Menjadi Kartini
Saya masih ingat betul pada masa ketika saya masih bersekolah dulu,
tepatnya ketika duduk di bangku SMP, peringatan Hari Kartini selalu menjadi hal
yang saya nantikan dengan antusias. Mengapa? Karena pada hari itu tidak ada
pelajaran di sekolah. Alih-alih mendapatkan jam pelajaran seperti hari-hari
biasa lainnya, setiap tanggal 21 April jam pelajaran tersebut digantikan oleh
berbagai macam perlombaan antarkelas. Perlombaan itu pun tidak diikuti oleh
seluruh murid, melainkan hanya perwakilan kelas saja. Dengan kata lain, mereka
yang tidak menjadi perwakilan kelas untuk mengikuti lomba dapat berpartisipasi
menjadi penonton atau suporter, yang itu berarti: mendapatkan jam bebas. Dan
seringnya, saya kebagian jatah untuk mengisi jam bebas tersebut. Lomba yang
diselenggarakan sendiri bermacam-macam, tetapi yang jelas, semua berhubungan
dengan perempuan, atau lebih tepatnya, ‘hal-hal yang dilekatkan pada perempuan
oleh konstruksi sosial’, seperti: kontes pemilihan Kartini, kontes pemilihan
Dimas dan Diajeng, lomba pidato Bahasa Jawa, lomba pidato Bahasa Inggris, lomba
me-wiru (teknik melipat khusus) kain
batik (jarik), lomba memasak, dan
lain sebagainya.
Sepanjang tiga tahun saya di SMP, hanya satu kali saya menjadi
perwakilan kelas untuk mengikuti lomba, yaitu lomba tari modern (modern dance) ketika di kelas 2
(sekarang penyebutannya menjadi kelas 8). Selain karena saya menyukai tari dan
telah mengikuti kelas seni tari sejak TK, saya senang-senang saja didapuk
menjadi anggota tim lomba karena itu berarti saya tidak harus mengenakan baju
kebaya ke sekolah pada hari itu. Saya suka kebaya, saya juga sangat suka
berdandan, namun untuk seharian beraktivitas di sekolah mengenakan atribut Jawa
lengkap seperti itu, saya agak keberatan. Alasannya cukup sederhana; selain
karena mengenakan kostum dan make-up
membuat saya mudah merasa gerah alias kepanasan, juga karena saya malas
repot-repot membawa baju ganti ke sekolah. Namun, sebagai peserta lomba tari
modern, saya bisa berangkat ke sekolah pada hari itu dengan tampilan santai dan
bebas dari gerah.
Lain halnya dengan masa SMA, di mana saya tidak memiliki kenangan yang
menarik mengenai peringatan Hari Kartini. Aneh sekali. Apa memang sekolah saya
tidak pernah memperingatinya dalam bentuk apapun? Ataukah saya saja yang
terlalu detached dari masa-masa SMA
saya? Satu hal, saya memang antipati terhadap SMA saya karena berbagai alasan.
Jadi, banyak momen seolah berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan yang
mendalam; kecuali memang momen-momen yang menumpuk kekesalan saya terhadap institusi
sekolah itu. Yang berkaitan dengan institusi sekolah, momen indah di SMA bisa
dihitung jari, sedangkan momen tidak menyenangkan bisa saya sebutkan banyak
sekali hingga akhir zaman; namun peringatan Hari Kartini tidak pernah ada di
sana. Dan saya juga masih bertanya-tanya mengapa bisa demikian; antara mungkin
memang tidak pernah ada apa-apa atau ada apa-apa namun tidak berarti apa-apa.
Kini, sepuluh tahun setelah saya lulus SMA, tanggal 21 April kembali
datang dan dengan kehidupan saya sebagai seorang peneliti, saya terbiasa untuk
bertanya dan mempertanyakan atas sesuatu. Kali ini, pertanyaan saya adalah: apa
dan bagaimana kita memaknai peringatan Hari Kartini? Setelah saya pahami,
ternyata perayaan Hari Kartini yang saya alami sewaktu SMP (dan mungkin juga
Anda sekalian alami ketika sekolah) adalah sesuatu yang ironis. Saya katakan
ironis, mengapa? Konon Kartini adalah sosok yang memiliki pemikiran progresif
di tengah zaman yang konservatif. Ia memiliki pemikiran yang mendobrak norma-norma
keperempuanan pada zamannya (dan sebagai informasi, masih kontroversial
mengenai apakah Kartini benar-benar menerapkan pemikiran progresifnya pada aksi
nyata). Namun, kita memperingati hari lahir sosok progresif tersebut justru
dengan melanggengkan hal-hal yang dikonstruksikan kepada perempuan oleh sistem
sosial yang disokong sistem patriarki ini. Bahkan, kita ‘diajari’ dan
‘dibentuk’ untuk menjadi ‘Kartini’ dengan menggunakan pakaian daerah, atau
lebih tepatnya, pakaian adat Jawa. Di situlah letak ironisnya. Saya yakin,
seratus sembilan persen, bahwa apabila Kartini hidup pada saat ini,
sehari-harinya ia akan lebih memilih untuk mengenakan dress dibandingkan kebaya. Lalu mengapa kita harus ‘dipaksa’ untuk
mengenakan kebaya pada hari lahirnya? Bukankah pakaian hanya atribut? Bukankah
pakaian hanya simbol? Semangat perjuangan untuk membela hak-hak perempuan tidak
terletak pada atribut maupun simbol, namun pada pola pikir dan aksi.
Saya tidak mengatakan bahwa mengenakan kebaya pada peringatan Hari
Kartini adalah salah. Yang saya coba katakan adalah bahwa mengenakan kebaya
saja tidak cukup. Mengenakan kebaya dan bersanggul tidak lantas membuat kita
menjadi Kartini atau memiliki pemikiran-pemikiran yang progresif seperti
beliau. Jadi, ulah siapa yang mengerdilkan perayaan Hari Kartini sedemikian
rupa hingga menjadi hari berkebaya dan bersanggul nasional? Ya ulah siapa lagi
kalau bukan pemerintahan Orde Baru. Intinya adalah domestifikasi perempuan.
Apabila kita mau mempertanyakan, maka kita akan membaca. Dan apabila kita
membaca, maka kita akan mengetahui bahwa pengagungan sosok Kartini sendiri pun
sebenarnya memiliki kontroversi. Di tengah begitu banyaknya pahlawan perempuan
yang memperjuangkan negeri ini, mengapa sosok Kartini yang dipilih? Di tengah
banyaknya sosok perempuan di masa lalu yang memperjuangkan hak-hak perempuan,
mengapa sosok Kartini yang dipilih? Kita harus memahami bahwa sejarah ditulis
oleh pemenang. Pada konteks waktu itu, sejarah ditulis oleh para kolonial.
Nama Kartini digaungkan pada masa kolonialisme pemerintahan
Hindia-Belanda di Indonesia. Lebih tepatnya, ketika Politik Etis mulai
diterapkan di Hindia-Belanda, setelah Ratu Wilhelmina dari Belanda
menginstruksikan kepada pemerintahan di bawah naungan kerajaan Belanda untuk
menerapkan “politik balas budi” kepada masyarakat lokal atau setempat.
Pemerintah Hindia-Belanda memerlukan satu sosok yang sanggup memicu semangat
masyarakat sendiri untuk ‘bangkit’ dan ‘memandirikan’ diri mereka.; terutama
kaum perempuan, di mana posisinya dalam masyarakat feodalisme Jawa merupakan
subordinat dari kaum laki-laki. Melalui pengkultusan atas sosok Kartini yang
telah meninggal dunia pada waktu itu, kaum perempuan diajari untuk memiliki
semangat emansipasi; untuk mau menjadi ‘setara’ dengan kaum laki-laki, utamanya
dalam hal memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Apakah pemerintah
Hindia-Belanda diuntungkan dengan hal ini? Tentu saja. Feodalisme Jawa mengalami
dekonstruksi besar-besaran yang mempersulit dirinya untuk melanggengkan
kekuasaan. Alhasil, kolonialisme mengisi celah-celah dalam kelimbungan
tersebut. Apakah masyarakat lokal diuntungkan dengan hal tersebut? Ya. Mereka
memiliki perspektif baru bahwa ada yang salah dengan sistem feodalisme yang
selama itu berlaku. Kaum perempuan memiliki semangat atas emansipasi, yang
meskipun berupaya disetir oleh, atas, dan untuk kepentingan pemerintah
Hindia-Belanda, pada akhirnya memberi kesempatan pada kaum perempuan untuk
mengenyam pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki.
Pada akhirnya, gerakan sosial dan politik apapun memerlukan simbol.
Seperti halnya Harvey Dent yang kematiannya menjadi simbol perlawanan kota
Gotham atas kriminalitas dan aksi vigilante yang meresahkan masyarakat di sana;
tanpa publik tahu bahwa pada akhir hayatnya ia berubah menjadi Two Face (dalam
trilogi The Dark Knight oleh
Christopher Nolan). Kartini pun menjadi simbol; dulu oleh pemerintah
Hindia-Belanda yang diberikan kepada rakyat, serta dulu oleh pemerintah Orde
Baru yang diberikan kepada masyarakat dan terus dilanggengkan hingga sekarang. Menurut
saya, apalagi sebagai sesama perempuan, sosok Kartini terlalu mulia untuk hanya
dijadikan simbol. Apakah kita lantas berhenti dengan menjalani pendidikan
setinggi-tingginya yang kita mampu saja? Tidak. Pendidikan ada agar kita
memiliki pilihan. Kaum laki-laki memiliki pilihan. Kaum perempuan memiliki
pilihan. Menjadi Kartini, bagi saya, lebih dari sekadar mengenakan kebaya dan
sanggul. Menjadi Kartini berarti menjadi perempuan dengan sikap kritis, yang
memungkinkan kita untuk melihat hal-hal yang tidak baik-baik saja dalam dunia
yang nampak baik-baik saja ini. Menjadi Kartini berarti menjadi perempuan
dengan pemikiran yang progresif, yang tidak selalu menerima segala hal secara
serta-merta (taken for granted)
melainkan selalu mempertanyakan berbagai hal yang ada di sekitarnya. Menjadi Kartini
bukan sekadar mengenakan simbol dan atribut, melainkan memiliki pola pikir progresif
dan melakukan aksi nyata.
Tidak mudah memang menjadi perempuan di dunia yang tidak baik-baik saja
ini. Perjalanan sejarah mencatat bahwa sebagai perempuan, identitas diri dan
peran-peran sosial kita ditentukan oleh kaum laki-laki; hal ini membangun pola
pikir perempuan sehingga sebagian besar dari kita pada masa ke masa memiliki
pemikiran dengan perspektif patriarki, baik disadari maupun tidak. Seperti misalnya,
dalam kasus perselingkuhan, perempuan korban perselingkuhan justru menyalahkan
si perempuan selingkuhan alih-alih menyalahkan si laki-laki yang berselingkuh. Atau
pada kasus lain, masih ada perempuan yang menyalahkan perempuan korban
pelecehan seksual dengan mengatakan bahwa korban yang memancing si laki-laki
hingga kasus tersebut terjadi alih-alih menyalahkan si laki-laki yang tidak
sanggup menahan hawa nafsunya. Dan memang saya akui, sangat sulit untuk
melakukan dekonstruksi atas konstruksi sosial yang telah mapan tersebut. Namun,
sebagai orang yang optimis saya selalu percaya, bahwa tidak ada kata terlambat
untuk menjadi resisten atas sistem tersebut. Dan pada hakikatnya, perubahan
selalu dimulai dari diri kita sendiri. Semua dimulai dari hati yang terbuka
untuk menerima pemikiran yang berbeda. Dan bahwasanya, tidak ada yang salah
dengan menjadi beda. Menjadi beda itu indah. Menjadi beda itu cantik. Menjadi beda
itu istimewa. Dan semangat untuk menjadi Kartini adalah semangat untuk menjadi
beda, indah, cantik, dan istimewa dengan pola pikir dan aksi nyata kita.
Jauh ku dengar lagu di
keheningan malam aku sendiri
Ku coba merenungi
tentang jalan hidupku dalam cinta, adakah cintamu?
Seberkas cahaya terang
menyinari hidupku
Sesejuk embun pagi
dalam cita cintaku
-Nike Ardilla, Seberkas
Sinar
0 komentar