi (prodi) di Sekolah Pascasarjana yang bernama Kajian Budaya dan Media (KBM). Walaupun sebenarnya saya telah mengetahui keberadaan prodi tersebut sejak saya masih S1, saya tidak benar-benar menginginkannya hingga saya tahu apa yang dipelajari di sana. Beberapa bulan setelah lulus S1, saya mulai bimbang apakah harus melanjutkan sekolah di KBM atau Ilmu Komunikasi murni, di saat gelar yang akan didapatkan sama (lulusan S2 KBM dan Ilmu Komunikasi UGM hingga saat ini mendapatkan gelar Master of Arts atau disingkat M.A).
Diri saya terus bergulat dengan kebimbangan tersebut hingga tidak terasa dua tahun berlalu (saya lulus S1 pada tahun 2013, tetapi baru melanjutkan S2 pada tahun 2015), dan saya pun didesak waktu untuk menjatuhkan pilihan. Saya lupa persisnya kejadian apa, atau mungkin tidak secara khusus merujuk pada satu kejadian saja melainkan rangkaian peristiwa, namun pada akhirnya saya memiliki keputusan yang bulat untuk memilih KBM. Pertama, saya ingin bertemu dan lebih tepatnya, diajar, oleh orang-orang baru. Apabila saya melanjutkan di Ilmu Komunikasi, saya akan bertemu dosen-dosen yang sama ketika saya S1 dulu, yang beberapa sudah menjadi teman saya sendiri karena pekerjaan yang saya jalani. Di KBM, saya memiliki kesempatan untuk diajar oleh dosen-dosen dari jurusan lain karena KBM adalah prodi multidisiplin (oleh karena itu ia berada di Sekolah Pascasarjana, karena bidang keilmuannya adalah multidisiplin. Sejauh ini, pengajar di KBM berasal dari Ilmu Komunikasi, Sosiologi, Ilmu Sejarah, Antropologi, Sastra, dan Ilmu Budaya). Kedua, dan ini menjadi alasan yang paling signifikan, adalah saya ingin belajar.
KBM, seperti halnya Cultural Studies di belahan dunia lain, memiliki paradigma kritis dalam menjalankan roda keilmuannya. Ya, saya harus mengakui bahwa pilihan untuk melanjutkan studi di KBM pada akhirnya menjadi pilihan yang tidak lagi strategis dan pragmatis, melainkan idealis. Semester pertama saya cukup tertatih dalam menggeser paradigma dari positivisme ke kritis, terlebih karena saya masih bekerja di institusi dengan paradigma positivisme. Apabila saya hanya menggeser saja maka tidak menjadi masalah, namun yang harus saya lakukan adalah “bolak-balik” antara dua paradigma yang jauh bertolak belakang. Bahkan hingga saat ini, harus saya akui, itu adalah proses yang melelahkan. Namun, meskipun saya cukup tertatih pada semester pertama karena upaya penyesuaian diri tersebut, saya mensyukuri satu hal: di KBM saya menemukan rumah bagi benak dan pikiran saya.
Di KBM saya mendapatkan kesempatan untuk mempelajari lebih dalam sosok-sosok yang hanya sanggup saya idolakan secara diam-diam sebelumnya (yang hanya disentuh sedikit sekali ketika S1 dulu): Karl Marx, Adorno dan Horkheimer, Stuart Hall, Sartre dan Beauvoir, dan terutama Foucault. Selain itu, saya mendapatkan kesempatan untuk mengenal sosok-sosok pemikir luar biasa lainnya: Guy Debord, Bordieu, Baudrillard, Deleuze, Walter Benjamin, Angela McRobbie, dan masih banyak lagi. Gairah saya untuk belajar berada dalam posisinya yang paling puncak. Saya bersemangat. Perasaan hangat sekaligus menggebu seperti yang saya rasakan ketika menjadi mahasiswa baru S1 pada tahun 2008 lalu. Ditambah lagi, belajar di KBM tidak hanya sekadar memahami dan mengulas pemikiran para pemikir hebat, melainkan juga mengkritisi pemikiran-pemikiran tersebut. Terlebih lagi, belajar di KBM berarti tidak hanya melihat fenomena sosial dalam konteks makro, melainkan dalam konteks mikro. Saya semakin bersemangat.
Saya menemukan rumah bagi benak dan pikiran saya yang resah. Menariknya, saya menemukan bahwa latar belakang paradigma positivisme yang saya miliki ternyata memberi saya pemahaman yang lebih komprehensif dalam melihat suatu fenomena. Ternyata, kedua paradigma yang bertentangan itu, setelah saya pelajari dan pahami, justru memberi keutuhan pada lingkaran cara berpikir saya. Belajar di KBM membuat saya sanggup melihat hal positif dari hal yang terburuk, sekaligus hal negatif dari hal yang terbaik. Belajar di KBM membuat saya memahami jalannya sistem dunia dan dampak yang ia timbulkan bagi kemanusiaan. Belajar di KBM tidak hanya mengajari saya untuk bermimpi akan kehidupan yang ideal, melainkan sekaligus menjadi rasional dalam melihat realitas dalam kehidupan sehari-hari dari berbagai perspektif; untuk tidak melewatkan aspek “konteks” dalam setiap fenomena sosial yang terjadi.
Belajar di KBM merupakan anugrah sekaligus kutukan; anehnya, saya menikmati kedua sisi tersebut beserta jalin-kelindan yang hadir diantara keduanya. Ada beberapa hal dalam pembelajaran di KBM yang menempatkan saya dalam pergolakan batin yang luar biasa; anehnya, pergolakan batin itu saya nikmati sebagai bagian dari proses hidup dan berpikir. Kita berpikir maka kita ada, bukan? Dengan demikian proses berpikir itu sendiri membuat saya merasa hidup dan ada. Hal pertama adalah tentang kapitalisme. Kita berada dalam era kapitalisme lanjut, yang tentunya tidak lahir dan terbentuk dalam waktu semalam layaknya legenda Candi Prambanan. Kapitalisme sendiri merupakan sistem yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan adaptif bahkan terhadap kritik dan protes yang menerpanya. Hal itulah, salah satunya, yang menyebabkan sistem kapitalisme bertahan hidup bahkan hingga mencapai tahap kapitalisme lanjut seperti sekarang. Meskipun sebagian dari kita sadar bahwa sistem ini merugikan sebagian kelas masyarakat dan menciptakan kesenjangan sosial, sebagian dari kita pun tahu bahwa sistem ini menguntungkan sebagian kelas masyarakat. Selama masih ada yang diuntungkan, sistem ini tidak akan pudar; ia hanya akan bertransformasi. Bahkan, mereka yang tadinya tidak diuntungkan pun akan tergerak untuk menyeberang ke sisi yang diuntungkan. Apakah kita yakin bahwa sistem ini yang membentuk masyarakat? Ataukah sebenarnya masyarakat sendiri yang membentuk sistem ini? Menurut saya, mengatasi dampak sosial yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme tidak akan terwujud dengan berkurang atau hilangnya sistem kapitalisme itu sendiri.
Miris namun nyata, kapitalisme tidak akan berkurang; ia hanya akan berubah bentuk. Dan itu adalah realitas yang harus kita hadapi. Mimpi hanya sekadar mimpi tanpa diiringi aksi nyata dalam upaya mewujudkannya. Ketika kapitalisme yang sudah langgeng tersebut menjerat masyarakat dan tak dapat dihilangkan, yang dapat kita lakukan adalah meminimalisir residu yang ditimbulkan olehnya. Apakah kapitalisme sejahat itu? jawabannya adalah iya dan tidak; semua tergantung pada konteks kepada siapa Anda bertanya. Menurut saya, bukan kapitalisme yang jahat, melainkan bentuk penindasan yang lahir sebagai akibat dari sistem tersebut. Apakah kita bisa keluar dari penindasan tersebut? Jawabannya adalah selalu bisa. Semua tergantung pada pilihan kita. Sayangnya, sebagian besar dari kita merasa bahwa pilihan itu tidak ada. Padahal, rasa itu hadir melalui konstruksi sistem sosial. Jangan salahkan mereka yang memilih untuk menjadi bagian dari kapitalisme. Siapa tahu, dari sanalah mereka mendapatkan eksistensi diri di tengah masyarakat yang menekan mereka. Pun jangan tertawakan mereka yang memilih untuk membebaskan diri dari jeratan kapitalisme. Sebelum dapat meminimalisir residu dari kapitalisme, masyarakat selayaknya memiliki kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak baik-baik saja di dunia yang tampak baik-baik saja ini. Untuk memiliki kesadaran tersebut dan melihat fenomena secara komprehensif, masyarakat selayaknya memiliki mentalitas yang kuat; dan sayangnya, itu yang sering luput dari perhatian.
Pembahasan mengenai residu kapitalisme, penindasan, pilihan, kesadaran, dan mentalitas kemudian mengarahkan saya pada hal kedua, yaitu kelas sosial. Sistem kapitalisme telah melahirkan satu kelas masyarakat yang merupakan mayoritas secara kuantitas, namun lemah dalam segi kualitas kuasa, yaitu kelas pekerja. Sebagian besar dari kelas pekerja mengeluhkan jam kerja yang tidak manusiawi, katakanlah, 5 sampai 6 hari kerja dalam seminggu dengan rata-rata waktu 8 jam perhari. Namun, ketika bicara mengenai alokasi waktu kerja kelas pekerja, permasalahannya jauh lebih kompleks; sekarang, kelas pekerja di negara mana yang kita bicarakan? Kemudian, kelas pekerja yang seperti apa dan dari institusi atau industri yang mana? Karena kelas pekerja sendiri terdiri dari banyak golongan. Apabila Anda bekerja di institusi pemerintah, mungkin Anda memprotes jam kerja Anda yang “5 sampai 6 hari kerja dalam seminggu dengan rata-rata waktu 8 jam perhari” itu. Namun, apabila Anda bekerja sebagai buruh, maka memiliki jam kerja seperti itu sudah merupakan anugrah.
Permasalahannya, jam kerja yang sama tidak dapat diberlakukan untuk seluruh industri dan institusi, karena beban kerjanya pun berbeda. Selain itu, beberapa industri dan institusi telah memiliki jam kerja yang fleksibel. Apakah mereka bukan bagian dari kapitalisme? Tentu saja mereka adalah bagian dari kapitalisme; seperti yang telah saya paparkan di atas, ini adalah era kapitalisme lanjut, di mana permasalahan jam kerja hanya menjadi masalah sebagian kelas pekerja saja. Kembali, kita memiliki pilihan; jam kerja seperti apa yang kita inginkan? Kita sesungguhnya memiliki pilihan untuk memilih industri atau institusi yang menawarkan jam kerja yang sesuai dengan keinginan kita. Mengapa beberapa orang memilih untuk bertahan di agensi iklan dengan jam kerja yang gila-gilaan? Salah satunya, karena gaji yang diberikan sebagai kompensasi atas jam kerja itu pun tidak sedikit. Pun ada pula mereka yang tidak tahan dengan jam kerja itu sehingga memilih untuk hengkang dari agensi; memilih pekerjaan dengan jam kerja yang lebih sedikit, meskipun itu berarti mereka akan mendapatkan gaji yang berbeda dibandingkan gaji sewaktu di agensi. Itu kembali kepada pilihan masing-masing.
Residu yang ditimbulkan dari persoalan jam kerja kelas pekerja adalah berkurangnya waktu dengan keluarga. Hal ini menuntun saya pada hal ketiga, yaitu keluarga. Ada banyak alasan mengapa seseorang kemudian menempatkan dirinya dalam sistem kapitalisme sebagai pekerja. Salah satunya adalah untuk menghidupi keluarga mereka. Kita tentunya menyayangkan bahwa banyak orang tua yang kemudian lebih sibuk bekerja ketimbang mengurus anak mereka di rumah. Hal ini kemudian berimbas pada berbagai permasalahan sosial lainnya, karena keluarga adalah struktur sosial paling mikro bagi seorang individu. Namun, apakah pengurangan jam kerja semata menjadi solusi atas permasalahan keluarga ini? Mungkin iya, pada awalnya. Namun sesungguhnya, permasalahan keluarga adalah persoalan kultur dan pola pikir. Siapa yang menjamin bahwa dengan menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga akan membuat seseorang lebih bahagia? Tidak ada yang bisa menjamin itu. Di sisi lain, bagaimana dengan mereka yang merasa tidak memiliki kedekatan emosional dengan keluarga mereka? Mereka akan cenderung menghabiskan waktu senggangnya untuk melakukan sesuatu yang tidak berkaitan sama sekali dengan keluarga. Masing-masing keluarga memiliki kultur dan pola pikir masing-masing, sehingga pengurangan jam kerja adalah solusi yang kurang tepat untuk mewujudkan keharmonisan keluarga.
Saya kemudian menyadari, bahwa permasalahan yang paling mendasar mengenai jeratan sistem kapitalisme lanjut ini, bagi kelas pekerja, adalah mengenai kesadaran dan mentalitas individu. Sistem ini tidak akan runtuh dengan mudah. Ketika kita di bawah, katakanlah, sebagai pegawai, kita mungkin memiliki mimpi untuk mengubah sistem ini apabila kelak kita berada di atas sebagai penentu kebijakan. Namun, saya berani bertaruh, ketika kita telah sampai pada titik itu kelak, tidak akan semudah itu dalam mengambil kebijakan. Begitu banyak pertimbangan yang harus kita pikirkan. Satu solusi yang membebaskan kalangan tertentu belum tentu menjadi solusi yang membebaskan bagi kalangan lainnya. Satu solusi atas permasalahan tertentu bisa jadi justru menimbulkan permasalahan lainnya. Konflik akan selalu ada. Oleh karena itu, individu kelas pekerja selayaknya memiliki kesadaran bahwa mereka memiliki pilihan; dan hanya dengan cara sesederhana itu, sesungguhnya, individu mampu melepaskan diri dari sensasi atas jeratan kapitalisme, atau setidaknya, sanggup memiliki sensasi atas kebebasan.
Apabila kita merasa senang dengan pekerjaan kita meskipun membuat kita kelelahan dengan jam kerja yang gila-gilaan, maka jalani saja. Apabila kita merasa tidak tahan dengan jam kerja yang kita miliki dan merasa diperbudak atas itu, kita bisa mencoba mencari pekerjaan lain. Apabila kita tidak yakin bahwa kita bisa mendapatkan pekerjaan lain, kita bisa mencoba menciptakan lapangan pekerjaan baru. Apabila kita tidak memiliki modal untuk membuka usaha, kita bisa mencoba mencari pinjaman. Apabila kita tidak dapat menemukan pinjaman, kita bisa mencoba untuk memulai dari apa yang telah kita punya. Manusia adalah makhluk paling adaptif di muka bumi ini, dengan akal yang mereka miliki. Sesungguhnya yang membuat kita merasa terjebak dalam sistem kapitalisme adalah kondisi di mana kita merasa hidup untuk orang lain, seperti hidup untuk bekerja, hidup untuk mengabdi pada negara, hidup untuk perekonomian,hidup untuk melayani masyarakat, hidup untuk menafkahi keluarga, hidup untuk industri, dan lain sebagainya. Sehingga, seringnya kita lupa, bahwa hakikat hidup adalah untuk diri sendiri.
Bagian yang menurut saya paling berbahaya dari sistem kapitalisme lanjut adalah matinya “kemanusiaan”. Dalam kaitannya dengan kelas pekerja, sistem kapitalisme lanjut mematikan “kemanusiaan” dengan menjadikan kelas pekerja sebagai robot alih-alih manusia. Dibandingkan apapun, hal itu bagi saya menjadi sesuatu yang paling miris, mungkin karena saya bekerja dalam institusi pendidikan, yang sayangnya turut melanggengkan sistem tersebut dengan mencetak “robot-robot yang terampil” alih-alih “manusia yang berpikir dan tercerahkan”. Sebuah robot tidak hidup. Eksistensinya ditentukan atas tujuan dari si majikan pembuat robot tersebut. Ia ada untuk sistem. Apa kita mau menjadi robot yang hanya menjalankan apapun demi pemenuhan tujuan majikan kita, yaitu sistem sosial itu sendiri? Oleh karena itu, pada hakikatnya, apapun pilihan yang kita tentukan, pastikan kita ada untuk diri kita sendiri, sebagai manusia, yang memiliki hakikat kemanusiaan. Sebelum kita mengabdikan diri untuk tujuan yang ada di luar diri kita, pastikan kita dapat hidup untuk diri kita sendiri.
Apapun pilihan yang kita tentukan, pastikan kita memilihnya untuk hidup kita, untuk memberi makna pada diri kita. Di samping itu, kita perlu memiliki kesadaran bahwa “pilihan” yang kita miliki pun adalah anugrah. Ketika kelas pekerja memiliki pilihan, masih banyak kelas sosial yang bahkan tidak memiliki pilihan. Oleh karena itu, alih-alih mengeluhkan sistem yang sudah langgeng ini atau memusingkan cara meruntuhkan sistem yang sangat adaptif ini, kelas pekerja dapat membuat pilihan untuk memberdayakan kelas-kelas sosial tanpa pilihan tersebut. Namun satu hal yang penting, jangan lupa untuk hidup untuk diri kita sendiri.  Hidup untuk diri kita sendiri berbeda dengan egosentris. Hidup untuk diri sendiri adalah menyadari bahwa kita memiliki pilihan. Dengan kesadaran itu, kita akan memiliki keberanian untuk mengejar apa yang sebenarnya kita inginkan dan butuhkan, bukan apa yang sistem sosial konstruksikan kepada kita untuk kita inginkan dan butuhkan. Sistem sosial menuntut kita untuk mapan, dengan indikator bahwa kita memiliki pencapaian tertentu, misalnya jumlah gaji tertentu atau status pernikahan. Namun apabila dalam prosesnya kita merasa tertekan dan menderita dalam memenuhi indikator-indikator tersebut, kita sebenarnya dapat membuat indikator kita sendiri ketika kita sanggup melakukan dekonstruksi atas indikator yang telah ditetapkan sistem sosial; inilah upaya pembebasan diri.
Indikator “kebahagiaan” bagi setiap orang pun berbeda-beda. Ketika sebagian dari kita merasa tidak bahagia dengan jam kerja yang dimiliki, belum tentu orang lain merasakan hal yang sama. Siapa yang bisa menjamin bahwa mereka tidak menemukan kebahagiaan dalam menjalani pekerjaannya, terlepas dari berapapun jam kerja yang ia miliki? Ketika sebagian dari kita merasa bahagia menghabiskan waktu bersama keluarga, belum tentu orang lain merasakan hal yang sama. Siapa yang tahu bahwa orang-orang itu ternyata malah mendapatkan depresi dari waktu-waktu yang mereka habiskan bersama keluarga? Ketika sebagian dari kita merasa menjadi budak dari sistem sosial, belum tentu orang lain merasakan hal yang sama. Ketika sebagian dari kita merasa tertindas dan dilecehkan oleh struktur patriarkal, belum tentu orang lain merasakan hal yang sama. Permasalahannya terletak pada kesadaran atas konstruksi sosial. Apakah yang selama ini kita pasang sebagai indikator merupakan bentukan dari sistem sosial, atau murni berasal dari pemikiran kita sendiri? Kemudian, apakah aksi yang telah kita lakukan selaras dengan pemikiran kita, atau sesungguhnya justru secara ironis menjadi wujud ambivalensi dan hipokritas yang semakin melanggengkan sistem sosial?
Yah, seluk-beluk kapitalisme hanya salah satu dari sekian banyak fenomena yang mencerahkan, memperkaya, sekaligus meresahkan benak dan pikiran saya berkat proses pembelajaran di KBM. Buah-buah pemikiran yang lain telah dan akan saya tuangkan dalam seri “thoughts” dalam weblog ini. Pada akhirnya, dunia ini adalah dunia yang tidak baik-baik saja; namun, setiap problema memiliki konteksnya masing-masing, sehingga satu solusi besar saja tidak akan cukup menyelesaikan permasalahan dunia ini. Sekarang, setelah lulus, tanggung jawab yang saya emban pun bertambah besar seiring dengan gelar yang bertambah pada nama saya; yaitu tanggung jawab untuk mencerahkan masyarakat, untuk membuat kita semua peka terhadap permasalahan sosial, untuk membuat kita semua sadar dan mampu dalam melihat satu fenomena melalui berbagai sisi, untuk membuat kita semua menjadi individu yang terbuka atas proses diskusi dan belajar. Saya pun masih dan akan tetap belajar untuk itu. Membaca buku sebagus apapun akan kurang bermakna apabila tidak diimbangi dengan diskusi yang mencerahkan. Meraih gelar setinggi apapun akan kurang bermakna apabila tidak memberi kontribusi bagi masyarakat. Masih banyaknya permasalahan sosial dan ketidakpekaan individu dalam melihat fenomena menjadi motivasi bagi saya. Jalan masih panjang. Menjadi master bukanlah akhir, melainkan awal. Semoga semesta memberkati.

Di sini ada satu kisah, cerita tentang anak manusia,
Menantang hidup bersama, mencoba menggali makna cinta,
Tetes air mata mengalir di sela derai tawa,
Selamanya kita tak akan berhenti mengejar matahari.
-Ari Lasso, Mengejar Matahari
Wrote by Mashita Fandia


Isn’t it scary, walking on a tightrope, seeing the whole world down below?
Isn’t it scary, thinking that you can freefall anytime without someone to catch?
Just how many more sleepless nights till I can be in your arms to ease this sorrow?
Can’t you feel that this world is too harsh to fight all alone in the match?
When the night is too cold, would you be there to catch me whenever I fall and blow?
When the world is disappointing us, would you still hold me, or just let me bleed and watch?

M.F
Wrote by Mashita Fandia


It’s easy to find someone else’s mistake and be mad at them for that mistake. It’s easy to find someone else’s drawback and become angry at them for it. What’s hard is to accept that mistake is indeed being made every now and then, since we’re human after all. What’s hard is to embrace that everyone has their own lacks, and there are no better human than the others, only context. No matter how mad or angry or disappointed we are at someone, don’t compare them to anyone else; moreover, don’t compare them to our own selves, for no one can really understand how it feels to be on someone else’s shoes. The least we can do is that we are given the heart to accept, to embrace, to give empathy, and moreover, to be patient. No matter how angry we are towards the life, please remember to not throwing away the only person who’s willing to be there for us when the whole world is turning its back against us. Remember the person who’s always there for us whenever we hit the rock bottom. Remember the person who’s not only listening to our shits, but also giving their endless efforts to support us.

“Please let my love effloresce in your heart, so that it blooms into reality. For a long time I’ve been in thirst the caress of a man, hopefully being with you, my life is cheerful.” –Nike Ardilla, Voice of My Heart (Suara Hatiku)

Whenever I feel down from disappointment, there is this one song that always success in soothing my weary heart. It’s a song titled “Voice of My Heart (Suara Hatiku)”, performed by the late Indonesian lady rocker, Nike Ardilla. The rock ballad track was served as the title song taken from the album of the same name, which was released posthumously in 1996, approximately a year after her sudden death in 1995. When it was first released, the song was already familiar for Indonesian people, for it was released prior in Malaysia under the title “I Won’t Make Any Voice (Aku Tak Akan Bersuara)” before she passed away. “Voice of My Heart (Suara Hatiku)” was written by Saari Amri and Adit OB, with the late Indonesian actor, Ryan Hidayat, starred in the music video of the song. I don’t know, but I always love to see Nike and Ryan together. I think they are match made in heaven, like literally; I really hope they end up together in heaven now.


"Voice of My Heart (Suara Hatiku)" album cover | source: Musica Studios

Sometimes, good intentions are misunderstood. And it’s very easy to misunderstand someone’s good intention when our mind is covered in anger. It’s easy to misunderstand someone’s sincerity when our judgment is clouded by the past resentment. And most of the times, sadly, the misunderstanding occurs between two people who actually care for each other the most. Yes, sometimes our good intention is easily misunderstood by the person we hold most dear. And no matter how many times it has been happened before, it still hurts the same every time it happens. It’s a mental breakdown for us. It’s devastating us since we don’t know anymore how to open up their heart and mind so that they can read between the lines and understand our real intention. We are neglected, when all we want is just to love them with all of our heart. “Please let my love effloresce in your heart, so that it blooms into reality. For a long time I’ve been in thirst the caress of a man, hopefully being with you, my life is cheerful.”
However, I do believe that good intention will eventually prevail. I do have the faith that sincere love will always prevail. Sincere love will never waver in front of money and wealth. You can call me naive or hypocrite, but this is what I really think. When we love someone, we shouldn’t love them for money or wealth or other superficial things that could disappear in a moment. We love them for their beautiful soul. And when we love someone that way, we won’t make any voice when we know that they are lacking. And when we love someone that way, we won’t look for another person we think is better. We won’t compare them to anyone else; because we know they can’t be compared. And nothing is compared to them. “I won’t make any voice though you are lacking, it’s just your devotion that I hope for. I won’t make the second though the sparkle is tempting, my love and affection remain completely for you. It’s just that I ask from you to be forever faithful, therefore this love is eternal, dear, that’s what I pray for.”
When we love someone sincerely, our mind won’t be shaken by material things. When we love someone sincerely, our heart won’t be tempted by other people. When we love someone sincerely, we love them for all they are; we love all of them, not only their brightest side, but also their darkest side. When we love someone sincerely, we’ll always be there for them, no matter how hard or difficult the situation is. When we love someone sincerely, we won’t ask for material things; instead, we would wish for their devotion, since we give them too. When we love someone sincerely, we would hope for their faithfulness, since we give them too. When we love someone sincerely, we would expect for sincerity too. It is natural that we need reciprocity in romance relationship. For it takes two to tango, hence we can’t be the one carrying all the baggage. For when the feeling isn’t reciprocal, it hurts. For when the sincerity is one-sided, it hurts. “It will never happen, the wreck of our love, if only your heart was like mine.”


The late Nike Ardilla and Ryan Hidayat | source: bintang.com

How can we compare someone who already knows all of us and still accept us to someone who only knows us partially? How can we compare someone who already sees every part of us and embrace us to someone who only sees some part of us? How can we compare someone who loves even the darkest side of us to someone who only adores the bright side of us? It is just not fair. Even though the other person  gives us something that the particular person cannot give us, we should not compare. Even though the other person embodies the ideality that the particular person cannot ever be, we should not compare. Even though the other person brings the excitement that the particular person cannot bring, we should not compare. We should not compare that particular person who is willing to stand by us through the ups and downs to the other person who was only stopping by for a moment in our life. We should not compare that particular person who is dedicating their time and strength to withstand and bear up with us through good and bad times to the other person who was only coming up for a short period of our life. We should not. We should never.

“I won’t make any voice though you are lacking, it’s just your devotion that I hope for. I won’t make the second though the sparkle is tempting, my love and affection remain completely for you. It’s just that I ask from you to be forever faithful, therefore this love is eternal, dear, that’s what I pray for.” –Nike Ardilla, Voice of My Heart (Suara Hatiku)





Izinkan cintaku berbunga di hatimu, biar terus mekar jadi kenyataan
(Please let my love effloresce in your heart, so that it blooms into reality)
T’lah lama ku dahaga belaian seorang insan, s’moga bersamamu ceria hidupku
(For a long time I’ve been in thirst the caress of a man, hopefully being with you, my life is cheerful)

Ku tak akan bersuara walau dirimu kekurangan, hanya setiamu itu ku harapkan
(I won’t make any voice though you are lacking, it’s just your devotion that I hope for)
Ku tak akan menduakan walau kilauan menggoda, kasih dan sayangku tetap utuh untukmu
(I won’t make the second though the sparkle is tempting, my love and affection remain completely for you)
Hanya ku pinta darimu, setialah selamanya, sehingga abadi cinta ini, sayang, itu ku doakan
(It’s just that I ask from you to be forever faithful, therefore this love is eternal, dear, that’s what I pray for)

Ku tak akan bersuara walau dirimu kekurangan, hanya setiamu itu ku harapkan
(I won’t make any voice though you are lacking, it’s just your devotion that I hope for)
Ku tak akan menduakan walau kilauan menggoda, kasih dan sayangku tetap utuh untukmu
(I won’t make the second though the sparkle is tempting, my love and affection remain completely for you)
Hanya ku pinta darimu, setialah selamanya, sehingga abadi cinta ini, sayang, itu ku doakan
(It’s just that I ask from you to be forever faithful, therefore this love is eternal, dear, that’s what I pray for)

Tak mungkin ‘kan terjadi kehancuran cinta kita, andainya hatimu seperti hatiku
(It will never happen, the wreck of our love, if only your heart was like mine)
Andainya hatimu seperti hatiku
(If only your heart was like mine)
Wrote by Mashita Fandia


With all of the fears that were surrounding,
She held her own body, trying to get rid of the coldness of the night.
And with all of questions inside her head, lingering, haunting,
She was battling her own self, as her eyes were closed tight.

M.F
Wrote by Mashita Fandia


So why won’t you tell the world that behind your fake smile is a painful cry?
So tell me, have you traded your whole life for being a pathetic clown?
And after all the damage that has been done, are you able to see the hero in your sky?
And you still remember when the train is passing by that damn town.

M.F
Wrote by Mashita Fandia


Salah satu bagian paling menyenangkan dalam menyelesaikan tugas akhir di perguruan tinggi, bagi saya secara pribadi, adalah menulis Halaman Persembahan. Oh, tidak, sayangnya tulisan yang saya unggah kali ini bukan merupakan Halaman Persembahan untuk karya tesis saya. Ini hanya tulisan biasa, yang saya buat untuk memperingati salah satu hari bersejarah dalam hidup saya. Ya, hari ini saya menuliskan sejarah saya sendiri. Katanya, sejarah ditulis oleh pemenang, kan? Di mana lagi saya bisa jadi pemenang kalau bukan di kehidupan saya sendiri? Haha! Mengapa hari ini, 19 Juli 2018, menjadi hari yang bersejarah bagi seorang Mashita Fandia? Hari ini saya menjalani ujian untuk mempertahankan karya tesis saya di hadapan dosen-dosen, atau dengan kata lain, sidang tesis. Jadi, apakah Anda penasaran tulisan dibuat sebelum atau sesudah saya sidang? Jawabannya adalah “sesudah”. Sehingga, ya, saya dapat dengan bangga mengabarkan kepada Anda semua, saya sudah lulus menjadi master, yeay!
Oke, membaca paragraf pertama di atas mungkin Anda akan berpikiran bahwa saya adalah “tukang pamer yang alami” (“natural bragger”). Yah, saya tidak akan menyangkal. Bagi saya, mengingat apa yang sudah saya lewati selama setahun belakangan mengandung tesis ini hingga akhirnya ia lahir di dunia dengan melewati proses persalinan yang berat, saya rasa saya layak untuk memamerkannya. Saya rasa saya layak untuk berbangga. Saya rasa saya layak untuk mengabarkan ini kepada semesta. Namun, tulisan ini tidak akan ada artinya apabila hanya bersifat pamer. Oleh karena itu, saya akan sebisa mungkin membuat tulisan ini berfaedah bagi para netizen dan pembaca blog ini. Hmmm... mungkin saya akan melakukannya dengan cara berbagi cerita, seperti biasanya. Siapa tahu, apabila Anda sedang dalam proses mengerjakan tugas akhir, atau apapun itu yang menyita pikiran dan energi Anda, semoga tulisan ini kelak dapat memberi inspirasi, atau setidaknya... hanya sekadar hiburan untuk mengisi waktu luang Anda.



Tiga bulan terakhir memang energi dan pikiran saya terkuras habis dalam masa penuntasan tesis. Dalam setiap harinya bisa dihitung berapa jam saja saya tidur. Bahkan, banyak malam saya habiskan dengan tidak tidur sama sekali; mengerjakan dan menuliskan halaman demi halaman untuk memenuhi standar dosen pembimbing sekaligus berkejaran dengan tenggat waktu. Kantung mata jelas semakin membesar dan menghitam. Kulit juga sepertinya bertambah kusam. Jerawat bermunculan, anehnya, di leher. Haha! Mungkin wajar apabila setelah ini pacar saya kabur dan mencari wanita lain yang lebih cantik (duh, amit-amit!). Soal pola makan tidak usah ditanya lagi; sangat berantakan. Berat badan saya yang sudah turun sepertinya semakin turun lagi; terbukti dari komentar teman-teman yang mengatakan bahwa saya bertambah kurus. Namun sebenarnya, titik pergulatan saya telah dimulai sejak tahun lalu.
Apabila ditanya, apa yang paling berat dalam mengerjakan tesis? Saya akan dengan lantang menjawab: sesungguhnya mengalahkan diri saya sendiri adalah hal yang paling berat dalam mengerjakan tesis. Mungkin teman-teman yang mengenal saya akan kaget dengan jawaban itu.
Mengapa bukan “dosen pembimbing” yang menjadi hal paling berat? Dosen pembimbing saya termasuk dosen yang disegani di kampus. Bahkan banyak dari teman saya yang takut apabila harus berhadapan dengan beliau. Namun, saya merasa sangat beruntung memiliki dosen pembimbing seperti Bu Nana. Saya pun ingat betul bahwa ia adalah satu-satunya dosen yang saya pilih sebagai pembimbing selepas kelas Seminar Proposal tahun lalu. Selain karena beliau sangat cerdas, beliau adalah orang yang tegas; itu pula yang membuat saya sadar sedari awal bahwa orang seperti saya memang memerlukan pembimbing seperti beliau. Standar tinggi yang diberikan beliau terhadap tulisan saya tidak menjadi beban, karena saya tahu dan saya cukup percaya diri untuk dapat memenuhi standar tersebut. Di sisi lain, beliau tidak hentinya selalu memotivasi saya dengan mengatakan bahwa saya tidak memiliki problem sama sekali dalam hal menulis. Ia juga secara jujur menyatakan bahwa problem saya adalah kemalasan. Haha! Sungguh tepat sasaran. Itu membuat saya semakin menyayangi beliau. Ia paham betul mahasiswa seperti apa yang ia bimbing ini. Dalam satu tahun proses saya bimbingan dengan beliau, ia tidak pernah memarahi saya karena tulisan yang jelek atau karena ketidakpahaman terhadap materi; ia selalu memarahi saya karena saya “menghilang” dan tidak mengerjakan tesis. Ia memiliki cara yang pas dalam mendorong potensi saya mencapai maksimalitas; lembut namun tegas, dan saya tidak bisa lebih berterima kasih lagi kepada beliau. Bahkan hingga titik akhir, ia terus mendorong saya dengan dukungan penuh yang membuat hati saya terasa hangat dan bersemangat. Saya ingat beliau pernah bertanya, ketika kami bertemu bulan Januari lalu setelah saya menghilang selama beberapa bulan, “Kamu nggak stress gara-gara aku, kan?” Waktu itu saya menjawab “tidak”. Dan waktu itu saya jujur. Bukan beliau yang membuat saya stress hingga berat badan saya turun drastis.
Mengapa bukan “membagi waktu dengan kesibukan pekerjaan” yang menjadi hal paling berat? Sesungguhnya pekerjaan saya, baik di kampus maupun di luar kampus, tidak sebegitu menyita waktu sehingga saya benar-benar meninggalkan tesis. Lagipula, karena pekerjaan utama saya masih berada di lingkungan kampus, saya sebenarnya memiliki lingkungan yang benar-benar kondusif untuk membantu saya mengerjakan tesis. Memang dalam banyak kesempatan saya lebih memprioritaskan pekerjaan, selain karena tenggat waktu, yah, karena saya butuh nafkah untuk menyambung kehidupan saya. Namun membagi waktu sesungguhnya bukan merupakan sesuatu yang sulit.
Mengapa bukan “materi yang susah” yang menjadi hal paling berat? Banyak yang bilang bahwa Kajian Budaya dan Media itu sulit. Yah, memang sih. Untuk menggeser paradigma dari positivisme menjadi kritis juga bukan merupakan hal yang mudah bagi saya. Namun, saya tidak pernah kekurangan bahan bacaan. Bu Nana selalu memberi saya buku-buku acuan untuk bahan bacaan. Pacar saya juga selalu siap sedia untuk mencarikan buku elektronik yang saya butuhkan. Teman-teman saya di lingkungan kampus dan penerbitan juga banyak. Dan yang terpenting, saya tidak pernah kehabisan rekan diskusi apabila saya membutuhkannya. Bu Nana, teman-teman, bahkan pacar saya selalu berhasil menjadi rekan diskusi yang mencerahkan setiap kali saya merasa buntu. Saya percaya, berdasarkan pengalaman, bahwa tidak ada materi yang susah ketika kita mau membaca dan memiliki rekan berdiskusi yang sanggup mengimbangi dan mencerahkan kita.
Apabila bukan dosen pembimbing, bukan pula kesibukan pekerjaan serta materi yang susah, lalu apa yang membuat saya menghabiskan waktu hingga dua semester untuk mengerjakan tesis? Jawabannya adalah “perang melawan diri saya sendiri”. Saya adalah penderita Borderline Personality Disorder (BPD); yang sudah saya dapatkan sejak kuliah S1 dulu. Mungkin Anda bisa mencari tahu sendiri lebih lanjut mengenai BPD, karena informasinya sudah beredar luas di internet. Namun, efek yang sangat jelas terasa pada diri saya adalah kesulitan untuk menyelesaikan sesuatu. Dan kecenderungan tersebut sudah saya rasakan sejak kecil. Sewaktu SD, saya sering menulis cerita fiksi, tetapi tidak ada satupun yang saya selesaikan. Puncaknya ketika mengerjakan skripsi dulu, saya selesai lebih lama dibandingkan teman-teman sepermainan saya. Saya tidak dapat menggambarkan secara persis apa yang saya rasakan... entahlah, rasanya seperti enggan saja. Ada semacam rasa keengganan untuk menyelesaikan tulisan yang sudah saya mulai, dan saya tidak dapat menjelaskan mengapa rasa itu bisa muncul. Dan sesungguhnya, menulis potongan-potongan tulisan untuk blog ini sejak tahun 2011 menjadi salah satu bentuk terapi saya.
Sesungguhnya, “kesulitan menyelesaikan sesuatu” telah menjadi keresahan dan ketakutan terbesar saya sejak saya memutuskan untuk memulai kuliah S2. Dapatkah saya lulus tepat waktu? Dapatkah saya menyelesaikan tugas akhir? Saya tahu kapasitas saya. Di satu sisi, saya tahu bahwa secara kemampuan akademis, saya mampu. Namun, di sisi lain, saya juga tahu bahwa secara mental dan emosional, saya memiliki kelemahan. Dan ujian itu datang pada pertengahan hingga akhir tahun 2017 lalu. Serangkaian kejadian dan permasalahan membawa mental saya hingga berada pada titik terendahnya. BPD mengambil alih akal sehat saya. Saya sakit dan berat badan saya turun drastis. Tesis saya tinggalkan. Bu Nana tidak pernah saya hubungi. Sekolah Pasca tidak pernah saya kunjungi. Waktu itu, yang ada hanya kegelapan.
Hal yang paling menyiksa bagi seorang-dengan-BPD adalah perasaan bahwa saya ditinggalkan dan sendirian. Dan itu yang saya rasakan pada waktu itu. Wah, bahkan ketika menulis tentang hal itu lagi saat ini, saya masih bisa mengingat dengan jelas perasaan menyakitkan itu. Saya menulis sambil menangis! Haha! Meskipun kenyataannya adalah saya tidak benar-benar ditinggalkan dan tidak sendirian, seorang-dengan-BPD tidak sanggup melihat kenyataan itu ketika mentalnya berada pada titik terendah. Yang sanggup ia pikirkan adalah perasaan kelam yang ia rasakan; perasaan bahwa ia tidak disayangi, tidak diinginkan, tidak ada artinya, tidak berharga, tidak berguna, tidak lebih baik daripada orang lain, tidak layak menjadi prioritas bagi orang lain. Ia terjebak dalam pikiran-pikiran buruknya sendiri. Ia tenggelam dalam tanya-tanya yang menghantui pikirannya sendiri. Motivasi telah hilang. Dan waktu itu, tidak ada yang menolong saya.
Dalam kondisi yang seperti itu, seorang-dengan-BPD bisa hanya berdiam diri selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan (tergantung seberapa besar dampak dari tekanan psikologis yang ia dapatkan melalui kejadian-kejadian yang menjatuhkan mentalnya), tanpa melakukan hal apapun yang produktif. Sisi negatif yang saya rasakan adalah: setiap kali mental saya berada pada titik terendah dan BPD mengambil alih, saya selalu kehilangan semangat untuk melakukan apapun yang seharusnya saya lakukan. Saya selalu merasa bahwa semuanya percuma dan sia-sia apabila saya mengerjakannya. Pun ketika saya tahu bahwa pikiran saya salah, saya tetap merasa bahwa saya tidak memiliki energi untuk melakukannya. Pada waktu itu, yang bisa saya lakukan hanyalah merenung. Kemudian, saya mencoba menghibur diri dengan menonton serial drama Korea Selatan dan serial televisi Barat. Kemudian, saya menulis blog. Meskipun demikian, saya tahu, cepat atau lambat, saya harus lulus.
Kalau saya pikir-pikir lagi, hidup ini memang keras terhadap saya. Saya sempat berandai-andai: seandainya saya tidak sakit, seandainya waktu itu saya sanggup menghadapi kejadian-kejadian yang melemahkan mental saya dengan lebih tegar, seandainya waktu yang saya habiskan untuk merenung dan menyembuhkan diri bisa saya salurkan untuk mengerjakan tesis, mungkin tesis saya bisa selesai lebih cepat. Menyesal? Mungkin. Sedikit. Namun akhirnya saya sadar bahwa saya memang harus melalui semua itu untuk menjadi diri saya yang sekarang. Saya memang harus melalui proses menyakitkan itu untuk berhasil menyelesaikan tesis saya sekarang. Saya harus jatuh untuk bisa belajar bangun lagi. Saya harus hancur untuk bisa belajar mengumpulkan puing-puing diri saya lagi. Meskipun berat, itu yang harus saya lalui. Dan kini, saya bersyukur atas segala yang telah saya lalui. Saya tidak ditolong, namun saya didorong oleh semesta untuk menolong diri saya sendiri.
“Saya telah terluka, jatuh, dan hancur, dan sekarang saya terpuruk. Saya butuh waktu untuk bangkit dengan sendirinya, karena saya tahu tidak ada yang dapat menolong saya. Namun, mau sampai kapan saya menyerah pada keadaan?” Kira-kira seperti itu dialog saya dengan diri saya sendiri pada waktu itu. Berat bukan, mengalahkan diri sendiri? Namun itu yang harus saya jalani dari waktu ke waktu sebagai seorang-dengan-BPD. Tidak ada yang dapat memahami, dan saya pun tidak berharap orang-orang dapat mengerti, karena hanya seorang-dengan-BPD yang mungkin tahu rasanya.
Banyak faktor memang yang kemudian mendorong saya untuk mengalahkan keresahan dan ketakutan tersebut dan menolong diri saya sendiri. Adalah kata-kata Bu Nana, “Apa nggak sayang kalau nggak selesai? Kamu sudah sejauh ini dan kamu tuh mampu lho! Kamu cepat paham materi dan kamu nggak punya problem menulis sama sekali. Problemmu tuh cuma kamu malas, padahal tulisanmu sudah enak dibaca.” Adalah pertanyaan Prof Nunung, “Jes, kapan ujian?” Adalah wajah-wajah Bapak, Ibu, dan adik-adik saya yang penuh harap mendengarkan kabar kelulusan si anak sulung dari sekolah S2-nya. Adalah wajah-wajah Mbak Monic, Cik Tan, Uni Ipeh, dan Mbak Mutia yang penuh harap untuk segera memberi saya kejutan ketika saya sidang tesis. Adalah wajah-wajah Dian, Ari, Ussy, dan rekan-rekan KBM lainnya yang penuh harap untuk dapat wisuda bersama. Adalah ancaman bahwa saya harus mengembalikan uang beasiswa apabila kuliah tidak selesai. Haha! Yang jelas, saya tidak akan pernah mencapai hari ini apabila tidak ada dukungan dari orang-orang luar biasa di sekitar saya: Bu Nana, kekasih saya, Ibu, Bapak, adik-adik saya, Prof Nunung, Mbak Monic, Cik Tan, Uni Ipeh, Mbak Mutia, keenam informan tesis saya, Mbak Nova, dan sahabat-sahabat KBM. Syukur kepada semesta pula bahwa sebagian besar dari mereka hadir pada hari ini mendampingi proses saya.
Pada akhirnya saya berusaha keras mengesampingkan hal-hal yang menghambat mental saya, meskipun itu berat... sangat berat. Peperangan tersebut pun berefek pada kesehatan saya sekarang. Saya menjadi lebih sering sakit kepala daripada biasanya (padahal biasanya juga sudah sering, sehingga menjadi sering kuadrat). Saya menjadi lebih sering merasa melankolis tanpa sebab, bahkan menangis. Saya menjadi lebih mudah kelelahan, baik secara fisik maupun psikis. Namun, hari ini, semua itu terbayar lunas. Saya bahagia. Ya, saya bahagia.

Kita berlari dan terus ‘kan bernyanyi, kita buka lebar pelukan mentari,
Bila ku terjatuh nanti, kau siap mengangkat aku lebih tinggi.
Seperti pedih yang telah kita bagi, layaknya luka yang telah terobati,
Bila kita jatuh nanti, kita siap ‘tuk melompat lebih tinggi.
-Sheila on 7, Melompat Lebih Tinggi
Wrote by Mashita Fandia


There was a girl that I know, who once had a dream,
To build a space where she can be her authentic self,
And there is a lady that I know, who’s sure she’s living her dream,
Of having the artificial love for fulfilling the demand of her superficial self.

M.F
Wrote by Mashita Fandia


How much are them people willing to pay for what they called as freedom?
How far they’ll go for something they think they have but actually don’t?
How much are they willing to sacrifice for what they refer to as freedom?
How far they’ll fool themselves to make them feel like they have it when they really don’t?

M.F
Wrote by Mashita Fandia


Don’t they know there’s this thin line between ambivalence and hypocrisy,
The thin line that may keeps them capitalist sane,
The thin line that may drives them philosophers crazy,
The irony of humanity that is hard to accept but easy to understand.

M.F
Wrote by Mashita Fandia


In a moment, a smile can turn into a regret
And all that it knows suddenly the table has turned
It was too late, for the fire had been set
And the tree looked down as it was burned

M.F
Wrote by Mashita Fandia


Do we know what sadness is? Do we really know? Is the sadness we know all this time is what sadness really is? Do we really understand? Or do we just feel like we understand? All this time, people used to relate sadness with tears. The thing is: do tears mean sadness? How would we explain people who cry out of happiness then? Hence, tears do not always mean sadness, but sadness is represented by tears most of the times. And they say that we are looking for our own sadness. They say that we make our own sadness. Is it true? Do we make our own sadness? Do we create our own sadness? Do we make it for crying? Do we need to cry? I once read a biological explanation why people cry from time to time; turns out that we need to get out some kind of chemicals inside us through the tears. Perhaps it’s true. Perhaps that’s why sometimes I cry out of nowhere. Perhaps we do need to cry at times; no matter we feel sad or happy at that moment, we just need to let it out, but mostly it’s because of sadness. Perhaps it’s true that we do make our own sadness; just in order to let out these tears inside us.

“I know the things you wanted, they’re not what you have. With all the people talking, it’s driving you mad. If I was standing by you, how would you feel? Knowing your love’s decided, and all love is real.” –Guns N’ Roses, Don’t Cry [Alternate Version]

In this second part of “Don’t Cry”, I would like to make a lyrical approach towards the alternate lyrics of the song performed by legendary rock band, Guns N’ Roses. This other version of “Don’t Cry” with different lyrics on verses and bridge part was released on September 17th 1991 as the B-side from double-sided single of “Don’t Cry”, with the original version on the A-side. It was also served as the part of the band’s album, “Use Your Illusion II”. The soft rock track was written by the band’s frontman, Axl Rose, along with Izzy Stradlin. Lyrically, it speaks about someone who tells their lover for not crying; because they’ve made their own sorrow, and most importantly, they can always count on them whenever things go bad, so that there’s no point in crying.


"Don't Cry" single back cover | source: Geffen Records

Our hands are tied in front of the time. We can do nothing about it. We might have made some plans, but at times our plans do not go as how we design it. We are helpless in front of the time. We cannot do anything about it. We might have made some promises, but at times our efforts to fulfill those promises just aren’t granted by the time. And yes, that kind of situation makes us feel upset. It’s devastating us. “If we could see tomorrow, what of your plans. No one can live in sorrow, ask all your friends. Times that you took in stride, they’re back in demand. I was the one who’s washing blood off your hands.” And they say that we reap what we sow. However, at times we’re not the only one who cleans up all the mess we’ve made. And have we ever wondered how exhausted it must be for the person who does it all for us? When will we ever grow up? Have we ever wondered if that person might be leaving out of exhaustion? When will they ever give up? Sadly, most of the times, we’re only thinking about our pain instead of having the empathy.
“I know the things you wanted, they’re not what you have. With all the people talking, it’s driving you mad. If I was standing by you, how would you feel? Knowing your love’s decided, and all love is real.” And we spend too much energy feeling sorry towards ourselves for not having things we want. And we waste so much power feeling angry towards other people who talk behind our back. Meanwhile, at the same time, we forget to be grateful for everything that we have at the moment. We forget to cherish people who really care for us and stay with us through the good and the bad without judging us. We’re too busy taking care of our own pain it makes us forget to take care of the love we have; the real thing. “I thought I could live in your world as years all went by. With all the voices I’ve heard, something has died. And when you’re in need of someone, my heart won’t deny you. So many seem so lonely, with no one left to cry to, baby.” And perhaps, we’re taking it all for granted because we know that it will always be there no matter how things go by.
“Don’t you cry tonight, I still love you baby. Don’t you cry tonight, there’s a heaven above you baby.” And when we realize that we have wasted those real things for artificial ones, we break down and cry. When we understand that we have thrown away the significant thing for the superficial one, we are torn apart and cry. Though I believe that it is never too late to realize our mistakes and do some efforts to make things right again, I also believe that we can always push ourselves toward the limit to see the silver lining amidst the dark clouds. There is actually no reason to cry for what we don’t have when we know how meaningful things we have at the moment. There is eventually no reason to cry for losing people who turn their back against us when we understand how precious the person who decides to stay beside us. There is no reason to cry for the past when we realize how beautiful the present we have. “And don’t you cry, don’t you ever cry, don’t you cry tonight, baby maybe someday. Don’t you cry, don’t you ever cry, don’t you cry tonight.”


Guns N' Roses | source: www.rollingstone.com

Of all things that could make me cry, I hate it when I cry for feeling useless, unwanted, and not needed. It puts me in a great despair; a massive devastation inside of me. It makes me sad when I feel like my presence does not bring happiness toward the person I hold most dear. It makes me mad when I feel like my presence does not bring peace in the mind of the person I cherish the most. It makes me feel useless, insignificant, and meaningless. Why am I even here? Why should I stay? When my presence cannot ease the pain, why should I even stay? When my presence cannot soothe the sorrow, why am I here? Though they do not cry out loud, I know they are crying inside. Why would I stay when my presence cannot stop their heart from crying? Moreover, it wasn’t me who has caused all the pain they carry. And it’s devastating me in every sense. However, as much as I’m sad by the situation, I try hard to understand; perhaps it’s all just in my head. Perhaps my presence does mean something. Perhaps I just think too much. Perhaps my presence is significant. Perhaps I am wanted and needed. Perhaps I just feel too much.

“And when you’re in need of someone, my heart won’t deny you, so many seem so lonely, with no one left to cry to.” –Guns N’ Roses, Don’t Cry [Alternate Version]




[Alternate Lyrics]
If we could see tomorrow, what of your plans, no one can live in sorrow, ask all your friends
Times that you took in stride, they’re back in demand, I was the one who’s washing blood off your hands

Don’t you cry tonight, I still love you baby, don’t you cry tonight
Don’t you cry tonight, there’s a heaven above you baby, and don’t you cry tonight

I know the things you wanted, they’re not what you have, with all the people talking, it’s driving you mad
If I was standing by you, how would you feel? Knowing your love’s decided, and all love is real

And don’t you cry tonight, don’t you cry tonight, don’t you cry tonight
There’s a heaven above you baby, and don’t you cry tonight

I thought I could live in your world as years all went by, with all the voices I’ve heard, something has died
And when you’re in need of someone, my heart won’t deny you, so many seem so lonely, with no one left to cry to, baby

And don’t you cry tonight, don’t you cry tonight, don’t you cry tonight
There’s a heaven above you baby, and don’t you cry, don’t you ever cry
Don’t you cry tonight, baby maybe someday
Don’t you cry, don’t you ever cry, don’t you cry tonight
Wrote by Mashita Fandia
Newer Posts Older Posts Home

About Me

About Me
32 | music | movies | cultural studies

Featured post

Out of the Woods

Let’s analogizing a (romance) relationship as a tropical forest, with all of its maze of trees, wild animals, and dangerous gorges; t...


TSOGM - a fiction

TSOGM - a fiction
Click on the picture to read the stories. Enjoy! ;)
Powered by Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2020 (8)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  September (2)
    • ►  June (1)
  • ▼  2018 (199)
    • ►  November (21)
    • ►  October (18)
    • ►  September (19)
    • ►  August (18)
    • ▼  July (17)
      • Misguided Perception
      • In the Eyes of a Woman I Called Mom
      • Tentang Berproses dalam Kajian Budaya dan Media
      • Moon Eclipse
      • Voice of My Heart
      • Sleeping Solo
      • Irony Agony
      • Tentang Berproses bersama Tesis
      • Dream Self
      • Question Freedom
      • Thin Line
      • Set Fire
      • Don't Cry II
      • Dry Season
      • Drunk of Microsoft Word
      • Chased by the Time
      • Don't Cry I
    • ►  June (17)
    • ►  May (20)
    • ►  April (17)
    • ►  March (19)
    • ►  February (15)
    • ►  January (18)
  • ►  2017 (223)
    • ►  December (18)
    • ►  November (23)
    • ►  October (18)
    • ►  September (18)
    • ►  August (23)
    • ►  July (17)
    • ►  June (17)
    • ►  May (17)
    • ►  April (23)
    • ►  March (17)
    • ►  February (15)
    • ►  January (17)
  • ►  2016 (38)
    • ►  December (16)
    • ►  November (6)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (5)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (5)
  • ►  2015 (189)
    • ►  November (14)
    • ►  October (20)
    • ►  September (17)
    • ►  August (17)
    • ►  July (18)
    • ►  June (18)
    • ►  May (17)
    • ►  April (17)
    • ►  March (19)
    • ►  February (16)
    • ►  January (16)
  • ►  2014 (199)
    • ►  December (16)
    • ►  November (18)
    • ►  October (18)
    • ►  September (16)
    • ►  August (16)
    • ►  July (17)
    • ►  June (16)
    • ►  May (17)
    • ►  April (16)
    • ►  March (17)
    • ►  February (15)
    • ►  January (17)
  • ►  2013 (195)
    • ►  December (16)
    • ►  November (15)
    • ►  October (17)
    • ►  September (15)
    • ►  August (16)
    • ►  July (17)
    • ►  June (18)
    • ►  May (16)
    • ►  April (16)
    • ►  March (16)
    • ►  February (17)
    • ►  January (16)
  • ►  2012 (215)
    • ►  December (18)
    • ►  November (20)
    • ►  October (17)
    • ►  September (18)
    • ►  August (16)
    • ►  July (18)
    • ►  June (18)
    • ►  May (19)
    • ►  April (17)
    • ►  March (20)
    • ►  February (18)
    • ►  January (16)
  • ►  2011 (18)
    • ►  December (13)
    • ►  November (5)

FOLLOW US @ INSTAGRAM

Copyright © 2016 pieces of me. Designed by OddThemes & Blogger Templates