Dua Dekade Reformasi: Sudahkah?
Hari ini, tepat dua puluh tahun
yang lalu, rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade
akhirnya runtuh, ditandai dengan pengunduran diri secara resmi oleh Soeharto
dari tampuk kepemimpinan Presiden Republik Indonesia. Pengunduran diri tersebut
adalah hasil dari gerakan mahasiswa 1998 yang didorong oleh krisis moneter pada
tahun 1997. Gelombang protes besar-besaran terjadi menuntut berakhirnya rezim
otoriter yang kala itu telah berlangsung selama puluhan tahun di Indonesia.
Harga yang harus dibayar atas pengunduran diri itu tidak sederhana; ratusan
atau bahkan ribuan nyawa melayang, beberapa aktivis masih dinyatakan hilang
bahkan hingga saat ini, dan trauma-trauma menancap tajam pada beberapa pihak
yang menjadi korban kerusuhan pada waktu itu. Reformasi, sebuah era baru yang
ditandai dengan pengunduran diri Soeharto dan berakhirnya rezim Orde Baru, kini
telah memasuki dua dekade. Pertanyaannya adalah: sudahkah? Sudahkah reformasi itu terwujud? Sudahkah reformasi itu kita dapatkan? Sudahkah
kita menjalani reformasi itu?
Sudahkah?
Sesungguhnya, semangat yang
dibawa para mahasiswa dan masyarakat pendukung Reformasi pada waktu itu lebih
dari sekadar semangat untuk ‘menurunkan’ Soeharto dari tahta kepemimpinan,
melainkan untuk mengakhiri rezim otoriter. Selama rezim Orde Baru berkuasa,
suara-suara rakyat dibungkam, demokrasi dikerdilkan sedemikian rupa, dan pelanggaran
Hak Asasi Manusia merajalela atas nama ‘pembangunan’. Ya, dibalik nama besar
Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Indonesia, mengalir darah-darah manusia
rakyat Indonesia yang ditumpahkan sebagai tumbal. Namun, hingga kini, baik
almarhum Soeharto maupun kroni-kroninya tidak pernah mendapatkan pengadilan
yang setimpal atas apa yang telah mereka lakukan. Kesejahteraan semasa Orde
Baru hanya dirasakan oleh pihak-pihak tertentu saja; pihak-pihak yang,
sayangnya, hingga saat ini masih menduduki pemerintahan dan mencoba
menghadirkan kembali nostalgia masa lalu mengenai ‘keindahan semu’ masa Orde
Baru, yang tentu saja, tanpa menguak tabir kekelaman rezim tersebut.
Saya selalu percaya bahwa tidak
ada hal bersih yang dibangun di atas hal yang kotor. Sedikit kilas balik, masa
Orde Baru lahir dan dibangun di atas kekejaman. Ribuan, atau bahkan puluhan
ribu hingga ratusan ribu, jiwa dibantai pada masa peralihan Orde Lama ke Orde
Baru. Ribuan lainnya dipenjarakan selama puluhan tahun tanpa pengadilan. Sungguh
mengerikan. Orde Baru adalah sebuah rezim yang dibangun atas pelanggaran berat
terhadap HAM; dan sayangnya, fakta tersebut ditutup secara rapat dari
lembaran-lembaran kurikulum mata pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah. Satu hal
yang menjadi kesuksesan berjayanya rezim Orde Baru: ia berhasil membangun dogma
dan stigma yang mengonstruksi dan mengakar kuat di sistem masyarakat Indonesia
secara menyeluruh dalam berbagai aspek. Dan itu mengerikan sekaligus
memprihatinkan.
Semangat Reformasi adalah
mencapai demokrasi yang hakiki; demokrasi yang jelas-jelas direpresi dan
diopresi habis-habisan selama masa Orde Baru. Pada masa itu, pihak-pihak yang
kritis dan vokal terhadap pemerintah akan langsung diberangus dan (mirisnya)
tidak ada masyarakat yang peduli atau bahkan mempertanyakan ke mana hilangnya
orang-orang tersebut selain mungkin anggota keluarga mereka sendiri. Dan itu
hanya salah satu contoh dari sekian banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
rezim otoriter Orde Baru. Gerakan Reformasi hadir dengan semangat untuk
menghentikan itu semua. Pertanyaannya: apakah itu semua lantas berhenti dengan
turunnya Soeharto dari kursi Presiden? Jawabannya adalah tidak. Pada
kenyataannya, pelanggaran HAM masih banyak terjadi selama dua puluh tahun
belakangan ini.
Bicara tentang Reformasi berarti
(mau tidak mau) bicara tentang perjalanan sejarah dan politik bangsa ini. Saya
menyukai sejarah. Namun, politik, tidak begitu. Ironis memang, mengingat gelar
sarjana saya adalah Sarjana Ilmu Politik. Namun, ya, mau tidak mau, politik
adalah roda penggerak kehidupan bangsa ini selain ekonomi. Jadi, se-tidak
suka-nya kita atau se-skeptis apapun kita terhadap politik, kita harus
memahaminya, karena itulah mesin penggerak bangsa yang kerap kali beroperasi
secara tak kasat mata. Pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang sejarah bangsa
ini pun dimotivasi oleh kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Tujuannya apa
lagi kalau bukan untuk memeroleh ‘kekuasaan’; tidak hanya kekuasaan yang
termanifes melalui jabatan dalam pemerintah yang mengatur negara, melainkan
juga kekuasaan dalam berbagai lini kehidupan, utamanya, kekuasaan ekonomi. Selama
masa Orde Baru, investor asing bertubi-tubi memasuki Indonesia atas nama ‘pembangunan’.
Namun, apakah pembangunan tersebut benar-benar ‘membangun’ bangsa? Apakah pembangunan
tersebut telah benar-benar menyejahterakan masyarakat? Apakah pembangunan tersebut
telah sanggup memberdayakan masyarakat? Apabila jawabannya adalah iya, maka
pertanyaannya kemudian: masyarakat yang mana?
Kembali ke persoalan demokrasi;
dalam kaitannya dengan demokrasi, apakah agenda Reformasi telah berhasil sejauh
ini? Menurut saya, dikatakan sepenuhnya berhasil jelas belum. Hanya saja,
memang terdapat kemajuan yang luar biasa dibandingkan masa Orde Baru. Paling tidak,
tontonan kita tidak hanya terbatas pada TVRI saja. Selain itu, para netizen yang bebas berkelakar di dunia
maya, seperti saya, setidaknya masih bisa hidup. Para aktivis dapat menyuarakan
pendapatnya tanpa merasa takut bahwa jenazah mereka akan ditemukan di sebuah
parit keesokan harinya. Saya tidak ingin mengatakan bahwa Reformasi telah
gagal. Namun saya harus mengutarakan bahwa Reformasi belum berhasil; dan hal
ini sedikit banyak, menurut saya, disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang
menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka belum siap menjalankan demokrasi yang
seutuhnya. Bukan berarti saya setuju bahwa rezim otoriter lebih disarankan
dalam mengatur negara ini. Sama sekali bukan. Saya membenci rezim otoriter. Saya
hanya berpikir bahwa sesungguhnya ada agenda yang harus dan perlu untuk dicapai
sebelum masyarakat Indonesia bisa sampai pada demokrasi yang seutuhnya.
Pertama, mental-mental bentukan
rezim Orde Baru harus dipangkas habis. Dan ini yang susah. Satu hal yang saya
salutkan dari rezim Orde Baru adalah betapa kuatnya mereka sanggup menanamkan
dan membentuk sistem propaganda yang sedemikian rupa; dwifungsi TNI/ABRI dan heroisme
tentara (bahwa mereka adalah juru selamat), domestifikasi perempuan melalui Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan masih banyak lagi, hingga ke hal-hal paling
mikro dalam struktur masyarakat yang bahkan tidak kita rasakan dan kita terima
begitu saja (taken for granted)
sebagai bagian dari ‘hidup yang seharusnya’. Hal kedua masih berkaitan dengan
hal yang pertama, yaitu sistem pendidikan di Indonesia. Mental yang baru, yang
demokratis, yang berliterasi, dapat dibangun melalui sistem edukasi yang
mendukung. Dan satu kata tersebut, yaitu literasi, memegang kunci utama bagi
kesadaran dan pemahaman masyarakat akan demokrasi yang seutuhnya. Masyarakat kita
masih menjadi masyarakat yang ‘menonton’ dan ‘bicara’, sementara demokrasi
membutuhkan masyarakat yang tidak hanya itu, melainkan juga ‘mendengar’ dan ‘membaca’.
Sekarang ini saya dan teman-teman
sedang mengerjakan sebuah proyek film dokumenter yang berangkat dari (salah
satunya) rasa prihatin kami atas sisi kelam kehidupan demokrasi dalam era
Reformasi saat ini; sisi kelam yang disebabkan oleh (mengutip istilah populer
masa kini) belum ‘move on’-nya
masyarakat secara seluruhnya dari rezim Orde Baru. Kita memang belajar dari
masa lalu, dan kita semua harus belajar dari sejarah, bahkan hingga sejarah
yang paling kelam sekalipun. Namun ketika lembaran sejarah yang ditulis oleh
yang berkuasa tersebut tidak dibongkar dan diungkap tabirnya, bagaimana kita
akan beranjak sepenuhnya dari masa lalu? Indonesia dibayangi oleh ‘hantu-hantu’
masa lalu; dan sesungguhnya era Reformasi memiliki misi untuk menghapus ‘hantu-hantu’
tersebut. Sejarah bangsa ini penuh luka, dan itu tidak perlu dipungkiri, alih-alih,
luka itu harus diakui supaya bangsa ini dapat sembuh dari lukanya. Banyak darah
telah tertumpah demi kehidupan para penerus bangsa yang lebih merdeka dan
demokratis. Untuk itu, jangan sia-siakan kebebasan yang telah diperjuangkan
tersebut dengan terus mengulang nostalgia akan kebahagiaan semu di masa lalu.
Alih-alih, perjuangan belum selesai. Mendengarlah. Membacalah. Perubahan untuk
kemajuan selalu dimulai dari diri kita sendiri.
Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga, kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga, engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan
Engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!
-puisi karya Wiji Thukul, Bunga dan Tembok
Tags:
20 tahun reformasi indonesia
dua dekade reformasi
dua dekade reformasi: sudahkah?
reformasi
sudahkah?
thoughts
0 komentar