Segitiga Emas
Saya lahir pada tahun 1990, anak pertama dari pasangan muda yang menikah pada awal usia 20-an mereka. Tidak heran apabila masa pertumbuhan saya dipenuhi dengan ‘selera-selera’ orang tua saya, yang kemudian membentuk segala selera saya hingga sekarang, termasuk selera musik, apalagi selera bacaan. Ibu saya gemar membaca dan ia adalah seorang pengoleksi novel, membuat Mashita kecil mau tidak mau turut menikmati bacaan yang ia baca pula. Namun saya bersyukur atas itu, karena yang ibu saya kenalkan pada saya adalah bacaan-bacaan luar biasa karya Enid Blyton, Alfred Hitchcock, dan Agatha Christie. Saya menyebut mereka “segitiga emas”.
Enid Blyton adalah seorang penulis berkebangsaan Inggris yang terkenal
sebagai penulis cerita anak dan remaja yang sepanjang hidupnya telah
menghasilkan ratusan karya. Karya Enid yang saya nikmati adalah seri Lima
Sekawan (The Famous Five), seri Pasukan
Mau Tahu (The Five Find-Outers), seri
Sapta Siaga (The Secret Seven), dan
seri Malory Towers. Tiga seri pertama
merupakan seri detektif remaja yang puluhan bukunya telah tamat saya baca pada
periode Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama. Begitu juga dengan karya
Alfred Hitchcock (juga orang Inggris) yang saya ikuti pada waktu itu, yaitu seri Trio Detektif (Alfred Hitchcock and the Three Investigators).
(Pada waktu itu saya belum tahu bahwa Alfred adalah sutradara dan produser film
suspense dan psychological thriller terkenal.) Kesemuanya adalah kisah bergenre
petualangan detektif remaja yang penuh teka-teki, yang sanggup menenggelamkan
Mashita kecil dalam dunianya sendiri.
Begitu semua stok novel Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga,
dan Trio Detektif (bahkan Malory Towers
yang genrenya adalah drama remaja) sudah tamat saya baca, saya beralih pada
koleksi ibu saya yang lain, yaitu karya Agatha Christie (lagi-lagi ia pun orang Inggris). Mashita remaja mulai
berteman akrab dengan Miss Marple dan Hercule Poirot sejak saat itu. Saya ingat
betul pada waktu itu beberapa orang dewasa di sekitar saya memprotes, “[Novel
karya] Agatha Christie itu kan novel dewasa!” Namun saya diam saja dan tidak
menghiraukan kicauan mereka. Saya sudah kehabisan bahan bacaan pada waktu itu.
Ya, saya juga membaca komik Detektif Conan, tetapi membaca komik tidak memakan
waktu lebih dari satu jam. Hasrat saya akan cerita detektif kurang terpuaskan
hanya dengan komik yang memakan waktu beberapa minggu untuk menunggu hingga
edisi berikutnya terbit. Saya tidak sabar. Novel-novel Agatha berhasil
memuaskan dahaga saya.
Oke, tema hari ini adalah “inspirasiku”, yaitu tokoh(-tokoh) yang
memberi inspirasi bagi saya; dan seperti yang telah saya paparkan di atas,
mereka adalah segitiga emas Enid, Alfred, dan Agatha. Mengapa mereka
menginspirasi saya? Segitiga emas adalah pencerita yang ulung. Anda tidak akan
tahu bagaimana rasanya sampai Anda mencoba membaca sendiri karya-karya mereka. Apalagi
bagi seorang Mashita kecil yang pada waktu itu sudah mulai kurang terpuaskan
hasratnya hanya dengan majalah Bobo atau Donal Bebek. Walaupun sudah lebih dari
satu dekade berlalu sejak saya membaca karya-karya mereka, saya masih ingat
betul beberapa cerita yang memang sukses meninggalkan jejak dalam memori saya. Cerita
yang berkesan itu sebagian besar dimunculkan oleh plot-twist yang ada dalam cerita-cerita tersebut. Untuk kisah
anak-anak dan remaja, segitiga emas berhasil membuat cerita petualangan,
misteri, dan detektif yang mindblowing.
Bagaimana mereka menginspirasi saya? Melihat konteksnya pada waktu
itu, sebagai seorang anak yang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah
untuk membaca, karya-karya Enid, Alfred, dan Agatha memompa keberanian saya
untuk keluar dari rumah dan mencari petualangan saya sendiri. Mereka menjadi
teman saya ketika sendirian di rumah, serta menjadi motivasi saya ketika berada
di luar rumah bersama teman-teman saya. Berkat karya-karya mereka, saya yang introvert ini termotivasi untuk memiliki
beberapa teman dekat dan mencari petualangan kami sendiri. Saya bahkan berhasil
menularkan hobi membaca kepada teman-teman SD saya dulu. Melihat konteksnya
pada masa kini, memang saya tidak lantas menjadi penulis cerita misteri seperti
segitiga emas. Namun kisah detektif selalu menjadi favorit saya.
Bukan kisah anak-anak dan remaja namanya apabila tidak memuat pesan
moral. Begitu pula dengan karya-karya segitiga emas. Kalau saya pikir-pikir
lagi, mungkin kebiasaan saya untuk melihat morale
of the story dari setiap buku, film, atau serial televisi yang saya nikmati
berangkat dari sana. Ya, seperti teori psikoanalisisnya Freud. Karakter seseorang
dibentuk oleh pengalaman masa kecilnya. Karena terbiasa dengan kisah detektif
pula, saya terbiasa melakukan deduksi, yang kalau saya lihat-lihat lagi,
tercermin melalui cara saya menulis sesuatu; seperti sekarang ini juga. Saya melakukan
deduksi atas diri saya sendiri. Ya ampun.
0 komentar