Apa Itu Kebebasan?
Malam ini, dua tahun yang lalu,
saya menghadiri sebuah acara yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia, yang jatuh pada tanggal
3 Mei. Acara waktu itu adalah pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta”,
sebuah dokumenter yang mengangkat kisah seorang mantan narapidana politik 1965
yang selama puluhan tahun dipenjara di Pulau Buru tanpa pengadilan. Ironisnya,
acara malam itu dibubarkan secara paksa oleh ormas yang didukung penuh oleh
polisi. Dan begitulah potret ‘kebebasan’ di Indonesia; aksi represi terjadi di
tengah perayaan atas ‘kebebasan’.
Dua tahun berselang dan malam ini
saya berpikir ulang; apa itu kebebasan? Orang ramai-ramai menggaungkan soal ‘kebebasan’.
Massa tumpah ke jalanan menuntut yang namanya ‘kebebasan’. Para filsuf mati
muda memikirkan soal ‘kebebasan’. Makhluk apa sebenarnya ‘kebebasan’ ini? Apakah
ia merupakan hakikat hidup manusia? Atau apakah ia merupakan tujuan hidup
manusia? Mengapa orang-orang sibuk mencari ‘kebebasan’? Mengapa kita berhasrat
untuk memiliki ‘kebebasan’? Bagaimana kita mendapatkannya? Apakah ia merupakan
entitas tunggal bebas nilai? Apakah ia tidak terikat dengan variabel-variabel
lain dalam kehidupan?
Semua tanya itu menggantung di
udara dingin malam ini. Sudahkah saya merasa bebas? Apakah saya selama ini
memiliki ‘kebebasan’ itu, hanya saja saya tidak menyadarinya? Atau apakah
sebenarnya saya tidak pernah dan tidak akan bisa memiliki ‘kebebasan’ itu?
Ketika saya menemukan kepala saya penuh dengan pikiran dan pertanyaan yang
membuat diri saya tidak bisa tidur, saat itulah saya tersadar, saya tidak
bebas. Saya tidak memiliki ‘kebebasan’. Rupanya, kebebasan itu sesederhana
kemampuan untuk tidur lelap di malam hari.
Adakah makna yang universal bagi
sebuah ‘kebebasan’? Apakah satu ‘kebebasan’ bagi seseorang juga merupakan ‘kebebasan’
bagi orang lain? Bagi AJI, kebebasan adalah ketika mereka menyelenggarakan
acara pemutaran film, terlepas dari apapun tema filmnya, tanpa mendapatkan
halangan dari pihak lain. Bagi ormas, dan mungkin juga polisi, kebebasan adalah
ketika mereka sanggup menghentikan sebuah acara karena dianggap mengancam
eksistensi mereka. Dari kasus itu saja, saya melihat bahwa ‘kebebasan’ adalah
persoalan perspektif. Sebagai individu, ketika kita mampu menentukan siapa
kita; itulah kebebasan. Namun, dalam proses penentuan tersebut tidak dapat
dipungkiri bahwa kita tidak bisa sepenuhnya berpikir hanya tentang diri kita
sendiri. Kita berpikir tentang orang-orang di sekitar kita, orang-orang yang
kita kasihi, sumber daya yang kita miliki, serta faktor-faktor lain yang turut
menentukan ke-‘diri’-an kita, waktu, ruang, kuasa, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, apakah manusia sanggup untuk benar-benar ‘bebas’?
Bahkan ketika seorang individu,
katakanlah, telah merasa membebaskan dirinya dari segala atribut yang melekat
hingga akhirnya mampu menentukan dan memutuskan bagi dirinya sendiri, apakah ia
sudah benar-benar ‘bebas’? Bukankah ia senantiasa terkoneksi dengan pikirannya
sendiri dalam proses menuju kebebasan tersebut? Dan sesungguhnya, tidak ada yang
lebih menyeramkan dari sebuah kondisi di mana kita terpenjara dalam pikiran
kita sendiri. Benak kita tidak akan kuat menerimanya, karena sebagai manusia,
kita diciptakan dengan berbagai keunggulan sekaligus keterbatasan; salah
satunya adalah pikiran kita sendiri.
Oke, sampai di sini, tulisan saya
terbaca sangat filosofis; penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan rumput
bergoyang pun enggan untuk menjawabnya. Jika saya sendiri lelah menulis dan
membacanya, apalagi Anda. Yang jelas, hari ini adalah peringatan Hari Kebebasan
Pers Sedunia dan saya tergelitik untuk bicara mengenai ‘kebebasan’. Seringnya yang
saya dapati dalam praktik kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah
benar-benar ‘bebas’ dari sesuatu apapun di dunia ini; dengan kata lain, tidak
ada ‘kebebasan’ yang hakiki. Ketika kita terlahir di dunia sebagai manusia
seutuhnya, kita sudah serta-merta terikat pada atribut sebagai ‘anak’. Seiring kita
tumbuh dewasa, semakin banyak atribut yang menempel pada diri kita. Bahkan hingga
kita mati pun, tidak ada yang sanggup menjamin bahwa tidak akan ada atribut
yang tersemat pada arwah kita kelak.
Dalam perjalanan sejarahnya, saya
rasa para filsuf menyadari itu, sehingga yang terjadi adalah manusia memasang
indikator mereka sendiri atas apa yang mereka sebut sebagai ‘kebebasan’; dan
sifatnya sangat kontekstual. Dihapuskannya perbudakan menjadi standar ‘kebebasan’
bagi para kaum budak pada masanya. Merdekanya sebuah bangsa yang dijajah
menjadi orientasi ‘kebebasan’ bagi negara dunia ketiga pada masanya. Sanggup memiliki
pekerjaan dan uang atas hasil jerih payahnya sendiri menjadi acuan ‘kebebasan’
bagi para anak yang selama hidupnya dibiayai oleh orang tua mereka. Setiap
individu dan kelompok memiliki indikator atas apa itu ‘kebebasan’. Setidaknya,
mereka memiliki kesadaran dan pengetahuan atas apa yang mereka ingin dan
butuhkan; dari situlah setidaknya mereka sanggup merasa ‘bebas’.
Sayangnya, ‘kebebasan’ tidak
datang tanpa harga yang harus dibayar. Ribuan kaum budak harus menderita
sebelum akhirnya kaum mereka berhasil meraih kebebasan. Jutaan nyawa harus
melayang sebelum akhirnya sebuah bangsa yang dijajah berhasil merdeka. Para anak
harus memeras otak dan membanting tulang untuk tidak lagi meminta uang kepada
orang tua mereka. Seperti kata pepatah, tidak ada makan siang yang gratis di
dunia ini. Untuk itu kita pantas merasa waspada ketika kita merasa telah meraih
‘kebebasan’; adakah jiwa-jiwa yang terluka atas ‘kebebasan’ yang kita raih? Tentunya
hal tersebut menjadi paradoks. Kita meraih kebebasan demi kebahagiaan diri
kita, namun atas kebahagiaan tersebut, kita melukai pihak lain. Mirisnya, hal
tersebut selalu terjadi. Tidak ada yang harus dipersalahkan, karena hidup ini
adalah area abu-abu alih-alih hitam atau putih.
Pernahkah Anda bertanya pada diri
Anda sendiri; kebebasan seperti apa dan yang bagaimana yang Anda inginkan? Ketika
Anda ingin meraihnya, apakah ada pihak-pihak lain yang akan terluka? Apakah luka
yang Anda torehkan pada orang lain tersebut sepadan dengan kebebasan yang Anda
raih? Sayangnya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk melakukan refleksi
dan kontemplasi atas segala pilihan yang mereka lakukan. Oleh karena itu,
seringnya, mereka tidak menyadari bahwa mereka telah memaksakan ‘kebebasan’
diri mereka sendiri terhadap orang lain dan mencederai ‘kebebasan’ orang lain
tersebut.
Kebebasan, atau lebih tepatnya ‘konsep
atas kebebasan diri’, yang tercederai kerap menjadi pemicu atas terjadinya konflik
dalam relasi antarmanusia. Dan sesungguhnya, konflik ini tidak dapat dihindari
karena setiap individu memiliki indikatornya sendiri atas konsep kebebasan diri
mereka. Oleh karena itu, dua orang yang telah menjalin relasi dalam waktu yang
cukup lama tidak mungkin tidak memiliki keluhan atas satu sama lain. Dan ketika
konflik itu telah terjadi, resolusi atas konflik tersebut menjadi sebuah proses
yang akan memberikan makna baru bagi kedua individu dalam relasi tersebut. Pada
tataran ini akan terlihat, sejauh mana seseorang memaknai kebebasan; apakah
ketulusan dan hasrat yang mendominasi pemaknaan tersebut, atau semata hanya ego
dan amarah.
Keinginan atas pencapaian ‘kebebasan’
tidak akan muncul tanpa adanya ego dalam diri manusia. Namun dalam
perjalanannya, ego tersebut dihadapkan pada ego-ego orang lain, yang apabila
seseorang memiliki kemampuan untuk mengendapkan dan memahaminya, justru akan memunculkan
rasa empati alih-alih egoisme. Tidak ada seseorang yang dapat benar-benar
merasakan menjadi orang lain, karena tidak ada orang yang sanggup berjalan di
atas kaki orang lain. Meskipun demikian, kita dapat berjalan beriringan. Kita tidak
dapat menyalahkan seseorang untuk menjadi dirinya sendiri. Namun juga tidak ada
salahnya kita mencoba melihat melalui perspektif orang lain; empati, nilai penting
dalam kehidupan namun kurang diajarkan dalam institusi pendidikan.
Kita sering mendengar istilah;
boleh bebas asal bertanggung jawab. Tanggung jawab seperti apa yang dituntut
dari kebebasan tersebut? Apakah seorang suami bebas mencari hiburan di luar rumah
asal pada akhirnya ia selalu kembali pada sang istri? Lalu bagaimana dengan
perasaan sang istri selama si suami pergi bermain? Apakah ia lantas menjadi
baik-baik saja setelah si suami pulang ke rumah? Sejauh mana ‘kebebasan’
seseorang harus dihormati? Sejauh mana ‘kebebasan’ seseorang harus ditolerir? Apabila
dengan memberikan toleransi atas kebebasan orang lain ternyata melukai diri
kita, apakah kita harus terus melakukannya? Adakah cara supaya kita dapat
memberi kebebasan bagi orang lain tanpa menyakiti diri kita sendiri? Dengan siapapun
kita menjalin relasi, pasti akan ada suatu titik masa di mana
pertanyaan-pertanyaan ini muncul, karena pada hakikatnya, ‘kebebasan’ adalah persoalan
perspektif dan kontekstual. Pada tataran relasi antarmanusia,
pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dirangkai jawabannya melalui proses
diskusi hati-ke-hati antara dua individu dalam relasi tersebut.
Tulisan ini saya tutup dengan
beberapa pertanyaan reflektif yang saya ajukan pada diri saya sendiri (dan
sejujurnya saya belum menemukan jawabannya); ketika dengan merasa ‘bebas’
menjadi diri kita sendiri ternyata melukai orang lain dalam prosesnya, apakah
kita akan terus melakukannya? Ataukah kita akan mendorong diri kita untuk
bertransformasi menjadi sosok yang lain? Adakah jalan tengah di mana kita bisa ‘bebas’
menjadi diri kita sendiri tanpa harus melukai orang lain? Adakah cara untuk
bertransformasi tanpa melukai diri sendiri? Sesungguhnya, saya sadari, memberi ‘kebebasan’
bagi orang lain berarti membuka ruang bagi orang tersebut untuk melukai diri
kita sendiri. Begitu juga sebaliknya, memberi ‘kebebasan’ bagi diri sendiri
berarti membuka ruang bagi diri kita untuk melukai orang lain. Sepertinya saya
harus melakukan definisi ulang atas ‘kebebasan’ bagi diri saya sendiri.
Selamat datang di era kemunduran, pikiran tertutup jadi andalan.
Praduga tumbuh tenteram, menghakimi sepihak, sebar ketakutan.
Membakukan persepsi, bukan jadi jawaban atau gagasan bijak.
Selangkah maju ke depan, empat langkah ke belakang, kita takkan
beranjak.
-Seringai, Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan)
0 komentar