Bicara Cinta
Hari ini, 14 Februari, secara
internasional didaulat sebagai Hari Valentine, yang dalam perjalanan sejarahnya
kemudian dipahami secara universal sebagai Hari Kasih Sayang; yaitu hari di
mana orang-orang mengekspresikan rasa cinta dan kasih sayang mereka kepada
orang yang mereka anggap signifikan bagi mereka. Tidak, saya tidak ingin
membahas sejarah sejak kapan dan bagaimana Hari Valentine ini ada, karena kita
semua dapat menemukan ceritanya, yang –apalagi dengan kemajuan teknologi
internet saat ini– tersebar di mana-mana, dalam berbagai versi (sehingga kita
dapat menggabungkan berbagai perspektif yang ada), serta dari berbagai sumber
(sehingga kita dapat membaca lebih dari satu rujukan referensi). Saya juga
tidak ingin membahas bagaimana Hari Valentine telah melalui proses komodifikasi
sedemikian rupa (terima kasih kepada sistem kapitalisme dunia) sehingga menjadi
salah satu hari yang –meskipun bukan hari raya atau libur resmi baik di tingkat
nasional maupun internasional– sukses menjalankan roda perekonomian untuk
beberapa bidang industri, seperti misalnya kartu ucapan, bunga, cokelat, kue,
dan lain sebagainya.
Selayaknya mahasiswa Kajian
Budaya dan Media pada umumnya, pada hari ini saya seharusnya menulis tentang
hal-hal tersebut; memaparkan secara komprehensif mengenai lahirnya Hari
Valentine serta bagaimana perayaan tersebut mengalami konstruksi sedemikian
rupa dalam masyarakat modern sehingga melahirkan satu praktik kultural, yang di
satu sisi turut menyokong era kapitalisme lanjut, sedangkan di sisi lain
membawa muatan nilai yang mengingatkan orang-orang bahwa ‘kasih sayang’ adalah
hal sederhana yang kerap terlupakan namun sebenarnya esensial bagi
keberlangsungan hidup ‘kemanusiaan’ itu sendiri. Sebagai mahasiswa Kajian
Budaya dan Media, selayaknya saya sanggup memberikan pandangan kritis terhadap
Hari Valentine dan segala aspek yang berkaitan dengan hari ini, yang mungkin
akan Anda anggap sebagai mencela dan mencaci-maki perayaan Hari Valentine itu
sendiri. Yah, saya sanggup melakukannya. Namun bagi saya, ‘kritis’ bukan
berarti ‘selalu sinis’ terhadap sesuatu. Bagi saya, ‘kritis’ adalah kondisi di
mana kita sanggup melihat sisi terbaik dari hal yang terburuk, bahkan sisi
terburuk dari hal yang terbaik sekalipun.
Dalam praktik kultural yang terjadi
di masyarakat dunia, orang-orang tidak sekadar ‘merayakan’ Hari Valentine hanya
dengan memberikan ucapan selamat, melainkan juga kartu ucapan, bunga, boneka,
kado, atau –yang paling populer dan juga menjadi simbol dari perayaan Hari
Valentine itu sendiri– cokelat. Beberapa orang menganggap bahwa praktik
tersebut merupakan hal yang dapat ditolerir, karena toh apa salahnya sehari
dalam setahun untuk mengeluarkan uang dan menghabiskan waktu untuk
memilih-milih cokelat untuk diberikan kepada orang terkasih? Beberapa orang
menganggap bahwa praktik tersebut berlebihan karena toh setiap hari seharusnya
menjadi Hari Kasih Sayang dan setiap saat kita bisa mengekspresikan kasih
sayang kita kepada orang terkasih tanpa perlu menunggu tanggal 14 Februari
untuk melakukannya. Beberapa orang menganggap praktik tersebut haram karena
dianggap bertentangan dengan aturan dalam agama mereka. Tanggapan orang memang
berbeda-beda, namun lagi-lagi bukan itu yang saya ingin bicarakan kali ini.
Saya juga tidak akan memberikan analisis dengan teori-teori Kajian Budaya dan
Media mengenai ekonomi politik, politik arena-nya Bordieu, atau simulakra-nya
Baudrillard. Jangan. Terlalu berat. Kita tidak akan sanggup. Cukup dalam tesis
saja saya melakukannya.
Membicarakan cinta boleh jadi akan terkesan
klise pada Hari Valentine ini. Namun justru itulah yang ingin saya bicarakan
kali ini. Cinta. Di tengah seluruh pandangan industrialis mengenai perayaan
Hari Valentine (diskon di mana-mana, ya, sangat menggoda, memang) dan seluruh
pandangan skeptis terhadap perayaan Hari Valentine (“Masya Allah, Valentine itu haram, saudara-saudara” atau “jangan mau
terjebak pada konstruksi kapitalis untuk menguntungkan pengusaha cokelat”),
saya mencoba mengetengahkan suatu bahasan yang membawa perayaan Hari Valentine ini
kembali pada muatan nilai yang menjadi akarnya: cinta. Bukan ‘cinta’ yang telah
dikomodifikasi menjadi sesuatu yang materialistik, melainkan ‘cinta’ yang
bersumber pada rasa. Bukan ‘cinta’ yang telah dikonstruksi menjadi sebuah
komoditas, melainkan ‘cinta’ yang mewujud pada manifestasi praktik kultural
sehari-hari. Sebelum kita memutuskan untuk menyukai atau membenci Hari
Valentine, ada baiknya kita bertanya pada diri kita sendiri: bagaimana kita
memaknai cinta?
Saya sering menemukan bahwa cinta
dipandang sebagai sebuah konsep yang abstrak oleh sebagian besar orang; dan
saya pun termasuk dalam sebagian besar orang tersebut, dulu. Seiring
berjalannya waktu, saya menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang inheren
diturunkan kepada kita, melainkan sesuatu yang kita pelajari dan tentukan
maknanya sendiri. Konsep ‘cinta’ bukanlah abstrak, melainkan cair. Oleh karena
itu, setiap orang memiliki caranya sendiri-sendiri dalam mengonsepsi ‘cinta’;
dan konsep yang mereka bangun tersebut lahir secara kontekstual (siapa yang
mengalaminya dan pengalaman masa lalunya, kapan mereka mengalaminya, bersama
siapa mereka bertemu dan mengalaminya, bagaimana proses tersebut berjalan, dan
segala hal yang melingkupi konteks tersebut). Bagi saya, cinta bukanlah kata
benda, melainkan kata kerja. Untuk itu, ketika saya menyatakan, “Saya
mencintaimu,” maka ada sesuatu yang saya lakukan secara riil dan
termanifestasi, yang merupakan indikator bahwa ‘saya mencintaimu’; dan
tentunya, sebagai kata kerja, maka manifestasi dari kata tersebut harus
dirasakan oleh kedua belah pihak, yaitu subjek dan objek dalam kalimat (si
‘saya’ dan si ‘-mu’).
Perbincangan dengan seorang teman
wanita semalam cukup menggelitik saya. Teman wanita saya bisa dikatakan
‘berpengalaman’ dalam hal cinta; baik secara praktis maupun teoritis. Ia bahkan
mendapatkan gelar doktornya melalui disertasi yang membahas soal keintiman
relasi romantis. Namun bahkan seorang doktor cinta pun membutuhkan teman
diskusi. Untungnya, meskipun dengan kapasitas otak seorang-sarjana-yang-hampir-master
ini saya sedikit-banyak sanggup mengimbangi pemahaman dia mengenai cinta.
Melalui perbincangan itu kami menemukan bahwa konsep cinta yang dimaknai secara
berbeda-beda inilah yang kerap menimbulkan friksi dalam relasi percintaan,
karena ketika dua orang yang mengonsepsi cinta secara berbeda kemudian akan
memiliki wujud manifestasi cinta yang berbeda pula. Dengan kata lain, dua orang
itu akan sering mengalami ‘salah paham’ terhadap satu sama lain dalam relasi
percintaan mereka sehari-hari, yang sumbernya pada satu hal sederhana namun
esensial: konsep cinta.
Saya percaya bahwa pada awalnya
tidak ada dua orang yang benar-benar melihat cinta dengan cara yang persis sama
dan tanpa perbedaan sama sekali. Namun ketika relasi percintaan telah terjalin,
di sinilah dialektika mulai terjadi. Seiring berjalannya relasi, kita akan
sanggup melihat bagaimana pasangan kita mengonsepsi cinta, bagaimana kita
sendiri mengonsepsi cinta, dan utamanya lagi, bagaimana kedua konsep itu
menemui jalan tengah untuk saling berjalin-kelindan dan membentuk konsep ‘kita’
(us) dalam relasi. Oleh karena itu,
setiap pasangan kemudian memiliki cara mereka masing-masing dalam menjalankan
relasi dan membentuk ke-‘kita’-an mereka. Dengan kata lain, “‘kita’ itu adalah
‘kita’ yang bagaimana” berlaku berbeda untuk setiap pasangan. Bagi saya dan
pasangan saya, ke-‘kita’-an kami lahir melalui proses negosiasi yang panjang
selama bertahun-tahun; proses yang kami berdua sepakati sebagai sebuah proses
yang indah dan berarti, dengan segala friksi, adu argumentasi, perdebatan, dan
diskusi yang mewarnainya.
Konsep cinta yang cair
memungkinkan relasi percintaan kami untuk mengalami evolusi dari masa ke masa.
Ia tidak hilang, namun berevolusi secara adaptif mengikuti konteks perubahan
yang ada. Ia berevolusi dalam konteks manifestasi cinta, namun unsur dasarnya
tetap ada dan tidak pernah berubah: kasih sayang; dan itu Platonik. Bagi kami, konsep cinta mewujud pada praktik keseharian
sebagai manifestasinya; kehadiran.
Pada tataran ini kemudian jelas bahwa ketika, misalnya, kami sama-sama
meluangkan waktu untuk makan siang bersama adalah manifestasi dari rasa cinta
kami kepada satu sama lain. Dalam beberapa hal lain, friksi tentu saja masih
terjadi, karena ternyata, memiliki konsep dasar yang sepaham mengenai cinta
tidak lantas menjadikan seluruh manifestasi yang ada dimaknai secara
resiprokal. Ilustrasi sederhananya adalah misal: saya tidak menganggap bahwa
ketika pasangan saya menemani saya mengerjakan tesis merupakan wujud dari
cinta, sedangkan bagi pasangan saya hal itu merupakan caranya dalam
mengekspresikan cintanya kepada saya. Kesalahpahaman semacam ini, bagi kami,
dapat dituntaskan dengan cara bicara, berdua, dari hati ke hati. Dan pada
proses menemui kesepahaman itulah, bagi kami, merupakan esensi dari cinta itu
sendiri; kemampuan untuk mendengarkan
dan memahami.
Untuk itu, kami tidak perlu
membandingkan ataupun menyetarakan ke-‘kita’-an kami dengan pasangan-pasangan
lain yang ada di luar sana, atau bahkan pasangan karakter dalam film atau
komik-komik Jepang (Romeo-Juliet, Rangga-Cinta, Dilan-Milea, Usagi-Mamoru, or whatever fuck out there). Kami adalah
karakter dalam kisah kami sendiri; dan kami adalah rumah (home) bagi satu sama lain. Dan bagi kami, rumah bukanlah tempat
kembali atau tempat istirahat-sejenak-sebelum-akhirnya-pergi-lagi; bagi kami,
rumah adalah tujuan. Kami boleh jadi pernah membentuk kenangan di tempat lain,
namun pada akhirnya semua itu tidak berarti, karena itu semua hanya ilusi
(karena mereka tidak pernah benar-benar mengenal diri kami yang sesungguhnya); dan
kami hanya bisa memandang miris pada orang-orang yang masih terjebak dalam
bayang-bayang ilusi tersebut, yang takut untuk menghancurkan khayalan mereka
sendiri dan menghadapi realita yang ada. Bagi kami, ‘mentas’ dari ilusi adalah
dengan menjadikannya pembelajaran untuk memperkuat relasi kami.
Bagi kami, cinta adalah sesuatu
yang nyata (real); dan dari situ ia
menjadi asli (genuine) dan tulus (sincere). Ia tidak hanya berhenti pada
konsep, melainkan mewujud dalam praktik keseharian sebagai manifestasinya. Ada
satu kalimat yang saya temukan cukup viral di internet: yang nyata adalah
langka akhir-akhir ini (real is so rare
these days). Saya rasa itu ada benarnya. Mengapa? Karena saya banyak
menemukan orang-orang yang justru melepaskan realitas mereka hanya demi
segenggam ilusi. Setiap pasangan memiliki cara mereka sendiri dalam
memanifestasi konsep cinta yang mereka ciptakan. Bagi kami, manifestasi itu
sesederhana ‘berpijak pada sesuatu yang nyata’. Kami adalah diri kami sendiri
secara utuh dan orisinal ketika kami saling bersama. Kami memang memasang
berbagai persona dan menampilkan berbagai identitas ketika kami berhadapan
dengan orang lain. Namun ketika kami berada di hadapan satu sama lain, itulah
diri kami yang sebenarnya. Dengan segala kelebihan-kekurangan dan
kebaikan-keburukannya, kami menjadi diri sendiri, bukan ‘diri’ yang ingin
dilihat oleh orang lain; itulah bedanya antara ‘ilusi’ dan ‘kenyataan’. Jadi,
ya, demikian renungan Hari Valentine kali ini.
Tidak ada bunga. Tidak ada
cokelat. Tidak ada ucapan-ucapan superfisial. Tidak ada perwujudan cinta yang
artifisial. Kami menghabiskan Hari Valentine kami dengan cara yang sangat
‘kami’: mengikuti diskusi film, makan bersama, melewati panas dan hujan
berkendara dengan motor dari utara Jogja hingga ke timur lalu ke selatan lalu
kembali ke utara lagi. Sederhana namun nyata adanya. Dalam kesederhanaan itu,
kami belajar dan dewasa bersama. Dan bagi kami, itulah makna cinta. Jadi,
bagaimana Anda memaknai cinta?
Memang usia kita muda, namun cinta soal hati.
Biar mereka bicara, telinga kita terkunci.
Biar tahu, biar rasa, maka tersenyumlah, kasih.
Tetap langkah, jangan hentikan, cinta ini milik kita.
–Iwan Fals, Buku Ini Aku Pinjam
0 komentar