Ketika Hujan November Mengamuk di Langit Jogja
Hari ini hujan tidak berhenti mengguyur Yogyakarta. Ada yang bilang
ini karena rangkaian badai (saya lupa namanya) yang tengah mampir dan
menjatuhkan hujan di sebagian besar Pulau Jawa. Kabarnya, banjir terjadi di
beberapa titik karena air sungai dan selokan meluap. Begitu pula dengan pohon
tumbang dan tanah longsor. Akibatnya, siang tadi saya terlambat datang rapat.
Akibatnya, hingga malam ini saya masih terjebak di kampus. Sementara itu, di
luar sana, hujan masih meraung; kali ini ditemani petir-petir dengan suaranya
yang gagah. Mungkin Thor sedang melakukan parade bersama Hulk di atas sana.
Alhasil, saya tidak tahu harus menulis apa untuk BBKU hari ini. Alhasil, satu
paragraf sudah saya habiskan untuk meracau soal cuaca hari ini.
23.14 WIB
Tulisan saya di kampus tadi terhenti karena pasangan saya menghubungi
dan kami terlibat dalam perbincangan seru. Tanpa terasa, kami mengobrol hingga
jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Saya harus pulang, meskipun saya harus
menerjang badai untuk sampai ke rumah. (Jessica, motor saya, tenggelam sampai
ke lutut di perempatan Jalan Kaliurang. Untung dia tidak ngambek. Jessica memang pengertian. Terima kasih, Jess. I love you....) Maka di sinilah saya,
dengan badan yang gatal-gatal karena alergi dingin saya kumat. Dan saya masih
belum tahu akan menulis soal apa. Alhasil, dua paragraf sudah saya habiskan
untuk menulis... apapun ini namanya. Yang jelas, saya lapar dan kepala saya
sakit bukan main. Saya tahu saya harus bangun pagi besok untuk urusan
pekerjaan, namun saya tahu saya belum boleh tidur kalau belum menulis. Sungguh
dilema. Seandainya dilema hidup selalu seperti ini; semudah antara
menyelesaikan tulisan atau pergi tidur saja.
23.22 WIB
Namun sayangnya dilema hidup tak selalu semudah ini. Beberapa waktu
lalu, misalnya, saya dipertemukan (tidak secara harfiah, tetapi memang jalan
hidup saya bersinggungan dengannya) dengan orang yang sangat bebal. Orang yang
saya teringat lagi karena obrolan saya dengan pasangan saya beberapa jam lalu. Ah,
kok saya menjadi malas ya
membicarakannya. Sepertinya hujan kali ini menyerap semua kemampuan menulis
saya. Sepertinya memang ini sudah memasuki ‘jam bodoh’ saya. Lebih baik saya
segera makan malam (yang sangat terlambat), menenggak satu pil Paramex, lalu
mencoba untuk tidur. Semoga ketika saya membuka mata nanti, hujan November
sudah berhenti mengamuk.
0 komentar