Lampion dalam Hati dan Pikiran Kita
Jarak tempuh dari candi Borobudur ke rumah saya hanya sekitar satu jam
saja. Namun, seumur saya hidup hingga hari ini belum pernah saya menyaksikan
upacara pelepasan lampion yang menjadi tradisi setiap Hari Raya Waisak. Di satu
sisi tentu saja saya sangat ingin menyaksikannya. Saya sudah pernah mengikuti
pesta lampion di Dieng, dan itu sangat menakjubkan. Maka bayangkan betapa
menakjubkannya melihat ribuan lampion menghiasi langit malam dengan candi
Borobudur sebagai latarnya. Di sisi lain terbersit rasa enggan yang disebabkan
oleh keramaian jalanan dan orang-orang di sana. Yah, memang nasib menjadi orang
dengan pribadi ‘rumahan’ yang lebih memilih untuk berdiam di rumah daripada
menerjunkan diri dalam keramaian. (Bahkan perayaan malam tahun baru saja selalu
sebisa mungkin saya habiskan di dalam rumah dalam keheningan.) Sejujurnya,
dalam tulisan kali ini saya tidak ingin berbicara tentang apapun selain
mengucapkan selamat merayakan Hari Raya Waisak bagi semua umat Buddha yang ada
di seluruh penjuru dunia. Semoga damai menyertai kita semua.
Saya selalu memiliki obsesi tersendiri terhadap lampion; utamanya
dalam jumlah banyak yang dilepaskan ke langit malam. Sepertinya semua itu
dimulai ketika saya menonton film animasi “Tangled” (2010), di mana terdapat
sebuah adegan ribuan lampion yang dilepas ke langit malam untuk merayakan hari
ulang tahun putri kerajaan yang hilang sewaktu bayi. Konon, putri itu adalah
Rapunzel. Dalam adegan film itu, Rapunzel dan Flynn melihat pesta lampion
tersebut dari sebuah kapal kecil di atas danau dekat kerajaan. Sungguh merupakan
ilustrasi yang luar biasa; tidak heran apabila “Tangled” menjadi salah satu
film animasi dengan biaya produksi termahal. Di samping itu, lagu andalan “I
See the Light” diputar ketika adegan tersebut berlangsung; semakin melengkapi
nuansa magis dari adegan tersebut. Ya, mungkin karena itu saya memiliki obsesi
terhadap pesta lampion. Saya mendambakan perasaan yang sama yang saya rasakan
ketika melihat adegan dalam film “Tangled” tersebut; hangat, dan... damai.
Namun bukankah itu tujuan manusia memiliki keimanan? Untuk merasa
damai. Namun ketika keimanan itu sendiri menjebak manusia untuk menyebarkan
perasaan tidak damai pada manusia lainnya, apakah hal tersebut masih layak
untuk disebut sebagai iman? Wah, tidak disangka saya bisa mengutarakan sebuah
pertanyaan filosofis di tengah keengganan saya untuk berbicara mengenai hal
yang ‘berat-berat’ kali ini. Sungguh ironis, bukan? Tenang. Ini bukan pertama
kalinya. Apabila Anda telah sering membaca tulisan saya maka Anda akan merasa
wajar dengan sesuatu seperti ini. Pikiran saya (yang kemudian terbaca melalui
tulisan saya) memang merupakan alam liar yang kadang tidak terbaca
peta-petanya. Tuh kan, saya melantur
lagi. Intinya, saya percaya bahwa manusia membutuhkan keimanan untuk diri
mereka sendiri; untuk merasa damai. Sehingga, alasan apapun yang digunakan
manusia untuk menyebarkan teror terhadap sesama manusia, maka hal itu bukanlah
keimanan. Apapun itu, itu bukanlah keimanan; itu bisa jadi agama (dalam konteks
institusi politis), itu bisa jadi dogma, namun itu bukanlah keimanan.
Keimanan adalah urusan manusia dengan Tuhannya, dengan Sang
Penciptanya, dengan Sang Maha yang ia percayai. Keimanan, layaknya kecerdasan,
sepatutnya tidak perlu dipertontonkan kepada manusia lainnya, apalagi
dipamerkan. Sayangnya, manusia kini hidup dalam zaman serba pamer. Seperti kata
eyang Guy Debord (dan hebatnya ia mencetuskan teori ini berpuluh-puluh tahun
yang lalu), bahwa kita hidup dalam masyarakat tontonan (the society of spectacles), di mana nilai (value) dari setiap hal yang manusia pergunakan kini dilihat dari
apa dan bagaimana sesuatu tersebut dapat dipertontonkan kepada orang lain. Dan semua
itu difasilitasi oleh adanya media sosial. Manusia seolah memiliki keharusan
untuk meng-update segala hal yang
mereka lakukan, buku yang mereka baca, obrolan yang mereka miliki dengan orang
lain, baju yang mereka beli, dan lain sebagainya. Bahkan, ketika beribadah pun
mereka meng-update-nya ke media
sosial. Jadi sebenarnya mereka beribadah untuk Tuhan atau untuk media sosial? Saya
tidak paham.
Keimanan ada di dalam diri masing-masing manusia; dan selayaknya kita
tidak saling mengurusi apalagi mengganggu urusan keimanan orang lain. Bagi
saya, manusia adalah sama; kita sama-sama makhluk hidup, dan saya tidak menilai
sesama saya melalui imannya, karena iman adalah urusan masing-masing manusia
dengan masing-masing Tuhannya. Bagi saya, keimanan itu layaknya lampion yang
menyala dalam hati kita; keindahannya akan terlihat oleh orang-orang di sekitar
kita tanpa perlu kita memamerkannya. Bagaimana maksudnya? Apabila keimanan kita
tulus, maka hal itu akan mewujud dalam perilaku kita sehari-hari. Dan tanpa
perlu kita memamerkan bagaimana keimanan kita terhadap Tuhan, apabila keimanan
kita tulus, perilaku kita sehari-hari pun akan memancarkan keindahannya kepada
sesama manusia. Rendah hati dan sederhana, ya, mungkin itu istilah yang tepat.
Saya pun sadar bahwa saya masih jauh dari rendah hati dan sederhana. Namun setidaknya,
kesadaran adalah awal dari perubahan yang lebih baik.
Maxim Gorky pernah berkata bahwa “Teruslah membaca buku, tetapi
ingatlah bahwa sebuah buku hanyalah sebuah buku, Anda harus belajar untuk
berpikir sendiri.” Istilah lainnya adalah pakaian yang seseorang pakai tidak
akan membentuk kepribadiannya. Kita dapat memperkaya diri dengan apapun, baik
itu ilmu maupun harta, namun semua kembali pada hati dan pikiran. Apakah kita sudah
cukup rendah hati untuk memiliki ilmu dan harta tersebut? Apabila kita membaca
buku hanya untuk tujuan pamer tanpa memahami esensi dari buku tersebut, maka
untuk apa? Itu semua tidak akan memberikan kontribusi bagi peradaban ini. Mungkin
karena itu ada peribahasa bahwa orang berilmu itu selayaknya padi yang semakin
berisi semakin merunduk. Entah mengapa saya membahas ini. Mungkin mulai merasa
jenuh karena membaca terlalu banyak buku teori dan riset untuk kepentingan
tesis. (Tuh kan saya pamer.) Akhir
kata, selamat Hari Raya Waisak; semoga keimanan kita seperti lampion yang
menyinari hati dan pikiran kita, sehingga mampu memberi keindahan bagi
orang-orang di sekitar kita.
Manis senyummu getarkan
jiwa ini, abadilah adanya dirimu
Damainya cinta untukmu,
yang takkan mungkin hilang semua
Lembutnya cinta untukku,
‘kan ku peluk s’lamanya
Agungnya cinta menunggu
di sana, raih dengan hati yang terbuka
-Gigi, Damainya Cinta
0 komentar