Menjadi Perempuan di Dunia yang Tidak Baik-Baik Saja
Semenjak awal tahun ini, gembar-gembor
mengenai Hari Perempuan Sedunia (International
Women’s Day) sudah ramai di dunia maya. Entah memang ramai bagi semua orang
atau hanya bagi saya saja karena (1) media sosial yang rutin saya akses setiap
hari hanya Instagram saja dan (2) saya banyak mengikuti akun-akun pergerakan
sosial di situ, terutama yang berkaitan dengan feminisme. Yang jelas, saya
merasa antusiasme perayaan Hari Perempuan Sedunia tahun ini lebih massif
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini bisa jadi dikarenakan oleh minat
dan kesadaran orang-orang mengenai aktivisme gerakan perempuan cenderung
meningkat atau memang tanpa saya sadari saya telah berada di usia dan
lingkungan yang menaruh perhatian lebih ke arah sana. Namun, terlepas dari
bagaimanapun konteks yang membuat hal ini terasa massif bagi saya, saya
menanggapi fenomena ini dengan positif, yah, kurang lebih.
Pagi menjelang siang ini saya
mendapatkan pesan dari seorang teman, sebut saja namanya Dian (cukup aman,
karena saya punya banyak teman bernama Dian, haha). Ia melemparkan satu
pertanyaan kepada saya: “Apa yang paling kamu syukuri sebagai perempuan?” Hmmm,
menarik. Sebenarnya, saya merasa bersyukur terlahir sebagai perempuan dengan
segala aspek yang melingkupinya. Tidak ada yang tidak saya syukuri sebagai
perempuan. Pun ketika ditanya ingin terlahir sebagai apa di kehidupan
selanjutnya, saya tidak ragu untuk menjawab: perempuan (lagi). Perbedaan fisik
adalah salah satu yang paling menonjol ketika memperbandingkan antara perempuan
dan laki-laki; dan dalam hal tersebut saya bersyukur terlahir sebagai
perempuan. Saya bersyukur memiliki rahim, dengan segala kepelikan dan seluruh
rasa yang diberikannya, termasuk nyeri haid yang datang menyapa setiap bulan.
Saya bersyukur memiliki vagina dan payudara, dengan segala hiruk-pikuk politis
yang menyertainya. Paling tidak, dalam hal ini, sebagai perempuan saya tidak
memiliki alasan untuk merasa iri kepada laki-laki, karena secara kuantitas, perempuan
memiliki lebih banyak fasilitas untuk dapat merasa terpuaskan secara seksual.
Dari segi sosial dan politik,
saya dapat berkata dengan lantang bahwa saya bersyukur terlahir sebagai
perempuan di dunia yang bergerak dengan sistem patriarki ini. Mengapa? Sistem patriarki
adalah sistem yang telah mapan dibangun dari zaman ke zaman dan meneguhkan
posisi laki-laki sebagai ‘pemilik kuasa’ dari sistem sosial masyarakat dunia. Sementara
itu, pada saat yang bersamaan sistem tersebut memapankan posisi perempuan
sebagai ‘jenis kelamin kedua’ atau ‘second
sex’, sebagaimana diutarakan oleh filsuf Simone de Beauvoir. Ketika kita
berada dalam zona yang mapan atau ‘dimapankan’ oleh sistem dengan posisi yang
tinggi seperti laki-laki, kita tidak akan merasa ada yang salah dalam sistem
tersebut. Mengapa? Karena seharusnya
(dan kita diharuskan untuk) merasa baik-baik saja dengan sistem yang telah
mapan dan meninggikan posisi kita tersebut. Namun, di sisi lain, ketika sistem
yang telah mapan tersebut menempatkan kita pada posisi yang rendah, maka kita
akan dengan mudah menemukan bahwa ada yang salah dalam sistem tersebut. Pikiran
kita akan terasah untuk menjadi lebih kritis. Dan semestinya begitulah hidup
sebagai perempuan di dunia yang tidak baik-baik saja ini.
Dari masa ke masa, perkembangan
gerakan feminisme mengalami berbagai gelombang dan telah memunculkan banyak
aliran. Namun, semangat yang dibawa hingga kini adalah kesetaraan (equality), kebebasan (freedom), dan kemerdekaan (liberty). Sayangnya, banyak pihak, baik
laki-laki maupun perempuan sendiri, masih salah kaprah terhadap
semangat-semangat gerakan feminisme tersebut, utamanya mengenai kesetaraan.
Patut disadari bahwa kesetaraan bukan berarti penyamarataan. Ketika perempuan
menuntut kesetaraan, bukan berarti perempuan menuntut untuk disamaratakan
dengan laki-laki. Justru sebaliknya, kesetaraan berarti mengakui perbedaan
antara perempuan dan laki-laki. Tidak dapat dipungkiri bahwa laki-laki dan
perempuan itu berbeda. Perbedaan yang berangkat dari perbedaan biologis
tersebut kemudian berimplikasi pada perbedaan dalam hak dan kewajiban di
berbagai lini kehidupan. Kemudian, yang menjadi masalah adalah, dalam
perjalanan sejarahnya, hak dan kewajiban perempuan pada tataran individu maupun
sosial ditentukan dan dibentuk oleh laki-laki. Sehingga, tuntutan kesetaraan
dalam gerakan feminisme berporos pada kebebasan perempuan untuk menentukan hak
dan kewajiban mereka sendiri dalam upayanya menjadi manusia yang merdeka.
Problemnya secara mendasar
terletak pada mentalitas yang dibangun oleh pola pikir yang telah dikonstruksi
oleh sistem. Mengambil contoh kasus pelecehan seksual terhadap perempuan;
sistem patriarki mengonstruksi pikiran masyarakat untuk menempatkan perempuan
sebagai korban sekaligus pemantik masalah. Paradoks, bukan? Perempuan jelas
menjadi korban di sini. Namun, standar ganda masyarakat patriarki juga turut
mempersalahkan perempuan dengan stigma-stigma seperti “seharusnya perempuan
lebih sopan dalam berpakaian sehingga tidak memancing nafsu laki-laki” serta
stigma sosial yang ia dapatkan pasca kejadian, seperti “tidak perawan lagi”, “jalang”,
“pelacur”, “tidak suci”, dan lain sebagainya; seolah trauma psikologis yang ia
dapatkan dari kejadian pelecehan tersebut tidak cukup untuk menghantui dirinya
seumur hidup, sosial masyarakat seolah merasa perlu untuk menjadi “ratu adil”
dan menjustifikasi para korban pelecehan tersebut. Alih-alih mempermasalahkan
cara berpakaian perempuan, mengapa tidak mempermasalahkan laki-laki yang tidak
dapat mengontrol hawa nafsunya? Alih-alih mempermasalahkan perempuan yang tidak
bisa bela diri, mengapa tidak mempermasalahkan laki-laki yang tidak dapat
menggunakan akal sehatnya? Semuanya kembali pada persoalan mentalitas;
sederhana namun rumit.
Ketika tuntutannya adalah ‘kesetaraan’,
sesungguhnya ini adalah persoalan mentalitas. Tidak, perempuan tidak menuntut
untuk mendapatkan posisi yang lebih berkuasa daripada laki-laki. Sesungguhnya,
tuntutan perempuan adalah sesederhana untuk dimengerti dan dipahami; untuk
berhenti membuat keputusan atau kebijakan yang hanya mempertimbangkan
kepentingan laki-laki semata, melainkan juga mempertimbangkan kepentingan
perempuan melalui sudut pandang perempuan, bukan kepentingan perempuan melalui
sudut pandang laki-laki semata. Permasalahannya, yang terjadi selama ini adalah
laki-laki telah merasa membuat keputusan atau kebijakan yang mereka pandang
baik bagi perempuan, dari sudut pandang
laki-laki sendiri, tanpa mempertimbangkan, apa sih yang sebenarnya
perempuan inginkan dan butuhkan? Apakah keinginan dan kebutuhan perempuan
benar-benar sama seperti yang para laki-laki bayangkan selama ini? Pada tataran
inilah, sebagian besar laki-laki salah kaprah mengenai konsep kesetaraan yang
selama ini digaungkan dan dituntut oleh perempuan.
Ketika laki-laki menebar
pesonanya dan sanggup menaklukkan banyak perempuan, ia disebut jagoan atau
flamboyan atau segala istilah maskulin yang digunakan untuk semakin menegaskan
kuasa laki-laki atas perempuan. Namun di sisi lain, ketika perempuan menebar
pesonanya dan sanggup menaklukkan banyak laki-laki, ia disebut jalang atau
murahan atau segala istilah yang merendahkan posisi perempuan di masyarakat. Ketika
laki-laki merasa cemburu, ia disebut protektif. Namun ketika perempuan merasa
cemburu, ia disebut gila dan tidak rasional. Dan itu hanya segelintir contoh
mengenai letak ketimpangan ‘kesetaraan’ yang jelas-jelas mengakar kuat di
masyarakat patriarki yang tidak baik-baik saja ini. Bayangkan saja, betapa
serba salahnya hidup sebagai perempuan! Perempuan paham bahwa laki-laki butuh untuk
merasa dihargai dalam menjadi diri mereka sendiri dan perempuan bahkan (sedihnya)
rela merendahkan diri mereka sendiri demi menghargai laki-laki yang menjadi
pasangan mereka. Namun ketika perempuan mencoba untuk menjadi dirinya sendiri,
seketika laki-laki merasa tidak dihargai. Serba salah, bukan? Sesungguhnya,
tidak hanya perempuan saja yang perlu memahami arti kesetaraan, melainkan
laki-laki juga. Karena sesungguhnya, kesetaraan bukan berarti berniat untuk
meletakkan laki-laki pada posisi yang lebih rendah, namun justru sebaliknya,
untuk menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang sama-sama meraih
kebebasan dan kebahagiaan. Perempuan atau laki-laki, kita sama-sama manusia,
bukan?
Sesungguhnya masih banyak contoh kasus
ketimpangan sosial dalam relasi antara perempuan dan laki-laki, tetapi akan
memakan waktu selamanya apabila saya terus bicara mengenai itu semua. Tulisan ini
akan saya tutup dengan sebuah penghormatan. Sebagai perempuan, saya ingin
mengajak rekan-rekan sesama perempuan yang hidup di masa kini untuk berterima
kasih pada aktivis pergerakan isu-isu perempuan di masa lalu. Tanpa perjuangan
mereka, kita tidak mungkin dapat menyuarakan pendapat sebebas sekarang, kita
tidak mungkin memperoleh kesempatan kerja seperti sekarang, kita tidak mungkin
memiliki hak untuk mengikuti pemilihan umum, dan masih banyak lagi. Akhir kata,
demi penghidupan perempuan yang lebih baik di masa depan, mari kita sama-sama
belajar untuk lebih menghargai sesama perempuan.
Haruskah hidupku menurut mengalah mendengar apa katamu?
Sampai kapankah kuharus begini? Mentari berikan sinarmu, biarkan terang
hidup ini
Nyalakan api kehidupan, hangatkan cinta yang membara
Mata hatiku, ayunkan langkah pasti dalam cinta
-Nike Ardilla, Nyalakan Api
0 komentar