Barista Perempuan dan Hal-Hal yang Menginspirasi
Dalam banyak kesempatan saya kerap merasa lucu dengan rangkaian ‘kebetulan’ yang terjadi di hidup ini; alangkah lucunya cara semesta bekerja. Kebetulan beberapa hari yang lalu saya dan pasangan saya berkunjung ke sebuah agrowisata yang terletak di daerah utara Yogyakarta, bernama Bhumi Merapi. Kunjungan tersebut adalah kali kedua kami ke sana, setelah sebelumnya tepat pada bulan November tahun lalu kami ke sana untuk pertama kalinya. Tempat itu sudah berkembang cukup pesat. Kami suka sekali tempat wisata semacam itu. bukan hanya tempat di mana kami bisa menikmati pemandangan indah dan berfoto ria, melainkan tempat di mana kami bisa belajar mengenai lingkungan hidup, beternak, berkebun, dan membangun usaha mandiri melalui hal-hal tersebut. Ketika sudah lelah berkeliling dan menyapa kelinci, kambing, kuda, dan hewan-hewan lain yang ada di sana, kami beristirahat di kafetaria.
Ketika itulah pasangan saya menunjukkan sebuah video dokumenter dari YouTube tentang cerita seorang pengusaha
dari Jepang yang mengembangkan bisnis kopi di Sri Lanka. Ketika saya tahu bahwa
tema tulisan hari ini mengenai budaya minum kopi dan barista perempuan, saya langsung teringat pada video tersebut.
Mengapa? Karena yang dilakukan oleh Shinichiro Yoshimori di Sri Lanka membuka
peluang bagi pemberdayaan perempuan di negeri tersebut. Bagaimana? Sistem patriarki
di Sri Lanka masih mengakar kuat. Perempuan tidak diberikan, atau tidak
dipercaya, untuk mengisi posisi-posisi strategis di masyarakat, terutama dalam
hal pekerjaan. Termasuk untuk jenis-jenis pekerjaan yang mengharuskan mereka
untuk berinteraksi langsung dengan pelanggan, seperti barista pada kedai-kedai kopi.
Melalui usaha sirkulasi produksi kopinya di Sri Lanka, Yoshimori
dengan sengaja menerapkan aturan bahwa mayoritas pekerja adalah perempuan,
terutama pada kedai kopi yang menjadi satu bagian penting dari sirkulasi bisnis
tersebut. Untuk pertama kalinya di Sri Lanka, perempuan menjadi barista dan memiliki pekerjaan di mana
mereka dapat berinteraksi langsung dengan para pelanggan. Di satu sisi, yang
dilakukan Yoshimori adalah terobosan bagi pemberdayaan perempuan di sana. Mereka
diberi panggung untuk tampil. Mereka tidak hanya bekerja, melainkan juga
belajar keahlian-keahlian yang mereka butuhkan untuk pekerjaan mereka sebagai barista. Mereka juga mendapatkan
pelatihan-pelatihan untuk keahlian pendukung, seperti kemampuan untuk melakukan
presentasi, public speaking, hospitality, dan client handling. Bahkan Yoshimori tidak menutup kemungkinan bagi
para pegawai perempuan tersebut untuk mengembangkan menu buatan mereka sendiri.
Di sisi lain, apa yang dilakukan Yoshimori bisa jadi hanya dalih untuk
mendapatkan pegawai dengan gaji yang lebih murah dibandingkan dengan para
pekerja pria. Namun saya kurang tahu tepatnya karena hal tersebut tidak dibahas
lebih lanjut dalam video. Terlepas dari ‘maksud lain’ yang dimiliki Yoshimori,
apa yang ia lakukan di Sri Lanka memberi ruang bagi perempuan untuk tidak hanya
berekspresi, melainkan juga memperoleh pendapatan secara mandiri. Proses pemberian
ruang itu sendiri, bagi sebuah negara seperti Sri Lanka, adalah sebuah
terobosan bagi pemberdayaan perempuan. Lalu bagaimana dengan di Indonesia?
Kondisi pemberdayaan perempuan di negeri ini tidak seburuk di Sri Lanka. Maka,
seharusnya peluang bagi perempuan di negeri ini untuk menjadi seorang barista jauh lebih besar dibandingkan
perempuan di Sri Lanka. Namun setiap kali saya berkunjung ke kedai kopi, saya
melihat bahwa profesi barista masih
didominasi oleh kaum pria.
Baru kemarin ini saya berkunjung ke sebuah kedai kopi terkenal yang
terletak di wilayah utara Yogyakarta, bernama Filosofi Kopi. Di sana, saya
melihat perbandingan antara barista
perempuan dan barista laki-laki
adalah 2:8. Di tempat-tempat lain yang pernah saya kunjungi pun, meskipun
terlihat satu atau dua barista
perempuan, masih terlihat lebih banyak barista
laki-laki yang ada di sana. Saya kemudian teringat pada sebuah serial drama
Korea Selatan yang dibintangi oleh Gong Yoo dan Yoon Eun Hye, berjudul “The 1st Shop of Coffee Prince” (2007),
di mana karakter utama wanita sengaja menyamar menjadi seorang laki-laki untuk
menjadi barista di sebuah kedai kopi.
Saya jadi berpikir, jangan-jangan, kondisi pemberdayaan perempuan dalam bidang
per-barista-an ini sama saja di
mana-mana. Dengan kata lain, perempuan masih belum sepenuhnya dipercaya untuk
memegang posisi strategis dalam industri kedai kopi. Ah, lagi-lagi sistem
patriarki.
Menurut deskripsi tema hari ini, dituliskan bahwa kecenderungan posisi barista perempuan telah meningkat di kedai-kedai kopi di Yogyakarta. Mungkin dari yang sebelumnya tidak ada sama sekali menjadi ada satu atau dua orang di setiap kedai kopi. Dari sisi pengusaha, sepertinya mereka telah mulai mencoba memercayai perempuan untuk posisi strategis tersebut. Dari sisi perempuan sendiri, sepertinya telah mulai banyak dari kita yang terinspirasi dan termotivasi untuk mencoba berprofesi sebagai barista; bisa jadi karena menonton video Yoshimori, atau serial “The 1st Shop of Coffee Prince”, atau membaca novel dan menonton film “Filosofi Kopi”, atau hanya sekadar mengikuti tren masa kini, atau mencari ilmu dan pengalaman sebagai bekal untuk membuka kedai kopi sendiri suatu saat nanti, atau mencari penghasilan, atau untuk memikat kaum pria, atau bahkan mencari jodoh sesama barista. Apapun sumber inspirasi dan motivasinya, menurut saya hal tersebut adalah hal yang patut diapresiasi. Saya suka melihat barista perempuan. Menurut saya, mereka terlihat seksi dengan celemek khas barista yang mereka kenakan.
Hidup sebagai perempuan memang menarik. Apalagi di dunia yang
didominasi oleh sistem patriarki sebagai pandangan umum yang berlaku ini. Selalu
saja ada topik yang dapat dibahas setiap kali kita melakukan sesuatu. Menjadi suatu
hal yang umum dan seolah tidak membutuhkan pembahasan lebih lanjut ketika
laki-laki berprofesi sebagai koki, desainer pakaian, atau pekerja salon
kecantikan. Namun selalu menjadi hal yang disorot dan seolah membutuhkan ulasan
terus-menerus ketika perempuan berprofesi sebagai sopir, tukang listrik, atau
nelayan. Bahkan sesama perempuan sendiri masih sering meragukan performa satu
sama lain; sungguh miris. Oh, saya senang apabila berkunjung ke kedai kopi dan
dilayani oleh barista yang tampan. Namun
saya tak kalah senangnya ketika dilayani oleh barista yang cantik. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, barista perempuan itu seksi. Bersemangatlah! Tak perlu menyamar menjadi pria untuk mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan.
0 komentar