Damai dalam Sepi
Dari semua hari raya yang dimiliki oleh berbagai agama di dunia, saya
paling menyukai ide dari Nyepi. Bukan berarti saya merendahkan hari raya yang
lain, hanya saja, menurut saya Nyepi menjadi wujud ideal dari sebuah perayaan
atas relasi keimanan antara seseorang dan Tuhannya. Bukankah esensi
sesungguhnya dari agama adalah relasi keimanan antara seseorang dan Tuhannya? Budaya,
politik, ekonomi, konflik, dan segala yang berjalin-kelindan dalam kehidupan
agama di muka bumi ini hanya imbas sosial dari itu. Namun apabila kita mencoba
untuk melihat kembali pada akar dari agama itu sendiri, ia adalah perihal
relasi manusia dengan Sang Pencipta; dan hal ini sangat personal. Nyepi,
menurut saya, menjadi wujud ideal atas perayaan sesuatu yang personal itu. Manusia
memiliki keimanan untuk mencari dan memperoleh rasa damai di dalam dirinya. Dan
saya percaya, dalam sepi, kita bisa menemukan rasa damai itu. pertama-tama,
saya ingin mengucapkan selamat Hari Raya Nyepi bagi seluruh umat yang
merayakannya. Semoga damai beserta kita semua.
Dalam budaya populer selama ini, istilah ‘sepi’ mengalami peyorasi
hingga seolah-olah menjadi ‘sepi’ atau mengalami ‘sepi’ merupakan sesuatu yang
nahas dan memprihatinkan; bahwa seseorang yang merasa sepi atau sedang kesepian
adalah seseorang yang malang. Saya adalah satu dari beberapa orang yang tidak
setuju dengan stigma yang disebarkan oleh budaya populer tersebut. Di sisi
lain, orang yang sanggup ‘menyepikan’ dirinya adalah pribadi yang menurut saya
luar biasa. Mengapa? Karena hidup dalam era yang serba-mudah dan serba-cepat
dengan berbagai tuntutannya ini, sesungguhnya bukan hal yang mudah bagi
seseorang untuk dapat menjadi ‘sepi’ atau mengalami ‘sepi’. Manusia terbiasa
hidup dalam ‘keramaian’ dunia, dan mereka seolah-olah diberikan kebutuhan untuk
selalu merasa ‘ramai’. Padahal, menurut saya, kebutuhan itu hanyalah kebutuhan
semu belaka. Herbert Marcuse dalam buku legendarisnya, “One-Dimensional Man”, bicara tentang bagaimana industri membentuk
kebutuhan palsu (false needs) pada
peradaban manusia. Pernahkah terbersit di benak Anda untuk sejenak meluangkan
waktu dengan diri Anda sendiri? Bukan
dengan menghabiskan waktu Anda untuk pergi merawat diri ke salon kecantikan. Bukan
dengan menonton film sendirian, baik di bioskop maupun di rumah. Bukan dengan
jalan-jalan ke pusat perbelanjaan sendirian. Bukan dengan pergi berwisata atau traveling sendirian. Melainkan untuk
berbincang dengan diri Anda sendiri, dan berdiam sejenak dari hiruk-pikuk
dunia.
Sayangnya, kondisi ‘sepi’ dibingkai oleh budaya populer sebagai “kondisi
sendiri yang harus diratapi”. Padahal, kondisi ‘sepi’ adalah waktu untuk
berdialog dengan diri sendiri, melakukan refleksi dan kontemplasi atas
waktu-waktu yang telah dilalui oleh kita dan diri kita sendiri. Toh, hidup
hanya sekali; sungguh sayang apabila kita melewatinya saja tanpa memaknainya,
bukan? Sayangnya (lagi), era kapitalisme lanjut ini membentuk manusia untuk
melewatkan kesendirian mereka dengan melakukan hal-hal yang dikonstruksi
sebagai ‘hal yang bermanfaat’, dan perspektif bentukannya bahwa hidup hanya
sekali untuk dilewatkan dalam sepi dan sendiri. Tidak salah memang apabila kita
memilih untuk melakukan ‘hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan kita’ menurut
industri tersebut. Tidak ada yang salah dengan pergi merawat diri ke salon
kecantikan atau pusat kebugaran. Tidak ada yang salah dengan menonton film di
bioskop. Tidak ada yang salah dengan jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Tidak ada
yang salah dengan pergi berwisata atau traveling.
Toh saya juga melakukannya terkadang. Namun hidup adalah soal keseimbangan. Dan
menurut saya, tak ada salahnya untuk menyeimbangkan diri dengan menyepi sejenak
dari konstelasi kehidupan sosial kita yang telah dipenuhi oleh konstruksi, dan
melakukan dekonstruksi dengan bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita
merasa damai dan tenang?
Apakah segala yang kita lakukan atas nama ‘quality time dengan diri kita sendiri’ merupakan sesuatu yang
benar-benar menjadi kebutuhan kita, ataukah kita hanya merasa membutuhkan hal
tersebut karena konstruksi sosial berkata demikian? Apakah kita mampu
mendapatkan rasa damai setelah melakukan itu semua? Apakah kita menemukan
ketenangan setelah melakukan itu semua? Pertanyaan yang sama berlaku pada
relasi diri kita dengan Sang Pencipta. Ketika kita berdoa sesuai dengan tuntunan
agama kita, apakah kita mampu mendapatkan rasa damai? Ketika kita beribadah
sesuai dengan tuntunan agama kita, apakah kita menemukan ketenangan? Apabila
jawabannya adalah iya, saya turut berbahagia. Tidak mudah mendapatkan rasa
damai dan menemukan ketenangan. Bahkan, untuk mendefinisikan apa itu ‘damai’
dan ‘tenang’ bagi diri saya sendiri saya masih belajar. Yang saya tahu, kita
bisa mendapatkan rasa damai dan menemukan ketenangan dari mana saja selama kita
mampu berbicara dari hati ke hati dengan diri kita sendiri; dan orang tidak
perlu gelar yang tinggi untuk sanggup melakukannya. Yang diperlukan hanya
sesederhana hati nurani, untuk dapat dengan tulus hati melepas segala yang
terikat dari dunia dan berupaya lebih untuk mendengarkan suara jiwa kita.
Di masa kau terlahir,
orang-orang mempercayai Tuhan pencipta alam semesta sebagai mitos,
yang membuat orang-orang
menghentikan mesin-mesinnya, turun dari pelananya,
tertegun, tersenyum,
dan bahkan menangis saat ceritanya didongengkan.
Ketika dongengnya usai
mereka mulai lapar, menyalakan mesin-mesinnya lagi,
meloncat ke pelananya
lagi, lalu berputar gila dan menggerus rakus lagi.
Kau terlahir, di masa
maha tak tahu malu.
Di masa kau terlahir,
orang-orang tidak bertegur sapa seperti manusia.
Setiap mereka mempunyai
wakil berupa angka atau kode,
yang dengannya setiap
mereka bisa menjadi siapa saja yang bukan dirinya,
dan bertemu dengan
siapa saja yang sebenarnya tidak ada.
Daging bertemu daging
tidak lagi penting, hati bertemu hati tidak lagi sejati.
Kau terlahir, di masa
maha, palsu.
-FSTVLST, Hal-Hal Ini
Terjadi
0 komentar