Di Mana Toleransi?
Saya heran, mengapa di negeri ini
sepertinya tidak ada satu ‘hari raya’ pun yang tidak menuai kontroversi? Apakah
ini salah ‘hari raya’-nya? Ataukah salah orang-orangnya? Hari ini diperingati
sebagai Tahun Baru Imlek. Saya sebisa mungkin tidak menyebutnya sebagai “Tahun
Baru Cina”, karena bagi saya penyebutan itu merupakan tindakan rasisme (sebagai
seorang mahasiswa Kajian Budaya dan Media, haram hukumnya bagi saya untuk
bertindak rasisme). Pun dalam bahasa Inggris, meskipun Tahun Baru Imlek masih
umum disebut sebagai “Chinese New Year”,
saya lebih suka menyebutnya sebagai “Lunar
New Year”, karena memang tahun baru tersebut berdasarkan penghitungan
kalender bulan, berbeda dengan kalender matahari (solar) yang digunakan secara universal oleh masyarakat dunia
sebagai kalender masehi. Apabila ditinjau dari sejarahnya, Tahun Baru Imlek
adalah penanda salah satu peradaban tertua di dunia. Untuk itu, perayaan tahun
baru ini seharusnya milik kita, manusia, dan bukan hanya milik ras atau
golongan tertentu saja.
Saya harus sependapat dengan
anggapan bahwa di negeri ini tidak hanya tanaman saja yang dapat tumbuh dengan
subur, melainkan juga stigma. Dan bagi saya, hal ini memprihatinkan. Tidak,
saya tidak akan bercerita panjang lebar kali tinggi sama dengan volume mengenai
sejarah Tahun Baru Imlek. Kita semua dapat membacanya dari berbagai sumber (dan
semoga kita semua tergolong dalam manusia yang masih mau membaca untuk
memperkaya wawasan). Saya ingin membahas satu hal menggelikan yang saya temukan
cukup ramai di internet hari ini: ke-‘haram’-an mengucapkan selamat Tahun Baru
Imlek. Yah, hal-hal yang haram juga ternyata tumbuh subur di negeri ini. Satu
hal muncul dan mereka berkata itu haram. Suatu perayaan diselenggarakan dan
mereka berkata itu haram. Itu haram. Ini haram. Semua saja haram kalau begitu.
Sehingga ketika semua yang bisa dilakukan adalah haram, kita tidak punya
apa-apa lagi yang tersisa untuk dilakukan. Menarik sekali, bukan? Hidup ini
pasti santai sekali tanpa harus melakukan sesuatu.
Hipotesis saya satu: mereka yang
menganggap bahwa mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek itu haram adalah kaum
yang malas membaca atau mudah terhasut. Saya tidak akan berbicara melalui sudut
pandang agama; toh bapak Mahfud MD sudah memperjelas melalui akun Twitter beliau (dan saya yakin 200%
bahwa ilmu agama beliau jauh lebih tinggi daripada saya), bahwa mengucapkan
selamat Tahun Baru Imlek bukanlah sesuatu yang ‘haram’ atau dilarang oleh agama
Islam. Saya ingin bicara melalui sudut pandang kemanusiaan. Mengapa? Sudah
jelas. Tahun Baru Imlek adalah bagian dari sejarah peradaban yang patut kita
rayakan bersama sebagai manusia yang hidup di bumi ini; bukan milik agama
tertentu maupun suku, ras, dan golongan tertentu saja. Pun ketika kita tidak
merayakannya, tidak ada salahnya untuk berbagi pesan selamat kepada mereka yang
merayakannya, bukan? Kita tidak akan rugi apapun. Justru sebaliknya, kita
menyebarkan pesan damai dan sejahtera. Dan itu indah. Sama seperti hal yang
nyata, toleransi itu langka akhir-akhir ini.
Tahun Baru Imlek mulai ditetapkan
sebagai hari libur nasional pada awal era 2000-an, tentunya setelah rezim Orde
Baru runtuh; karena, seperti yang kita tahu, rezim Orde Baru di bawah Soeharto telah
secara keji merepresi kaum Tionghoa dengan segala atribut budaya yang mereka miliki,
dan di dalamnya, seperti yang terstigma di masyarakat, termasuk Tahun Baru
Imlek. Saya rasa kita patut berterima kasih pada almarhum Gus Dur yang telah
dengan berani tampil sebagai bapak toleransi Indonesia untuk menginisiasi
penghapusan diskriminasi terhadap kaum Tionghoa di negeri ini. Meskipun pada
praktiknya hingga saat ini, represi dan diskriminasi terhadap kaum Tionghoa
masih terjadi dalam berbagai bentuk di berbagai lini kehidupan. Hal inilah yang
patut kita soroti bersama. Sebelum kita menunjuk sesuatu dan melabeli hal
tersebut dengan kata ‘haram’, ada baiknya kita bertanya pada diri kita sendiri:
sudahkah kita menjadi manusia yang ‘manusia’? Sudahkah kita menjadi manusia
yang ‘memanusiakan’ manusia lainnya? Sudah layakkah kita menyandang label
‘halal’? Yah, mungkin perlu menjadi daging sapi dan melewati proses uji
kelayakan dari MUI dulu sebelum kita sampai ke sana.
Bicara mengenai sentimen
anti-Tionghoa membuat saya teringat pada dosen saya, bapak Budiawan. Dalam
kelas Poskolonialisme beliau pernah menceritakan sejarah panjang mengenai
konteks bagaimana sentimen tersebut lahir dan berkembang sebagai produk dari
kolonialisme yang terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sentimen yang,
sayangnya, terus direproduksi dari masa ke masa, utamanya selama pemerintahan
Orde Baru yang otoriter dan militeristik. Orang-orang keturunan Tionghoa yang
ada di Indonesia tetap saja menjadi sang liyan dan dianggap ‘pendatang’. Padahal,
mereka lahir di Indonesia, besar di Indonesia, berstatus warga negara Indonesia,
bahkan turut andil dalam memajukan perekonomian negeri ini, serta beberapa
bahkan meraih prestasi hingga tingkat internasional dan mengharumkan nama
bangsa ini melalui berbagai ajang. Beberapa waktu yang lalu, bahkan, apabila
Anda tahu dan masih mengingatnya, sempat ramai isu mengenai ‘pribumi’. Isu yang
cukup menggelikan bagi saya sebenarnya, karena saya ragu bahwa mereka yang
ramai meneriakkan ‘pribumi’ itu benar-benar paham mengenai esensi dari apa yang
disebut ‘pribumi’, atau hanya mengikuti arus kebanyakan yang sesungguhnya
menggunakan dalih ‘pribumi’ tersebut hanya untuk kepentingan politik belaka. Ada
baiknya sebelum kita membela sesuatu yang kita anggap benar, kita memastikan
bahwa tidak ada nilai kemanusiaan yang tercederai di sana.
Kembali pada perayaan Tahun Baru
Imlek, beberapa pihak masih dengan bebalnya menganggap bahwa mengucapkan kata
selamat pada perayaan ini adalah sesuatu yang haram. Padahal, selain karena
paparan yang telah saya jabarkan di atas, dilihat dari arti katanya, ungkapan “gongxi facai” memiliki arti harfiah “selamat
dan semoga banyak rezeki”. Bayangkan, betapa indah isi dari pesan tersebut;
memberi doa pada orang lain supaya meraih kesejahteraan dalam kehidupan ini. Seperti
perdebatan haram atau tidaknya perayaan Hari Valentine yang saya coba
kembalikan pada hakikatnya mengenai pemaknaan cinta, maka perdebatan haram atau
tidaknya perayaan Tahun Baru Imlek ini pun coba saya kembalikan pada muatan
nilai dasarnya mengenai panjatan doa untuk kesejahteraan umat manusia. Saya percaya
bahwa semua agama pada dasarnya baik; dan setiap agama memastikan para umatnya
untuk tidak hanya menjalin relasi secara baik dengan Tuhan saja, melainkan juga
dengan sesama manusia. Dari sisi kemanusiaan, ini adalah soal menyebarkan pesan
damai dan melakukan tindakan toleransi. Di bumi yang sudah berusia sangat tua
ini, peradaban manusia membutuhkan cinta. Dunia ini butuh banyak cinta. Toleransi,
adalah bagian dari cinta; dan kita bisa mulai dari diri kita sendiri untuk
memberikannya pada dunia.
Segala kebaikan takkan terhapus oleh kepahitan.
Kulapangkan resah jiwa, karena kupercaya ‘kan berujung indah.
Kau membuatku mengerti hidup ini; kita terlahir bagai selembar kertas
putih.
Tinggal kulukis dengan tinta pesan damai, dan terwujud harmoni.
–Padi, Harmony
0 komentar