Dilema Usaha Buruh Kehidupan
Hari pertama di bulan Mei di
seluruh belahan bumi ditandai dengan perayaan Hari Buruh Internasional, sebuah
‘perayaan’ yang lahir dari gerakan protes para kaum buruh atau pekerja pada
tahun 1800-an yang menuntut pengurangan jam kerja, dari sekitar 10 hingga 16
jam sehari menjadi 8 jam sehari. Sejak awal era 1900-an, hari pertama di bulan
Mei menjadi hari istimewa di mana kelas buruh akan menghentikan segala
aktivitas pekerjaan mereka untuk turun ke jalan dan mengajukan protes serta
tuntutan atas hak-hak mereka sebagai manusia. Ya, semua diawali dengan
ketimpangan rasa. Rasa apa? Rasa yang dimiliki oleh kelas buruh atas hak hidup
mereka sebagai manusia.
Meskipun mereka adalah kaum
pekerja yang membutuhkan uang demi keberlangsungan hidup mereka, bukan berarti
tenaga mereka dapat diperas sedemikian rupa layaknya mesin oleh kelas yang
mempekerjakan mereka. Ketika mereka merasa hak mereka sebagai manusia
terpenuhi, atau setidaknya dihargai, mereka tidak akan mengajukan protes. Ketika
bahkan sejak tahun 1800-an hingga saat ini mereka masih mengajukan protes,
berarti mereka belum merasa hak-haknya terpenuhi atau dihargai. Oleh karena
itu, ada ketimpangan antara kelas buruh dan kelas yang mempekerjakan mereka;
ketimpangan pada tataran rasa yang dimiliki sebagai manusia. Kelas buruh merasa
belum dimanusiakan, sementara kelas yang mempekerjakan mereka merasa sudah
cukup memanusiakan mereka.
Dalam berbagai aspek kehidupan,
ketimpangan rasa selalu menjadi pemicu atas berbagai konflik. Kata-kata seperti
“hak”, “keadilan”, “kesetaraan”, dan lain sebagainya kerap mewarnai aksi-aksi May Day, yang sejak tahun 2014 menjadi
hari libur nasional di Indonesia. Menurut saya, penyebabnya cukup sederhana
untuk diketahui, namun sangat rumit untuk diurai dan dicari jalan tengahnya:
indikator atas “hak”, “keadilan”, dan lain-lain yang berbeda antara berbagai
pihak yang terlibat dalam konflik, dan dalam kasus ini, kelas buruh atau
pekerja dan kelas yang mempekerjakan mereka atau pemodal atau penentu kebijakan.
Satu kondisi, misalnya satu bulan cuti hamil, merupakan porsi yang adil bagi
kelas pemodal atau penentu kebijakan. Namun di sisi lain, satu bulan cuti hamil
dirasa kurang oleh kelas buruh atau pekerja, karena satu dan lain hal. Sama
halnya seperti relasi percintaan pria-wanita; satu kondisi yang disebut ‘sabar’
oleh si pria belum tentu merupakan perwujudan atas ‘sabar’ bagi si wanita.
Kuncinya terletak pada persoalan
pemaknaan. Setiap orang memiliki standar pemaknaan yang berbeda. Dua orang
dalam sebuah relasi percintaan saja pasti memiliki standar pemaknaan yang
berbeda, yang seringnya menyulut konflik diantara mereka berdua. Apalagi dalam
kasus ini, kelas buruh/pekerja dan kelas pemodal/penentu kebijakan terdiri dari
sekumpulan orang-orang dengan beragam standar pemaknaan. Oleh karena itu, saya
ungkapkan pada paragraf sebelumnya bahwa konflik batin yang dialami oleh kelas
buruh disebabkan oleh hal yang cukup sederhana untuk diketahui namun sangat
rumit untuk diurai dan dicari jalan tengahnya; karena perbedaan terletak pada
hal yang sangat fundamental, yaitu pemaknaan. Solusi yang terpikirkan oleh saya
pun sangat sederhana untuk diketahui namun cukup rumit untuk diwujudkan:
bicara.
Dalam perjalanan sejarahnya,
kelas pemodal/penentu kebijakan tidak menganggap kelas buruh/pekerja sebagai
pihak yang memiliki ‘suara’, bahkan atas kehidupan mereka sendiri. Untuk itulah
mereka melakukan aksi turun ke jalan, karena suara mereka tidak didengar.
Jangankan agar supaya suara mereka didengar, diberi kesempatan untuk bicara
saja tidak. Mereka diperlakukan layaknya mesin; dieksploitasi habis-habisan
ketika masih produktif, lalu dibuang begitu saja ketika mereka tidak lagi
produktif, karena mereka bisa dengan mudah digantikan oleh ‘mesin-mesin’
lainnya; tidak ada artinya dan sanggup disubstitusi kapan saja dan oleh siapa
saja.
Problem mendasar lainnya yang
kemudian muncul akibat dari kondisi tersebut adalah: kaum buruh/pekerja merasa
tidak berdaulat atas dirinya. Nah, dari sini saya akan masuk pada judul artikel
di atas; mengapa saya menggunakan kutipan judul dari buku karya Sindhunata,
“Dilema Usaha Manusia Rasional”. Setiap kali saya tiba pada suatu masa di mana
saya mengalami atau menyaksikan konflik di sekitar saya, saya selalu merasa
bahwa seluruh konflik tersebut bersumber pada satu hal: rasa takut. Manusia
adalah makhluk yang penuh dengan rasa ketakutan. Kita takut pada hal-hal yang
tidak kita ketahui. Oleh karena itu kita selalu berusaha untuk mencari jawaban
atas setiap pertanyaan. Kita takut bahwa segala pertanyaan kita tidak akan
mendapatkan jawaban. Oleh karena itu kita selalu berusaha untuk mencari
jawabannya.
Namun, setiap kali manusia
berusaha meraih pengertian rasional, saat itu juga ia menjadi irasional.
Menurut Horkheimer, hal itulah yang menjadi dilema usaha manusia rasional.
Semakin manusia berusaha membebaskan diri dari ketakutan di luar dirinya demi
kedaulautan dirinya, semakin manusia dibelenggu oleh kekuatan di luar dirinya
hingga kehilangan kedaulatan dirinya. Bingung dengan kalimat barusan? Sama.
Intinya, Horkheimer beranggapan bahwa semakin manusia mencari kebebasan untuk
lepas dari rasa takutnya, sesungguhnya ia justru semakin terbelenggu pada rasa
takut itu sendiri. Lalu apa hubungannya dengan kaum buruh/pekerja? Apabila bicara
soal kaum buruh/pekerja, saya rasa kita semua adalah buruh/pekerja atas
kehidupan kita sendiri.
Apakah Anda seorang pengusaha,
pegawai kantoran, atau ibu rumah tangga, setiap harinya Anda bertahan hidup.
Untuk siapa? Mungkin Anda merasa bahwa Anda hidup untuk diri Anda sendiri.
Namun, benarkah? Menurut saya, kita hidup untuk hidup. Kita hidup untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh kehidupan kepada kita; mulai dari hal-hal
filosofis untuk memenuhi jiwa kita hingga hal-hal materialistis untuk memenuhi
kebutuhan fisik kita, cinta, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, harta,
bahkan hingga kematian sekalipun, merupakan tuntutan dari kehidupan yang
membuat kita merasa harus memenuhinya. Kita semua adalah buruh kehidupan. Semakin
kita berusaha untuk mencari ‘diri’ kita untuk berdaulat di tengah proses
pemenuhan kebutuhan tersebut, semakin kita terbelenggu pada kebutuhan-kebutuhan
tersebut, baik disadari maupun tidak. Yang ada, kita menciptakan kesadaran
dalam diri kita bahwa kita membutuhkan kebutuhan-kebutuhan yang dituntut oleh
kehidupan tersebut. Hal itu kita lakukan untuk menjaga kewarasan diri kita
sendiri; sebuah upaya untuk ‘menjadi’ manusia, sekaligus sebuah dilema.
Kembali pada relasi antara kelas
buruh/pekerja dan kelas pemodal/penentu kebijakan, saya melihatnya seperti
relasi percintaan antara pria dan wanita. Bukan dalam artian yang buruk maupun
baik, namun dalam tataran praktik nyata keseharian atau riil. Kedua belah pihak
saling membutuhkan satu sama lain, tidak dapat benar-benar terlepas dari satu
sama lain, namun pada saat yang bersamaan masing-masing memiliki ego untuk
merasa dihormati dan dihargai haknya sebagai manusia. Perbedaan pemaknaan
menyulut konflik diantara mereka, namun konflik tersebut membuka ruang diskusi
bagi keduanya. Meskipun ditemui kesepahaman, protes-protes akan selalu terjadi
tiap dulu dan kini. Namun keduanya akan selalu kembali bersama. Mengapa? Karena
mereka sadar bahwa mereka saling membutuhkan. Meskipun mereka sadar, akan tetap
muncul kesenjangan pemaknaan yang berujung pada protes di kemudian hari. Meskipun
terasa bagaikan siklus yang melelahkan, sesungguhnya akan selalu ada sesuatu
yang baru dari setiap konflik yang terjadi; dan disitulah proses pembelajaran
bagi keduanya.
Sepanjang bumi masih berputar dan
kehidupan manusia disokong oleh industri-industri yang menggerakkan roda-roda
kehidupan, May Day akan terus ada. Saya
memilih untuk tidak melihatnya sebagai sesuatu yang baik-buruk atau
kemajuan-kemunduran, melainkan sebagai sebuah proses pendewasaan bagi semua
pihak. Dan sesungguhnya manusia tidak perlu khawatir bahwa mereka akan menemukan
jalan buntu, karena selama dinamika masyarakat terus terjadi, meskipun
kesenjangan pemaknaan atas hak-hak hidup manusia selalu ada, kehidupan akan
terus berproses. Kaum buruh/pekerja adalah poros semesta bagi kaum
pemodal/penentu kebijakan. Kaum pemodal/penentu kebijakan adalah jangkar bagi
kaum buruh/pekerja. Utarakan keluhan, dengarkan pendapat, dan cari jalan tengah
bersama-sama. Akhir kata, hidup kelas
pekerja!
Deru nafas bergelut dengan waktu
Suarakan lagu tentang kebebasan
Buang saja s’gala gundah dirimu
Kita nikmati indahnya dunia
-Power Metal, Lagu Kebebasan
Tags:
dilema usaha buruh kehidupan
hari buruh
hari buruh internasional
hari buruh sedunia
international labor day
international labour day
international workers' day
labor day
labour day
may day
thoughts
0 komentar