• Home
  • Download
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Social
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Entertainment
  • Travel
  • Contact Us

footer logo

pieces of me



Bulan Mei serasa berjalan begitu lambat bagi saya. Mungkin karena sepanjang bulan saya dikejar-kejar deadline tesis dan masa studi saya yang usianya semakin singkat. Mungkin juga karena begitu banyaknya turbulensi dalam kehidupan saya semenjak bulan ini dimulai 31 hari yang lalu. Yang jelas, saya memulai bulan Mei dengan suasana hati yang kalut dan serba tidak karuan. Sepanjang bulan ini berjalan pun kejadian demi kejadian datang dan singgah dan belum menunjukkan tanda-tanda akan surut. Sudah tidak terhitung berapa jumlah obat sakit kepala yang harus saya telan sepanjang bulan ini; yang jelas lebih banyak daripada yang lalu-lalu. Namun saya berhasil melaluinya satu per satu tanpa menjadi gila. Oleh karena itu, sebagai apresiasi terhadap diri saya sendiri, saya rasa bulan ini layak untuk ditutup dengan sebuah tulisan; meskipun tidak ada momen tertentu untuk dirayakan hari ini. Toh, selain kita, siapa lagi yang akan mengapresiasi diri kita sendiri?
Hari ini segala urusan saya berjalan lancar, mulai dari draft tesis yang sudah disetujui dosen pembimbing (sehingga saya bisa melanjutkan ke bab selanjutnya), wawancara dengan beberapa informan, hingga mengurus anak saya, Disco. Syukur kepada semesta atas itu semua. Malam ini juga sepertinya saya bisa tidur lebih awal daripada malam-malam sebelumnya (segera setelah saya menyelesaikan tulisan ini). Dan saya sebenarnya masih bingung ingin menulis tentang apa. Mungkin hanya sekadar berkeluh kesah saja, sekaligus bersyukur, karena akhirnya saya bisa tiba di penghujung bulan Mei dalam kondisi sehat, meskipun masih dalam kondisi mental yang resah karena dikejar deadline tesis. Begitu banyak yang harus saya lakukan dalam waktu yang begitu singkat. Seperti lirik lagu dari Arkarna, “So little time so much to do.” And yes, so many things that I have to do but there is nothing that I want to do. Dan seperti lirik lanjutan dari lagu tadi, “I’d rather spend my days with you.” I’d rather spend my time with him. Tapi, ya, ada kalanya romansa harus tertangguhkan karena ada urgensi yang lebih menuntut prioritas dan pertanggungjawaban.
Terkadang terbersit rasa menyesal dalam hati saya: mengapa tidak sedari dulu saya dapat fokus pada tanggung jawab saya ini (baca: tesis)? Namun ketika saya pikir kembali, untuk apa saya menyesal? Toh semua itu sudah ada waktunya. Mungkin waktu itu memang harus saya lewati untuk berbenah diri. Mungkin waktu itu memang harus saya habiskan untuk mengalami kejadian-kejadian itu untuk menyiapkan mental. Mungkin waktu itu memang sudah seharusnya berlalu secara demikian. Pun ketika saya melihat ke belakang sejenak, saya sadar bahwa sesungguhnya tidak ada sesuatu yang sia-sia maupun percuma. Segala sesuatu ada maknanya. Semua tergantung pada bagaimana kita memahami; pada kemampuan kita untuk memproses dan menerima. Seperti ketika membaca buku; buku yang sama akan dimaknai berbeda oleh pembaca yang berbeda. Yang memberi makna adalah bukan pada kegiatan kita membaca buku, tetapi pada proses kita memahami esensi dari buku tersebut. Semua kembali pada pola pikir, yang tentunya dibangun oleh keseharian dan interaksi kita dengan manusia lainnya. Manusia belajar dari sejarah; dan setiap harinya kita mengukir sejarah kita sendiri. Carpe diem atau seize the day adalah frasa favorit saya, namun saya masih merasa susah untuk melakukannya. Namun saya selalu percaya bahwa tidak ada kata terlambat untuk berbenah. Waktu bisa saja berjalan linier, namun “masa” tidak linier. Dan jiwa serta benak kita hidup dalam masa meskipun tubuh kita hidup dalam waktu. Every day is a different day. Dan esok hari adalah hari yang baru. Semoga Juni menyapa dengan balada yang bersahabat.

Di saat ini ingin ku terlena lagi, terbang tinggi di awan, tinggalkan bumi di sini
Di saat ini ingin ku mencipta lagi, ‘kan ku tuliskan lagu sambil ku kenang wajahmu
Malam panjang, remang-remang, di dalam gelap aku dengarkan, syair lagu kehidupan
-Ahmad Albar, Syair Kehidupan

Wrote by Mashita Fandia


Jarak tempuh dari candi Borobudur ke rumah saya hanya sekitar satu jam saja. Namun, seumur saya hidup hingga hari ini belum pernah saya menyaksikan upacara pelepasan lampion yang menjadi tradisi setiap Hari Raya Waisak. Di satu sisi tentu saja saya sangat ingin menyaksikannya. Saya sudah pernah mengikuti pesta lampion di Dieng, dan itu sangat menakjubkan. Maka bayangkan betapa menakjubkannya melihat ribuan lampion menghiasi langit malam dengan candi Borobudur sebagai latarnya. Di sisi lain terbersit rasa enggan yang disebabkan oleh keramaian jalanan dan orang-orang di sana. Yah, memang nasib menjadi orang dengan pribadi ‘rumahan’ yang lebih memilih untuk berdiam di rumah daripada menerjunkan diri dalam keramaian. (Bahkan perayaan malam tahun baru saja selalu sebisa mungkin saya habiskan di dalam rumah dalam keheningan.) Sejujurnya, dalam tulisan kali ini saya tidak ingin berbicara tentang apapun selain mengucapkan selamat merayakan Hari Raya Waisak bagi semua umat Buddha yang ada di seluruh penjuru dunia. Semoga damai menyertai kita semua.



Saya selalu memiliki obsesi tersendiri terhadap lampion; utamanya dalam jumlah banyak yang dilepaskan ke langit malam. Sepertinya semua itu dimulai ketika saya menonton film animasi “Tangled” (2010), di mana terdapat sebuah adegan ribuan lampion yang dilepas ke langit malam untuk merayakan hari ulang tahun putri kerajaan yang hilang sewaktu bayi. Konon, putri itu adalah Rapunzel. Dalam adegan film itu, Rapunzel dan Flynn melihat pesta lampion tersebut dari sebuah kapal kecil di atas danau dekat kerajaan. Sungguh merupakan ilustrasi yang luar biasa; tidak heran apabila “Tangled” menjadi salah satu film animasi dengan biaya produksi termahal. Di samping itu, lagu andalan “I See the Light” diputar ketika adegan tersebut berlangsung; semakin melengkapi nuansa magis dari adegan tersebut. Ya, mungkin karena itu saya memiliki obsesi terhadap pesta lampion. Saya mendambakan perasaan yang sama yang saya rasakan ketika melihat adegan dalam film “Tangled” tersebut; hangat, dan... damai.
Namun bukankah itu tujuan manusia memiliki keimanan? Untuk merasa damai. Namun ketika keimanan itu sendiri menjebak manusia untuk menyebarkan perasaan tidak damai pada manusia lainnya, apakah hal tersebut masih layak untuk disebut sebagai iman? Wah, tidak disangka saya bisa mengutarakan sebuah pertanyaan filosofis di tengah keengganan saya untuk berbicara mengenai hal yang ‘berat-berat’ kali ini. Sungguh ironis, bukan? Tenang. Ini bukan pertama kalinya. Apabila Anda telah sering membaca tulisan saya maka Anda akan merasa wajar dengan sesuatu seperti ini. Pikiran saya (yang kemudian terbaca melalui tulisan saya) memang merupakan alam liar yang kadang tidak terbaca peta-petanya. Tuh kan, saya melantur lagi. Intinya, saya percaya bahwa manusia membutuhkan keimanan untuk diri mereka sendiri; untuk merasa damai. Sehingga, alasan apapun yang digunakan manusia untuk menyebarkan teror terhadap sesama manusia, maka hal itu bukanlah keimanan. Apapun itu, itu bukanlah keimanan; itu bisa jadi agama (dalam konteks institusi politis), itu bisa jadi dogma, namun itu bukanlah keimanan.
Keimanan adalah urusan manusia dengan Tuhannya, dengan Sang Penciptanya, dengan Sang Maha yang ia percayai. Keimanan, layaknya kecerdasan, sepatutnya tidak perlu dipertontonkan kepada manusia lainnya, apalagi dipamerkan. Sayangnya, manusia kini hidup dalam zaman serba pamer. Seperti kata eyang Guy Debord (dan hebatnya ia mencetuskan teori ini berpuluh-puluh tahun yang lalu), bahwa kita hidup dalam masyarakat tontonan (the society of spectacles), di mana nilai (value) dari setiap hal yang manusia pergunakan kini dilihat dari apa dan bagaimana sesuatu tersebut dapat dipertontonkan kepada orang lain. Dan semua itu difasilitasi oleh adanya media sosial. Manusia seolah memiliki keharusan untuk meng-update segala hal yang mereka lakukan, buku yang mereka baca, obrolan yang mereka miliki dengan orang lain, baju yang mereka beli, dan lain sebagainya. Bahkan, ketika beribadah pun mereka meng-update-nya ke media sosial. Jadi sebenarnya mereka beribadah untuk Tuhan atau untuk media sosial? Saya tidak paham.
Keimanan ada di dalam diri masing-masing manusia; dan selayaknya kita tidak saling mengurusi apalagi mengganggu urusan keimanan orang lain. Bagi saya, manusia adalah sama; kita sama-sama makhluk hidup, dan saya tidak menilai sesama saya melalui imannya, karena iman adalah urusan masing-masing manusia dengan masing-masing Tuhannya. Bagi saya, keimanan itu layaknya lampion yang menyala dalam hati kita; keindahannya akan terlihat oleh orang-orang di sekitar kita tanpa perlu kita memamerkannya. Bagaimana maksudnya? Apabila keimanan kita tulus, maka hal itu akan mewujud dalam perilaku kita sehari-hari. Dan tanpa perlu kita memamerkan bagaimana keimanan kita terhadap Tuhan, apabila keimanan kita tulus, perilaku kita sehari-hari pun akan memancarkan keindahannya kepada sesama manusia. Rendah hati dan sederhana, ya, mungkin itu istilah yang tepat. Saya pun sadar bahwa saya masih jauh dari rendah hati dan sederhana. Namun setidaknya, kesadaran adalah awal dari perubahan yang lebih baik.
Maxim Gorky pernah berkata bahwa “Teruslah membaca buku, tetapi ingatlah bahwa sebuah buku hanyalah sebuah buku, Anda harus belajar untuk berpikir sendiri.” Istilah lainnya adalah pakaian yang seseorang pakai tidak akan membentuk kepribadiannya. Kita dapat memperkaya diri dengan apapun, baik itu ilmu maupun harta, namun semua kembali pada hati dan pikiran. Apakah kita sudah cukup rendah hati untuk memiliki ilmu dan harta tersebut? Apabila kita membaca buku hanya untuk tujuan pamer tanpa memahami esensi dari buku tersebut, maka untuk apa? Itu semua tidak akan memberikan kontribusi bagi peradaban ini. Mungkin karena itu ada peribahasa bahwa orang berilmu itu selayaknya padi yang semakin berisi semakin merunduk. Entah mengapa saya membahas ini. Mungkin mulai merasa jenuh karena membaca terlalu banyak buku teori dan riset untuk kepentingan tesis. (Tuh kan saya pamer.) Akhir kata, selamat Hari Raya Waisak; semoga keimanan kita seperti lampion yang menyinari hati dan pikiran kita, sehingga mampu memberi keindahan bagi orang-orang di sekitar kita.

Manis senyummu getarkan jiwa ini, abadilah adanya dirimu
Damainya cinta untukmu, yang takkan mungkin hilang semua
Lembutnya cinta untukku, ‘kan ku peluk s’lamanya
Agungnya cinta menunggu di sana, raih dengan hati yang terbuka
-Gigi, Damainya Cinta

Wrote by Mashita Fandia


Angka 12 memang bukan angka yang lazim untuk memperingati sesuatu. Angka 12 bukan layaknya kelipatan angka 8 yang disebut windu dalam hitungan tahun, atau kelipatan angka 10 yang disebut dekade, atau bahkan kelipatan angka 100 yang disebut abad. Namun, dalam budaya Tionghoa, angka 12 merupakan siklus yang sakral, di mana zodiak Tionghoa mengalami perputaran setiap 12 tahun sekali. Untuk itu tidak ada salahnya melakukan refleksi pada peringatan tahun ke-12, yang, secara filosofis, dapat dimaknai sebagai pergantian siklus baru dalam kehidupan. Refleksi atas peringatan apa? Hari ini, tepat 12 tahun yang lalu, sebuah fenomena alam mengguncang kota tempat saya lahir dan dibesarkan, kampung halaman saya, Yogyakarta. Hari ini adalah peringatan 12 tahun gempa Yogyakarta.
Pagi itu, tepat 12 tahun yang lalu, saya ingat betul tengah mematut diri di depan cermin ketika gempa terjadi. Waktu itu saya yang sudah selesai mandi dan memakai seragam, sedang bersiap berangkat sekolah (waktu itu saya kelas 1 SMA). Saya mendengar suara berdengung yang sangat kencang sebelum merasakan getaran yang cukup hebat. Ibu saya berteriak-teriak menyuruh semua orang untuk lari ke luar rumah. Adik laki-laki saya yang sedang mandi seketika berlari dalam kondisi telanjang bulat. Ibu saya berlari sembari menyeret (menyeret secara literal, karena badannya terlalu berat) adik perempuan saya yang masih tertidur. Nenek saya (waktu itu beliau masih hidup, sekarang sudah almarhum, meninggal pada akhir tahun 2015 lalu, semoga ia istirahat dalam damai, amin), untungnya, saat itu sudah berada di luar rumah karena sedang menjemur pakaian. Ayah saya waktu itu sedang berada di Kalimantan karena urusan pekerjaan. Singkat cerita, kami sampai di luar rumah ketika gempa masih belum selesai. Tetangga-tetangga pun berhamburan ke luar rumah mereka. Kondisi penuh kepanikan. Dan semua mengira gempa datang dari gunung Merapi, yang memang pada waktu itu juga sedang bergejolak dan sudah sempat mengeluarkan awan panas.
Ketika gempa sudah selesai dan kondisi mulai tenang, pagi itu saya masih sempat berangkat ke sekolah diantarkan oleh ibu saya. Sesampainya di sekolah, saya bahkan masih sempat bertemu dengan teman-teman. Saya lupa apakah pelajaran sempat dimulai, namun yang jelas, isu tsunami kemudian berhembus. Banyak diantara teman-teman saya yang memilih untuk berkumpul di masjid sekolah dan memanjatkan doa. Sementara itu, saya dan teman dekat saya, Maridjo, memutuskan untuk pulang ke rumah. Kebetulan rumah kami searah dan Maridjo berbaik hati mengantarkan saya pulang ke rumah di tengah saya tahu ia pun merasa panik dengan kondisi yang ada. Sepanjang jalan kami menyaksikan kepanikan. Orang-orang berteriak tsunami. Kacau. Sesampainya di rumah, saya lupa apakah ibu dan adik laki-laki saya sudah datang duluan atau mereka datang setelah saya, yang jelas kami semua akhirnya berkumpul di rumah. Listrik padam. Sinyal telepon hilang. Tidak ada akses komunikasi, selain radio, dan hanya satu stasiun radio yang masih bisa mengudara pada waktu itu: Radio Sonora FM. Dari siaran tunggal itulah kami akhirnya mendapat kepastian informasi bahwa tsunami hanya isu belaka. Tidak terjadi tsunami di pantai selatan.
Kami tidak berani masuk ke dalam rumah, karena gempa susulan masih terasa hingga berjam-jam setelah gempa utama. Sekitar malam hari, listrik menyala, kami menyalakan televisi, dan kami dibuat terkejut dengan efek gempa yang memporak-porandakan wilayah Kabupaten Bantul (tempat tinggal kami di Sleman, sehingga di sekitar rumah kami kerusakan yang terjadi tidak begitu parah). Setelah sinyal telepon kembali, ayah kami sudah panik mencari kabar keselamatan keluarganya. Ia pun segera memesan tiket untuk kembali ke Yogyakarta meskipun pekerjaannya di sana belum selesai. Saya ingat betul malam itu (dan tiga malam berikutnya) kami tidur di teras rumah karena masih takut akan terjadi gempa susulan yang lebih besar. Beberapa hari setelah hari itu saya dan teman-teman menyambangi daerah Bantul sekaligus menjenguk teman saya yang berdomisili di sana. Saya terkejut luar biasa. Sebagian besar daerah rata dengan tanah, bahkan masih terdapat beberapa wilayah yang ditutup karena evakuasi korban masih berlangsung. Meskipun saya dan teman-teman tidak menunjukkannya, gempa meninggalkan luka dan trauma tersendiri dalam diri kami, dengan bentuknya yang bermacam-macam.
Saya rasa, bagi orang-orang yang tinggal di kawasan bencana dan pernah merasakan begitu dekat dengan maut pasti paham bagaimana rasanya: terkadang, melebihi dari kematian itu sendiri, kita lebih takut kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Ketika gempa terjadi, karena pada waktu itu saya berada di sekitar keluarga saya dan saya tahu bahwa mereka baik-baik saja, saya langsung memikirkan pacar saya pada waktu itu (apakah ia baik-baik saja?). Dan saya sempat panik karena sinyal telepon hilang dan saya tidak bisa menghubunginya. Ketika isu tsunami beredar, mengapa kemudian saya dan Maridjo memilih untuk pulang alih-alih berkumpul di masjid sekolah bersama yang lain, adalah karena kami ingin berada di dekat orang-orang yang kami sayangi dan memastikan bahwa mereka aman, yaitu keluarga. Kini, 12 tahun berlalu setelah kejadian itu dan saya merasa campur-aduk ketika mengingatnya kembali pada hari ini. Memang benar kata ibu dan ayah saya; tidak ada yang kebetulan di dunia ini, karena sesungguhnya semua telah digariskan oleh semesta dan kekuatan Sang Maha.



Membicarakan keluarga selalu menjadi hal yang ‘berat’ dan cenderung sensitif bagi saya. Bukan karena saya tidak suka membicarakannya atau hal tersebut tidak memiliki arti yang dalam bagi saya. Justru sebaliknya, karena keluarga memiliki arti yang sangat dalam, hati saya cenderung berat untuk membicarakannya. Namun, hari ini adalah hari istimewa. Hari ini 12 tahun yang lalu, saya disadarkan bahwa keluarga adalah hal yang paling berarti bagi saya. Dan hari ini, saya seolah diingatkan kembali, bahwa keluarga memang hal yang paling berarti bagi saya. Dan hari ini, saya dibukakan sebuah lapisan baru dalam kehidupan tentang makna keluarga, bahwa keluarga tidak selalu mereka yang terikat hubungan darah dengan kita; bahwa keluarga adalah mereka yang menginginkan kita untuk ada di dalam hidup mereka, dan mereka adalah yang mau dan mampu menerima kita apa adanya.
Ada dua poin signifikan yang saya rasakan hari ini. Pertama, saya benar-benar bersyukur dilahirkan dalam keluarga batih yang saya miliki sekarang: ayah, ibu, dan kedua adik saya. Kedua orang tua saya, meskipun tidak sempurna, adalah yang terbaik bagi saya. Mereka menerima saya apa adanya. Sedari kecil tidak pernah memperbandingkan saya dengan anak-anak lainnya, pun hingga saat saya dewasa sekarang. Mereka tidak pernah mengajukan tuntutan yang di luar nalar. Mereka tidak pernah memaksa saya untuk melakukan apa yang saya tidak inginkan. Mereka selalu mau mendengar apa yang saya rasakan. Mereka selalu menerima tanpa banyak bertanya. Sebaliknya, sayalah yang selalu merasa kurang becus dalam menjadi anak; apalagi anak pertama. Saya selalu merasa kurang. Saya selalu menuntut tanpa sadar untuk memberi. Di tengah segala luka yang tertoreh di hati saya karena konflik-konflik keluarga yang terjadi selama ini, pada akhirnya mereka selalu berhasil memberikan ruang bagi saya untuk merasa diterima, merasa diinginkan; untuk kembali pulang. Dan bagi saya, itu sudah lebih dari sekadar cukup.
Kedua, saya merasa bersyukur telah dipertemukan dengan pasangan saya sekarang dan menjalani proses bersama hingga sejauh ini. Seperti saya telah kutip sebelumnya; keluarga tidak selalu mereka yang terikat hubungan darah dengan kita, melainkan mereka yang menginginkan kita untuk ada di dalam hidup mereka, dan menerima kita apa adanya. Dia adalah keluarga yang saya pilih; bukan dipilihkan oleh Yang Kuasa semenjak saya lahir. Bersama dengannya saya merasakan bahwa darah tidak selalu lebih kental daripada air. Bersama dengannya saya merasakan bahwa dua jiwa yang berbeda ternyata bisa tertambat menjadi satu. Dan saya ingin menjadi keluarga baginya; menjadi orang yang menginginkan dia untuk ada dalam hidup saya dan menerimanya apa adanya. Saya tidak akan memperbandingkan ia dengan orang-orang lainnya. Saya tidak akan mengajukan tuntutan di luar nalar. Saya tidak akan memaksanya untuk melakukan apa yang tidak ia inginkan. Saya akan selalu mau untuk mendengar semua yang ia rasakan. Saya akan selalu menerima tanpa banyak bertanya. Saya memberi rasa percaya yang sepenuhnya bahwa ia sanggup melakukan dan mewujudkan segala yang ia impikan. Saya memberinya kebebasan, dan saya akan selalu ada untuk mendampinginya baik pada masa susah maupun senang. Saya memberinya ruang untuk merasa diterima, merasa diinginkan, untuk kembali pulang; sebuah rumah, karena ia pun memberikan hal yang sama untuk saya, yaitu sebuah rumah bagi satu sama lain.
Bagi saya, keluarga adalah orang-orang yang akan selalu ada di sana. Mereka adalah yang menerima tanpa menghakimi. Mereka adalah yang memaafkan tanpa mempertanyakan. Mereka adalah yang mendukung tanpa menuntut. Mereka adalah yang mendamaikan tanpa membebani. Keluarga akan selalu membebaskan kita untuk mengejar apa pun yang kita inginkan dalam hidup; dan ketika suatu saat kita tersandung jatuh, mereka bukanlah orang-orang yang menertawakan kekonyolan atas kejatuhan kita, melainkan mereka adalah orang-orang yang menolong kita untuk bangkit lagi dari kejatuhan tersebut. Mereka akan selalu mendukung mimpi-mimpi kita seberapapun konyolnya itu bagi orang lain; mereka memastikan bahwa mereka selalu ada ketika kita membutuhkannya. Mereka adalah orang-orang yang rela memberikan apapun bahkan ketika mereka hanya memiliki sedikit. Mereka adalah orang-orang yang layak untuk kita bagi kebahagiaan di kala kita telah berhasil kelak. Mereka adalah kehangatan layaknya rumah. Mereka adalah tempat untuk pulang. Mereka adalah keluarga.

Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga
-Novia Kolopaking, Harta Berharga (OST. Keluarga Cemara)

Wrote by Mashita Fandia


People say that life is like a wheel; sometimes we are on top and at other times we are down below. There are good times. There are bad times. There are times that sun shines upon us. There are times that dark clouds shroud around us. Nothing lasts forever may sounds like a pessimistic statement. However, if nothing lasts forever, and so do those dark days. It’s only a matter of perspective. In a second, the pessimistic statement can turn into an optimistic one once we switch our perspective on how we look at it. Bright day may turn into a dark day, but the dark day may turn into a bright day too. Sometimes life can seem so cruel towards us, but be sure that it won’t last forever, because sometimes life can seem so friendly too. Why should we live waiting for things to get worse again when we can do the other way around? We can live waiting for things to get better. For it will always get better. It is never always worse. It is never always better too. Have a faith is what it takes. Don’t give it up. For eventually, love will conquer all; and things can always get better again.

“When life is empty with no tomorrow and loneliness starts to call. Baby, don’t worry, forget your sorrow, ‘cause love’s gonna conquer it all.” –Celine Dion, That’s the Way It Is

This one song is always successful in bringing up my mood every time I feel down; particularly during those nights when I am left alone in the room with no one to company. Yup, when the companion is overdue, this song is all I have; for it gives me hope and strength to go on no matter how hard it is to be alone in this cold harsh night. It’s titled “That’s the Way It Is”, performed by the Canadian diva Celine Dion. It was released on November 1st 1999 and served as the lead single taken from the singer’s greatest hits album, “All the Way... A Decade of Song”. An official accompany music video for “That’s the Way It Is”, directed by Liz Friedlander, was premiered on VH1 on November 8th 1999. The pop track was written by Max Martin, Kristian Lundin, and Andreas Carlsson. Lyrically, this bright yet heartwarming song speaks about a joyful ode to holding the faith but allowing love to take its course when it’s ready.


"That's the Way It Is" single cover | source: en.wikipedia.org

People come and go in life, we know it. Things come and go in life too. Problems also come and go in life. But the thing about life is that it goes on; it keeps going on forward and never been the other way around. The road we have to walk on is not always an easy one; sometimes it is rough and windy. Sometimes it is sharp incline. Sometimes it is derivative. And I know it all too well that it is easier to say than to experience, but yes, we also know that our life story has been laid on the table and we got to go through it. Hardships will always come eventually. And all we have to do is to endure. “I can read your mind and I know your story, I see what you’re going through. It’s an uphill climb, and I’m feeling sorry, but I know it will come to you.” And all we have to do is to persevere. We have to withstand through it all. For when there is a will, there is a way; there is always a way. “When you question me for a simple answer, I don’t know what to say, no. But it’s plain to see, if you stick together, you’re gonna find a way.”
Everything starts within our own self. It is the power of mind; and don’t underestimate the power of mind. As long as we put it in our mind a strong will to find a way, then it’s doubtless that we will find that way. And surrender is never an option. It is the matter of mindset. When we feel like we are stuck, then perhaps what we need to do is only to change our mindset. Though it is not easy, we got to do it; for that way we can find a sollution instead of being trapped in despair and desperation. “So don’t surrender ‘cause you can win in this thing called love.” Yes, life seems so empty at times. Yes, it feels like there is no tomorrow at times. Yes, we feel so caught up in the loneliness at times. However, nothing lasts forever. Ease your mind by believing that it’s all only temporary. Strengthen your mind by having the faith that in the end love conquers all. Turn your sorrow into a hope for tomorrow. Use your power of mind. “When life is empty with no tomorrow and loneliness starts to call. Baby, don’t worry, forget your sorrow, ‘cause love’s gonna conquer it all.”
People say the right thing to do is (ironically) sometimes (or probably most of the times) the hardest thing to do. And (also ironically) the thing you want the most is sometimes (or again, probably most of the times) the most difficult thing to achieve. And yes, there always seems to be hurdles whenever we want to pursue the thing that really matters for us. However, it’s all just a sign that this is the right thing to do. There is no easy way out for something that is really meaningful for us. And we have to have the faith that after all, the struggle is worth it. And yes, it’s always worth it because it’s the thing that really matters for us. “When you want it the most there’s no easy way out. When you’re ready to go and your heart’s left in doubt. Don’t give up on your faith, love comes to those who believe it. And that’s the way it is.” It is the law of attraction. Love comes to those who believe it. We will be able to achieve the thing we want the most if we make endless efforts for getting it. An empire wasn’t built overnight. Hence, we have to work it out.


Celine Dion in the music video of "That's the Way It Is" | source: YouTube

You can call me naive. But if compassion is naivety, then I’d rather be naive than smart. I have lived long enough now to know that doubts and fears will always come in time after time. And I have experienced enough now to realize that even though nothing could last forever, we have to keep our faith to be able to stand on our ground eventually. And I have been through enough now to understand that for everything that matters there is an endless effort needed. People may fall in love easily. And it may not take a long time for people to finally be in love. However, love is a process too. If we do not cherish and look after it, it will die eventually. And taking care of love is not an easy task. Walking away from love is always the easiest way out; and sadly most people choose to do that. However, if we love and if it’s real, true, and sincere, we don’t walk away from it. We fight for it. We don’t give up on it. You can call me naive. But if holding onto what we feel and think is right (both emotionally and rationally), then I’d rather be naive than any other thing.

“When you want it the most there’s no easy way out. When you’re ready to go and your heart’s left in doubt. Don’t give up on your faith, love comes to those who believe it. And that’s the way it is.” –Celine Dion, That’s the Way It Is




I can read your mind and I know your story, I see what you’re going through, yeah
It’s an uphill climb, and I’m feeling sorry, but I know it will come to you, yeah
Don’t surrender ‘cause you can win in this thing called love

When you want it the most there’s no easy way out
When you’re ready to go and your heart’s left in doubt
Don’t give up on your faith, love comes to those who believe it, and that’s the way it is

When you question me for a simple answer, I don’t know what to say, no
But it’s plain to see, if you stick together, you’re gonna find a way, yeah
So don’t surrender ‘cause you can win in this thing called love

When you want it the most there’s no easy way out
When you’re ready to go and your heart’s left in doubt
Don’t give up on your faith, love comes to those who believe it
And that’s the way it is, that’s the way it is

When life is empty with no tomorrow and loneliness starts to call
Baby, don’t worry, forget your sorrow, ‘cause love’s gonna conquer it all, all

When you want it the most there’s no easy way out
When you’re ready to go and your heart’s left in doubt
Don’t give up on your faith, love comes to those who believe it, and that’s the way it is
When you want it the most there’s no easy way out
When you’re ready to go and your heart’s left in doubt
Don’t give up on your faith, love comes to those who believe it, and that’s the way it is
That’s the way it is, that the way it is, that’s the way it is, babe, that the way it is
Don’t give up on your faith, love comes to those who believe it, and that’s the way it is

Wrote by Mashita Fandia


I have read somewhere that instead of choosing someone whom we can live with, we should choose someone who we cannot live without. I personally think that the statement got a point, because we basically can live with any kind of people as long as we give tolerance to some extent. However, it is rare to find someone whom we cannot live without. Even though humans are social creature, I always believe that deep inside we are all loner creature too. Sometimes we need some time on our own. Hence I always believe that it is rare to find someone whom we need to spend our every time with. I always believe we can share our life with any kind of people as long as we want to at some point. However, it is rare to find someone whom we need to share the rest of our life with. Even though humans have the individual side within them, I always believe that deep inside we are longing for someone to be together with. Hence I always believe that it is rare to find someone whom we cannot imagine our life without them. Therefore, once we do find that someone, don’t let them go easily. Since we would only realize that we have nothing in the end if we don’t have them.

“Share my life, take me for what I am, ‘cause I’ll never change all my colors for you. Take my love, I’ll never ask for too much, just all that you are and everything that you do.” –Whitney Houston, I Have Nothing

This song has been stuck in my head for some times now. It is titled “I Have Nothing”, performed by the late legendary diva, Whitney Houston. The pop soul ballad track was released on February 20th 1993 and served as the third single taken from the album “The Bodyguard: Original Soundtrack Album”. Written by David Foster and Linda Thompson, “I Have Nothing” is described as a richly orchestrated power ballad about deep love and the confusion that happens to lovers because of the different perceptions of women and men when it comes to commitment to one’s lover.


"I Have Nothing" single cover | source: en.wikipedia.org

Imagine if we have someone by our side; someone whom we can share our whole life with. It is someone who is more than just anyone; someone who is not only living together with us, but also can accept us just the way we are. It is someone who is willing to embrace all of us as the whole person; not only some parts of us that they like. And yes, we receive love we think we deserve. And we think we deserve that kind of love, because we do love that way too. We will never change someone just to fit them within our picture of the ideal self of someone we love, because if it’s love then we love them for what they are. “Share my life, take me for what I am, ‘cause I’ll never change all my colors for you. Take my love, I’ll never ask for too much, just all that you are and everything that you do.” And that kind of love is one of a kind; a rare one and a real one. “You see through right to the heart of me, you break down my walls with the strength of your love. I never knew love like I’ve known it with you, will a memory survive, one I can hold on to?”
It is the kind of love that is so strong that could break your walls down. It is the kind of love that is so sincere that could see through right the heart. It is the kind of love that is so genuine and pure that could teach us on what and how love really is. It is the kind of love that could define the love itself. “I don’t really need to look very much further. I don’t wanna have to go where you don’t follow. I won’t hold it back again, this passion inside. I can’t run from myself, there’s nowhere to hide. Your love I’ll remember forever.” It is the kind of love that we never know before until we know it. It is the kind of love we do not want to be just a memory; for we want it to last forever. It is the kind of love that makes us realize that we do not need to look for anything else anymore; that it is our end game. It is the kind of love that makes us understand that we do not need to go to any other place anymore; that it is the end of our journey. We cannot hold it back for the passion is burning hot. We cannot run away for there is nowhere to hide. The love is imprinted in our heart.
And somehow, that is all that we have. It becomes our life. It becomes our everything. And we realize that if we don’t have that person then we don’t have anything. In other words, if we have that person then we have everything that we need in this world to hang on. If we have that person then we have all the things that we need in life to survive. “Don’t make me close one more door, I don’t wanna hurt anymore. Stay in my arms if you dare or must I imagine you there? Don’t walk away from me, I have nothing if I don’t have you.” And for that kind of love, we won’t let it walk away from us. For that kind of love, we won’t close the door. For that kind of love, we would sacrifice anything to make it stay in our arms. For that kind of love, we could make efforts for everything to keep it close to our heart. “Don’t you dare walk away from me. I have nothing if I don’t have you.” And that is when we understand the meaning of not being able to live without someone. That is when we understand that we have nothing if we don’t have the love.


"The Bodyguard: Original Soundtrack Album" album cover | source: en.wikipedia.org

I have lived long enough now to see that people have closed so many doors behind them only to find one that they think is right for them. And I have lived long enough now to notice that some people make some regrets by closing the right door only to choose the wrong one. Hence I do not want to make the same mistake. I have lived long enough now to understand that it is possible that there is something in this life can be so much more precious than any other thing; to know and to feel that there is indeed something we can cherish deeply. It is love at its most wonderful form. It is love at its most heartwarming feeling. It is love at its best. And nothing in this world could ever be compared to that. Nothing in this life could ever be equal with that. No amount of wealth could ever pay for its price. No other thing could ever replace it. When we have it, we have the world. When we have it, we have the universe. When we have it, we have the life; we feel alive. When we have it, we have everything. When we don’t have it, we have nothing. Hence I do not want to close that door.

“You see through right to the heart of me. You break down my walls with the strength of your love. I never knew love like I’ve known it with you. Will a memory survive, one I can hold on to?” –Whitney Houston, I Have Nothing




Share my life, take me for what I am, ‘cause I’ll never change all my colors for you
Take my love, I’ll never ask for too much, just all that you are and everything that you do

I don’t really need to look very much further, I don’t wanna have to go where you don’t follow
I won’t hold it back again, this passion inside, can’t run from myself, there’s nowhere to hide

Don’t make me close one more door, I don’t wanna hurt anymore
Stay in my arms if you dare or must I imagine you there?
Don’t walk away from me, I have nothing, nothing, nothing if I don’t have you, you, you, you, you

You see through right to the heart of me, you break down my walls with the strength of your love
I never knew love like I’ve known it with you, will a memory survive, one I can hold on to?

I don’t really need to look very much further, I don’t wanna have to go where you don’t follow
I won’t hold it back again, this passion inside, I can’t run from myself, there’s nowhere to hide
Your love I’ll remember forever

Don’t make me close one more door, I don’t wanna hurt anymore
Stay in my arms if you dare or must I imagine you there?
Don’t walk away from me, I have nothing, nothing, nothing
Don’t make me close one more door, I don’t wanna hurt anymore
Stay in my arms if you dare or must I imagine you there?
Don’t walk away from me, no, don’t walk away from me
Don’t you dare walk away from me
I have nothing, nothing, nothing if I don’t have you, you, if I don’t have you, oh, ooh, ooh

Wrote by Mashita Fandia


Hari ini, tepat dua puluh tahun yang lalu, rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade akhirnya runtuh, ditandai dengan pengunduran diri secara resmi oleh Soeharto dari tampuk kepemimpinan Presiden Republik Indonesia. Pengunduran diri tersebut adalah hasil dari gerakan mahasiswa 1998 yang didorong oleh krisis moneter pada tahun 1997. Gelombang protes besar-besaran terjadi menuntut berakhirnya rezim otoriter yang kala itu telah berlangsung selama puluhan tahun di Indonesia. Harga yang harus dibayar atas pengunduran diri itu tidak sederhana; ratusan atau bahkan ribuan nyawa melayang, beberapa aktivis masih dinyatakan hilang bahkan hingga saat ini, dan trauma-trauma menancap tajam pada beberapa pihak yang menjadi korban kerusuhan pada waktu itu. Reformasi, sebuah era baru yang ditandai dengan pengunduran diri Soeharto dan berakhirnya rezim Orde Baru, kini telah memasuki dua dekade. Pertanyaannya adalah: sudahkah? Sudahkah reformasi itu terwujud? Sudahkah reformasi itu kita dapatkan? Sudahkah kita menjalani reformasi itu? Sudahkah?
Sesungguhnya, semangat yang dibawa para mahasiswa dan masyarakat pendukung Reformasi pada waktu itu lebih dari sekadar semangat untuk ‘menurunkan’ Soeharto dari tahta kepemimpinan, melainkan untuk mengakhiri rezim otoriter. Selama rezim Orde Baru berkuasa, suara-suara rakyat dibungkam, demokrasi dikerdilkan sedemikian rupa, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia merajalela atas nama ‘pembangunan’. Ya, dibalik nama besar Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Indonesia, mengalir darah-darah manusia rakyat Indonesia yang ditumpahkan sebagai tumbal. Namun, hingga kini, baik almarhum Soeharto maupun kroni-kroninya tidak pernah mendapatkan pengadilan yang setimpal atas apa yang telah mereka lakukan. Kesejahteraan semasa Orde Baru hanya dirasakan oleh pihak-pihak tertentu saja; pihak-pihak yang, sayangnya, hingga saat ini masih menduduki pemerintahan dan mencoba menghadirkan kembali nostalgia masa lalu mengenai ‘keindahan semu’ masa Orde Baru, yang tentu saja, tanpa menguak tabir kekelaman rezim tersebut.
Saya selalu percaya bahwa tidak ada hal bersih yang dibangun di atas hal yang kotor. Sedikit kilas balik, masa Orde Baru lahir dan dibangun di atas kekejaman. Ribuan, atau bahkan puluhan ribu hingga ratusan ribu, jiwa dibantai pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Ribuan lainnya dipenjarakan selama puluhan tahun tanpa pengadilan. Sungguh mengerikan. Orde Baru adalah sebuah rezim yang dibangun atas pelanggaran berat terhadap HAM; dan sayangnya, fakta tersebut ditutup secara rapat dari lembaran-lembaran kurikulum mata pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah. Satu hal yang menjadi kesuksesan berjayanya rezim Orde Baru: ia berhasil membangun dogma dan stigma yang mengonstruksi dan mengakar kuat di sistem masyarakat Indonesia secara menyeluruh dalam berbagai aspek. Dan itu mengerikan sekaligus memprihatinkan.
Semangat Reformasi adalah mencapai demokrasi yang hakiki; demokrasi yang jelas-jelas direpresi dan diopresi habis-habisan selama masa Orde Baru. Pada masa itu, pihak-pihak yang kritis dan vokal terhadap pemerintah akan langsung diberangus dan (mirisnya) tidak ada masyarakat yang peduli atau bahkan mempertanyakan ke mana hilangnya orang-orang tersebut selain mungkin anggota keluarga mereka sendiri. Dan itu hanya salah satu contoh dari sekian banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim otoriter Orde Baru. Gerakan Reformasi hadir dengan semangat untuk menghentikan itu semua. Pertanyaannya: apakah itu semua lantas berhenti dengan turunnya Soeharto dari kursi Presiden? Jawabannya adalah tidak. Pada kenyataannya, pelanggaran HAM masih banyak terjadi selama dua puluh tahun belakangan ini.
Bicara tentang Reformasi berarti (mau tidak mau) bicara tentang perjalanan sejarah dan politik bangsa ini. Saya menyukai sejarah. Namun, politik, tidak begitu. Ironis memang, mengingat gelar sarjana saya adalah Sarjana Ilmu Politik. Namun, ya, mau tidak mau, politik adalah roda penggerak kehidupan bangsa ini selain ekonomi. Jadi, se-tidak suka-nya kita atau se-skeptis apapun kita terhadap politik, kita harus memahaminya, karena itulah mesin penggerak bangsa yang kerap kali beroperasi secara tak kasat mata. Pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang sejarah bangsa ini pun dimotivasi oleh kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk memeroleh ‘kekuasaan’; tidak hanya kekuasaan yang termanifes melalui jabatan dalam pemerintah yang mengatur negara, melainkan juga kekuasaan dalam berbagai lini kehidupan, utamanya, kekuasaan ekonomi. Selama masa Orde Baru, investor asing bertubi-tubi memasuki Indonesia atas nama ‘pembangunan’. Namun, apakah pembangunan tersebut benar-benar ‘membangun’ bangsa? Apakah pembangunan tersebut telah benar-benar menyejahterakan masyarakat? Apakah pembangunan tersebut telah sanggup memberdayakan masyarakat? Apabila jawabannya adalah iya, maka pertanyaannya kemudian: masyarakat yang mana?



Kembali ke persoalan demokrasi; dalam kaitannya dengan demokrasi, apakah agenda Reformasi telah berhasil sejauh ini? Menurut saya, dikatakan sepenuhnya berhasil jelas belum. Hanya saja, memang terdapat kemajuan yang luar biasa dibandingkan masa Orde Baru. Paling tidak, tontonan kita tidak hanya terbatas pada TVRI saja. Selain itu, para netizen yang bebas berkelakar di dunia maya, seperti saya, setidaknya masih bisa hidup. Para aktivis dapat menyuarakan pendapatnya tanpa merasa takut bahwa jenazah mereka akan ditemukan di sebuah parit keesokan harinya. Saya tidak ingin mengatakan bahwa Reformasi telah gagal. Namun saya harus mengutarakan bahwa Reformasi belum berhasil; dan hal ini sedikit banyak, menurut saya, disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka belum siap menjalankan demokrasi yang seutuhnya. Bukan berarti saya setuju bahwa rezim otoriter lebih disarankan dalam mengatur negara ini. Sama sekali bukan. Saya membenci rezim otoriter. Saya hanya berpikir bahwa sesungguhnya ada agenda yang harus dan perlu untuk dicapai sebelum masyarakat Indonesia bisa sampai pada demokrasi yang seutuhnya.
Pertama, mental-mental bentukan rezim Orde Baru harus dipangkas habis. Dan ini yang susah. Satu hal yang saya salutkan dari rezim Orde Baru adalah betapa kuatnya mereka sanggup menanamkan dan membentuk sistem propaganda yang sedemikian rupa; dwifungsi TNI/ABRI dan heroisme tentara (bahwa mereka adalah juru selamat), domestifikasi perempuan melalui Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan masih banyak lagi, hingga ke hal-hal paling mikro dalam struktur masyarakat yang bahkan tidak kita rasakan dan kita terima begitu saja (taken for granted) sebagai bagian dari ‘hidup yang seharusnya’. Hal kedua masih berkaitan dengan hal yang pertama, yaitu sistem pendidikan di Indonesia. Mental yang baru, yang demokratis, yang berliterasi, dapat dibangun melalui sistem edukasi yang mendukung. Dan satu kata tersebut, yaitu literasi, memegang kunci utama bagi kesadaran dan pemahaman masyarakat akan demokrasi yang seutuhnya. Masyarakat kita masih menjadi masyarakat yang ‘menonton’ dan ‘bicara’, sementara demokrasi membutuhkan masyarakat yang tidak hanya itu, melainkan juga ‘mendengar’ dan ‘membaca’.
Sekarang ini saya dan teman-teman sedang mengerjakan sebuah proyek film dokumenter yang berangkat dari (salah satunya) rasa prihatin kami atas sisi kelam kehidupan demokrasi dalam era Reformasi saat ini; sisi kelam yang disebabkan oleh (mengutip istilah populer masa kini) belum ‘move on’-nya masyarakat secara seluruhnya dari rezim Orde Baru. Kita memang belajar dari masa lalu, dan kita semua harus belajar dari sejarah, bahkan hingga sejarah yang paling kelam sekalipun. Namun ketika lembaran sejarah yang ditulis oleh yang berkuasa tersebut tidak dibongkar dan diungkap tabirnya, bagaimana kita akan beranjak sepenuhnya dari masa lalu? Indonesia dibayangi oleh ‘hantu-hantu’ masa lalu; dan sesungguhnya era Reformasi memiliki misi untuk menghapus ‘hantu-hantu’ tersebut. Sejarah bangsa ini penuh luka, dan itu tidak perlu dipungkiri, alih-alih, luka itu harus diakui supaya bangsa ini dapat sembuh dari lukanya. Banyak darah telah tertumpah demi kehidupan para penerus bangsa yang lebih merdeka dan demokratis. Untuk itu, jangan sia-siakan kebebasan yang telah diperjuangkan tersebut dengan terus mengulang nostalgia akan kebahagiaan semu di masa lalu. Alih-alih, perjuangan belum selesai. Mendengarlah. Membacalah. Perubahan untuk kemajuan selalu dimulai dari diri kita sendiri.

Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga, kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga, engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan
Engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!
-puisi karya Wiji Thukul, Bunga dan Tembok

Wrote by Mashita Fandia


I forget when was the last time I felt this way,
The heartwarming feeling of belonging to something,
Something vast, something plenty, something to call as a one big family,
It’s humble, it’s only a brief moment, yet for me it means everything.

M.F

Wrote by Mashita Fandia


Feeling begins from a perception. For some people, sometimes we just knew it from the very beginning when we met someone. We got the feeling about what would happen next. We got the depiction about what would be if we got to know that person. And for some people, it was just meant to be. And I guess there is always a particular person for everyone whom we feel that way. Somehow we just knew it that the person is going to mean something in our life; perhaps becoming our significant other one day. We can sense it from the very first time we met that person. We can feel it from every interaction we have with that person. We can see it through their eyes. And in a minute, without even doing anything, we are already enchanted to that person. And from the very beginning, we got the image of dreams and things that we could achieve together with that person. It is as if the presence of that person has completed our world. It’s like finding a missing part of the puzzle. Everything just seems so right and fall right into place.

“Knew he was a killer first time that I saw him; wonder how many girls he had loved and left haunted. But if he’s a ghost then I can be a phantom, holding him for ransom. Some boys are trying too hard, he don’t try at all though; younger than my exes but he act like such a man, so I see nothing better. I keep him forever, like a vendetta.” –Taylor Swift, ...Ready For It?

The thing about Taytay is that I always adore her. However, every time her new album comes out, I just get the sense that this new album will not be as good as her previous. However (again) though, as time passes by I just got enchanted with her new song; and especially, as always, her lyrics. Just like now, it took about seven months for me to finally be able to let “Reputation” into my mind. I just cannot help but falling in love with her lyrics now. And I can sense that she is truly in love with her new two-year-younger beau, Joe Alwyn, from her lyrics. And this one, titled “...Ready For It?” is just one of them. It was released on October 24th 2017 as the second single taken from her sixth studio album, “Reputation”. Taytay wrote it along with her producers Max Martin, Shellback, and Ali Payami. Joseph Kahn directed the music video for this electropop track, which was premiered on October 26th 2017. Apparently, though her music is changing all over the years, the ‘core’ Taylor Swift is always there. The ‘old’ Taylor might be dead; and we are having the ‘new’ Taylor now. However, I know that Taytay is same old Taytay with her straightforward yet beautiful lyrics.


"...Ready For It?" single cover artwork | source: taylorswift.wikia.com

I wonder why girls fall easily for bad guys. Well, I guess they just have the undeniable charisma that cannot be avoided. Perhaps it’s in their gorgeous smiling face. Perhaps it’s in their deep and haunting eyes. Perhaps it’s in their tall figure and soft voice. Perhaps it’s in their attitude that provokes our curiosity. However, yes, that kind of guy doesn’t even have to try hard to get our attention. For me, it only took a deep and long stare from the upstairs to take my breath away in a second. I wonder how many girls he had loved and left haunted or about to, but all I know is that I could be the one who is compatible with him, because I knew the potential from the very beginning. And I’ll keep him forever. “Knew he was a killer first time that I saw him; wonder how many girls he had loved and left haunted. But if he’s a ghost then I can be a phantom, holding him for ransom. Some boys are trying too hard, he don’t try at all though; younger than my exes but he act like such a man, so I see nothing better. I keep him forever, like a vendetta.”
I wonder whether people can really change because of love. Perhaps they don’t really change. Instead, they just become another version of themselves; whether it’s better or worse or always something in between. For me, when a love is true and real, it makes me forget all the love I have had before. Suddenly, the past doesn’t mean anything anymore. Nothing can compare to what we have now because we are compatible in every way like Elizabeth Taylor and Richard Burton, or Simone de Beauvoir and Jean-Paul Sartre, or simply Bonnie and Clyde. And if he was a killer, I was no better than him. I was a robber; hence I feel confident that I could be a compatible partner; that we are compatible in every way. “Knew I was a robber first time that he saw me; stealing hearts and running off and never saying sorry. But if I’m a thief, then he can join the heist, and we’ll move to an island; and he can be my jailer, Burton to this Taylor. Every love I’ve known in comparison is a failure, I forget their names now. I’m so very tame now, never be the same now.”
I wonder whether people can really knew from the very beginning that they were meant to be with their significant other. It turns out that they can. For me, I always know. I can always sense ‘the one’ right from the start. “I see how this is gonna go. Touch me, and you’ll never be alone. Island breeze and lights down low; no one has to know.” No, I’m definitely not a God or Goddess. And no matter what tomorrow brings, all I know is that we have the potential to achieve incredible things when we are together. And all I know is that we can always make our dreams come true if we are together. “In the middle of the night, in my dreams, you should see the things we do, baby. In the middle of the night in my dreams, I know I’m gonna be with you, so I take my time. Are you ready for it?” And yes, I’m not going to rush it. For I know that what is meant to be will always be. Hence I take my time. And I’m just going to let the games begin, because together we can seize the day and bring dreams into reality. And we’re going to be together; I just know it. “Baby, let the games begin.”


Taylor Swift in the music video of "...Ready For It?" | source: thenewdaily.com.au

For some people, like me, when they fall, they fall hard; because we actually are hard to fall, so once we do, we go all the way down. We used to just steal hearts and just leave without saying sorry, but once we really fall in love, we become so tame and we stay falling for good. And yes, it’s hard to resist once we fall hard for the particular someone. And yes, for some people, there is always this someone who has the ability to take away every scar from the past and turn them into diamond in our heart. And we can sense it from the very beginning that the particular person is our kind. And we got the feeling right from the start that together we can conquer the universe and grasp the world in our palms. That person has a particular something that we really need; something that could complete and equalize us. And the potential is just too hard to resist. We bare it all for that person; and we know that person would do the same too. And even after we’ve seen it all, still, the potential is hard to resist. And whether we are ready or not, we just got to let the games begin.

“Knew I was a robber first time that he saw me; stealing hearts and running off and never saying sorry. But if I’m a thief, then he can join the heist, and we’ll move to an island; and he can be my jailer, Burton to this Taylor. Every love I’ve known in comparison is a failure, I forget their names now. I’m so very tame now, never be the same now.” –Taylor Swift, ...Ready For It?




Knew he was a killer first time that I saw him
Wonder how many girls he had loved and left haunted
But if he’s a ghost then I can be a phantom, holding him for ransom
Some, some boys are trying too hard, he don’t try at all though
Younger than my exes but he act like such a man, so
I see nothing better, I keep him forever, like a vendetta-ta

I-I-I see how this is gonna go, touch me, and you’ll never be alone
I-Island breeze and lights down low, no one has to know

In the middle of the night, in my dreams, you should see the things we do, baby
In the middle of the night, in my dreams, I know I’m gonna be with you so I take my time
Are you ready for it?

Knew I was a robber first time that he saw me
Stealing hearts and running off and never saying sorry
But if I’m a thief, then he can join the heist, and we’ll move to an island-and
And he can be my jailer, Burton to this Taylor
Every love I’ve known in comparison is a failure, I forget their names now
I’m so very tame now, never be the same now, now

I-I-I see how this is gonna go, touch me and you’ll never be alone
I-Island breeze and lights down low, no one has to know
No one has to know

In the middle of the night, in my dreams, you should see the things we do, baby
In the middle of the night in my dreams, I know I’m gonna be with you, so I take my time
Are you ready for it? Ooh, are you ready for it?

Baby, let the games begin, let the games begin, let the games begin
Baby, let the games begin, let the games begin, let the games begin

I-I-I see how this is gonna go, touch me and you’ll never be alone
I-Island breeze and lights down low, no one has to know

In the middle of the night, in my dreams, you should see the things we do, baby
In the middle of the night, in my dreams, I know I’m gonna be with you, so I take my time
In the middle of the night, baby, let the games begin, let the games begin
Let the games begin, are you ready for it?
Baby, let the games begin, let the games begin, let the games begin
Are you ready for it?

Wrote by Mashita Fandia
Newer Posts Older Posts Home

About Me

About Me
29 | music | movies | cultural studies

Featured post

Out of the Woods

Let’s analogizing a (romance) relationship as a tropical forest, with all of its maze of trees, wild animals, and dangerous gorges; t...


TSOGM - a fiction

TSOGM - a fiction
Click on the picture to read the stories. Enjoy! ;)
Powered by Blogger.

Blog Archive

  • ►  2020 (8)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  September (2)
    • ►  June (1)
  • ▼  2018 (199)
    • ►  November (21)
    • ►  October (18)
    • ►  September (19)
    • ►  August (18)
    • ►  July (17)
    • ►  June (17)
    • ▼  May (20)
      • Balada di Bulan Mei
      • Lampion dalam Hati dan Pikiran Kita
      • Gempa, Keluarga, dan Hal-Hal yang Jarang Diungkapkan
      • That's the Way It Is
      • I Have Nothing
      • Dua Dekade Reformasi: Sudahkah?
      • Belong
      • Are You Ready for It?
      • A Serene Moment
      • All Out of Love
      • Through the Hail Rain and Sunshine
      • Gracious Recollection
      • What Would I Do Without You?
      • Half-Heartedly
      • Light the Fire
      • If This Feeling of Mine is Yours
      • And I’m Talking Only to the Moon
      • Apa Itu Kebebasan?
      • Anak Didik Semesta
      • Dilema Usaha Buruh Kehidupan
    • ►  April (17)
    • ►  March (19)
    • ►  February (15)
    • ►  January (18)
  • ►  2017 (223)
    • ►  December (18)
    • ►  November (23)
    • ►  October (18)
    • ►  September (18)
    • ►  August (23)
    • ►  July (17)
    • ►  June (17)
    • ►  May (17)
    • ►  April (23)
    • ►  March (17)
    • ►  February (15)
    • ►  January (17)
  • ►  2016 (38)
    • ►  December (16)
    • ►  November (6)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (5)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (5)
  • ►  2015 (189)
    • ►  November (14)
    • ►  October (20)
    • ►  September (17)
    • ►  August (17)
    • ►  July (18)
    • ►  June (18)
    • ►  May (17)
    • ►  April (17)
    • ►  March (19)
    • ►  February (16)
    • ►  January (16)
  • ►  2014 (199)
    • ►  December (16)
    • ►  November (18)
    • ►  October (18)
    • ►  September (16)
    • ►  August (16)
    • ►  July (17)
    • ►  June (16)
    • ►  May (17)
    • ►  April (16)
    • ►  March (17)
    • ►  February (15)
    • ►  January (17)
  • ►  2013 (195)
    • ►  December (16)
    • ►  November (15)
    • ►  October (17)
    • ►  September (15)
    • ►  August (16)
    • ►  July (17)
    • ►  June (18)
    • ►  May (16)
    • ►  April (16)
    • ►  March (16)
    • ►  February (17)
    • ►  January (16)
  • ►  2012 (215)
    • ►  December (18)
    • ►  November (20)
    • ►  October (17)
    • ►  September (18)
    • ►  August (16)
    • ►  July (18)
    • ►  June (18)
    • ►  May (19)
    • ►  April (17)
    • ►  March (20)
    • ►  February (18)
    • ►  January (16)
  • ►  2011 (18)
    • ►  December (13)
    • ►  November (5)

FOLLOW US @ INSTAGRAM

Copyright © 2016 pieces of me. Designed by OddThemes & Blogger Templates