Dirgahayu Pancasila: sebuah Renungan
Saya sempat bingung ketika tahu bahwa hari Jumat ini adalah tanggal merah;
bahkan sempat merasa kesal karena itu berarti minggu ini banyak sekali tanggal
merahnya (rasa kesal yang sangat langka dikarenakan semakin banyak tanggal
merah alias libur maka semakin sedikit kesempatan untuk bimbingan tesis). Saya semakin
bingung ketika tahu bahwa hari ini adalah tanggal merah karena perayaan Hari
Lahir Pancasila. Hmmm, okay... what?! Is that even a thing?!
Baiklah, mungkin setelah ekspresi barusan itu saya akan dibombardir dengan
makian yang menghujat “ke-tidak nasionalis-an” saya. Yah, mulai dari mana ya
saya membicarakan soal ini. Hmmm. Yang membuat saya heran sebenarnya sederhana:
apabila hari ini adalah hari kelahiran dari Pancasila, yang notabene merupakan
ideologi dasar negara ini, lalu mengapa hari tersebut harus dijadikan hari
libur nasional? Alih-alih libur, misalnya, mengapa tidak digunakan untuk
kegiatan menelaah bersama kembali mengenai esensi Pancasila itu sendiri? Dan hal
itulah yang perlu dilakukan secara rutin dari tahun ke tahun. Menurut saya hal
itu justru yang penting. Mengapa? Karena apabila Pancasila adalah ideologi dasar
bangsa kita, maka sudah seharusnya seluruh permasalahan dikembalikan pada
akarnya. Namun, akar itu sendiri harus dapat dipahami secara komprehensif.
Permasalahannya adalah: apakah seluruh masyarakat Indonesia telah
memahami Pancasila secara komprehensif? Saya berani menjawab “belum”; belum
seluruhnya masyarakat dan belum secara komprehensif. Ada sekelompok masyarakat
tertentu merasa telah memahami Pancasila dan merasa telah mengimplementasikan
nilai-nilai Pancasila tersebut. Namun apa yang terjadi? Mereka
mengimplementasikan satu nilai namun menginjak-injak nilai yang lain. Ya, itu
ada dan benar-benar terjadi. (Mereka bahkan berani menyertakan kata “Pancasila”
dalam nama kelompok mereka.) Saya yakin para bapak dan ibu pendiri (founding fathers and mothers) negeri ini
pasti merasa sedih melihat tingkah laku penerus bangsanya. Menurut saya,
Pancasila bukan sekadar nama. Pancasila bukan sekadar gaung. Pancasila bukan
sekadar alat untuk membenarkan suatu tindakan keji tertentu. Pancasila adalah
amalan. Pancasila adalah nilai luhur. Pancasila bukan sebuah senjata untuk
melindungi kelompok tertentu dan memberangus kelompok lain. Pancasila bukan
alat untuk menguasai, mengatur, dan mengontrol manusia. Pancasila adalah sarana
untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan; dan kemanusiaan, pada
hakikatnya, adalah nilai untuk memuliakan dan memberdayakan manusia, bukan
untuk menginjak dan memberantas.
Saya akan mulai dengan menyorot sila kelima atau terakhir yang
berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Secara harfiah
bukankah sudah jelas? Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan
sosial. Seluruh rakyat Indonesia. Namun apa yang terjadi? Ya, sedih namun
nyata, sejarah panjang dan berdarah bangsa ini telah mencatat bahwa Pancasila
digunakan sebagai alat pembenaran atas pembantaian (bahkan pemberangusan)
terhadap sekelompok rakyat oleh kelompok rakyat lainnya. Lalu, di mana letak
keadilan? Di mana keadilan bagi mereka yang (tidak hanya dibunuh, melainkan)
dibantai secara tidak manusiawi? Di mana keadilan bagi mereka yang diculik
tengah malam dari rumahnya? Di mana keadilan bagi anak-anak yang ikut ditahan
karena keterlibatan orang tuanya? Di mana keadilan bagi mereka yang dipenjara
puluhan tahun tanpa pengadilan? Di mana keadilan bagi mereka yang disiksa tanpa
tahu kesalahan apa yang telah mereka lakukan? Di mana keadilan bagi
perempuan-perempuan yang dilecehkan secara seksual selama mereka ditahan? Di mana
keadilan bagi orang-orang yang diinterogasi tanpa tahu mengapa mereka ditahan
dan dipersalahkan? Tidak ada. Tidak ada keadilan di sana.
Paparan di atas adalah gambaran betapa pengamalan nilai atas ideologi
dasar negara ini dapat menjadi begitu salah kaprahnya. Diperlukan sebuah
pemahaman yang kompehensif atas Pancasila untuk dapat mengamalkan nilai-nilai
luhurnya dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak dapat hanya mengambil satu
sila saja dan menafikkan sila lainnya. Sila pertama tanpa sila kelima akan
memunculkan kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan suatu agama sebagai
pembenaran untuk membasmi kelompok penganut agama lain. Sila ketiga tanpa sila
kelima akan memotivasi kelompok-kelompok ultranasionalis untuk melakukan
penindasan terhadap kelompok yang berbeda aliran politik dengan mereka.
Padahal, apakah Anda ingat sila kedua? Sila kedua berbunyi, “Kemanusiaan yang
adil dan beradab”. Bayangkan, kata “adil” muncul dua kali dalam dua sila yang
berbeda di Pancasila. Bukan kata agama, bukan kata nasional, melainkan kata
adil. Namun, kembali pada pertanyaan saya di atas; di mana keadilan?
Kita semua beragama, namun sudahkah kita ber-Tuhan? Kita semua
manusia, namun sudahkah kita menjadi manusia yang beradab? Kita semua
Indonesia, namun sudahkah kita bersatu? Kita semua adalah rakyat, namun
sudahkah kita dipimpin oleh hikmat yang bijaksana? Sudahkah perwakilan rakyat
berdasarkan musyawarah? Kita semua adalah rakyat, namun sudahkah kita
berkeadilan secara sosial? Pertanyaan-pertanyaan itu sepatutnya menjadi
renungan kita semua, bangsa Indonesia, di hari lahir ideologi dasar negara ini,
Pancasila. Niat para bapak dan ibu pendiri bangsa ini sangat mulia dengan
mencanangkan Pancasila, yang apabila dikaji secara menyeluruh memiliki
nilai-nilai yang sangat luhur. Kisah selanjutnya adalah pada kemauan dan
kemampuan para penerus bangsa untuk terus belajar dan memahami esensi dari
ideologi dasar tersebut; bukan hanya dari satu perspektif saja, melainkan
banyak dan beragam, seperti layaknya bangsa ini.
Dua hari yang lalu saya menghadiri sebuah pemutaran film dokumenter
yang dibuat oleh teman saya sendiri. Saya baru mengenal Doris, si pembuat film,
beberapa minggu yang lalu dalam sebuah acara. Waktu perkenalan itu pula saya
tahu bahwa ia sedang membuat film dokumenter dalam kunjungan singkatnya ke
Indonesia kali ini (Doris berasal dari Taiwan). Ia kemudian mengundang saya
dalam acara pemutaran perdana film tersebut, yang diselenggarakan di Wisma Bahasa,
tempat ia menjalani kursus bahasa Indonesia selama ini. Film tersebut
menampilkan korban peristiwa politik 1965, yang kebetulan menjadi minat saya
karena saya juga sedang mengerjakan film dokumenter dengan tema serupa.
Perasaan saya ketika menonton film buatan Doris... campur aduk tidak karuan! Di
satu sisi saya merasa terhormat Doris telah mengundang saya; saya juga senang
dan bangga ia sanggup menyelesaikan sebuah karya dengan pesan yang ‘dalam’ dan
kuat hanya dalam waktu singkat. Di sisi lain saya merasa seperti ditampar
karena untuk kesekian kalinya orang asinglah yang menaruh peduli pada isu
sensitif ini; saya juga merasa sedih, haru, dan terenyuh dengan kisah yang dipaparkan
dalam film tersebut. Inilah gambaran nyata kekelaman sejarah bangsa kita.
Salah satu hal yang paling berkesan adalah judul film tersebut: “(S)ampun Kesupen (The Story Keepers)”. Sampun
kesupen adalah bahasa Jawa yang berarti “sudah lupa”. Cerdasnya, Doris
memberi tanda kurung pada huruf S, sehingga ia dapat dibaca ampun kesupen yang berarti “jangan
sampai lupa”. Secara filosofis, judul film ini mengajak kita untuk jangan
sampai melupakan sejarah. Lalu versi bahasa Inggris dari judul film ini, The Story Keepers, berarti para
penyimpan cerita. Intinya, selain untuk tidak melupakan sejarah, film ini
mengajak kita untuk menyimak cerita langsung dari para pelaku sejarah tersebut;
pelaku yang selama puluhan tahun hanya bisa menyimpan ceritanya karena tekanan
dari pihak yang berkuasa dan stigma sosial yang melekat pada mereka.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Saya lupa
siapa yang mengatakan itu; mungkin Winston Churchill. Namun, untuk dapat
menghargai sejarah, kita harus mau mengakui sejarah. Sayangnya, sejarah ditulis
oleh pemenang. Dalam kasus Indonesia, sejarah ditulis oleh pihak yang berkuasa,
sehingga sejarah bersifat parsial. Untuk dapat mengakui sejarah, sejarah yang
sengaja ditutupi atau bahkan dihilangkan itu harus diungkapkan dan ditemukan
kembali, baru kemudian kita dapat memahaminya, lalu menghargainya, lalu menjadi
bangsa yang besar. Saya rasa ini salah satu sebab mengapa Indonesia susah maju;
karena bahkan untuk membuka sisi sejarahnya yang kelam saja ia enggan, seolah
takut pada hantu masa lalu. Tidak ada negara yang tak memiliki masa kelam.
Jerman memiliki nazi dan genosidanya; semua kini telah dibuka dan dibawa pada pengadilan
internasional atas pelanggaran HAM berat masa lalu. Hasilnya? Jerman menjadi
negara yang maju dan makmur. Pelanggaran HAM berat terjadi dalam sejarah
Indonesia; tidak hanya pada peristiwa 1965 melainkan sepanjang masa Orde Baru,
bahkan berlanjut pada masa Reformasi ini. Kembali pada nilai Pancasila tadi; di
mana keadilan ketika bahkan untuk membuka sejarah kelamnya sendiri saja bangsa
ini tak mau dan tak mampu?
Saya merasa terjadi ironi besar-besaran dalam negeri ini. Ia menjadikan
hari kelahiran Pancasila sebagai hari libur nasional, namun untuk mengamalkan
nilai-nilai Pancasila saja ia belum sanggup. Bagi saya, Pancasila bukan sekadar
untuk dihapal dan dirapal kala upacara bendera. Pancasila selayaknya menjadi
pedoman kita hidup bermasyarakat. Tidak perlu gembar-gembor “bela negara” atau “NKRI
harga mati” apabila kita belum paham esensi dari Pancasila itu sendiri. Tidak ada
nilai luhur yang menghalalkan pembantaian atas kemanusiaan. Tidak ada nilai
luhur yang mengamini pemberantasan atas keadilan. Pancasila menjunjung tinggi
kemanusiaan dan keadilan. Ini bukan mengenai siapa yang benar dan siapa yang
salah, melainkan tercederai atau tidaknya nilai kemanusiaan dan keadilan di
sana. Tidak ada penindasan dan pelanggaran HAM dalam bentuk apapun yang layak
menggunakan nama Pancasila atas itu semua. Sungguh, Pancasila terlalu mulia
untuk itu.
Masalah moral, masalah
akhlak, biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu, urus
saja akhlakmu, peraturan yang sehat yang kami mau
Tegakkan hukum
setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau menjadi
manusia setengah dewa
-Iwan Fals, Manusia
Setengah Dewa
Tags:
dirgahayu pancasila sebuah renungan
hari lahir pancasila
keadilan
kemanusiaan
pancasila
thoughts
0 komentar