Saya selalu mudah melupakan sesuatu. Terkadang sesuatu tersebut
merupakan hal yang sederhana, seperti misalnya di mana tepatnya letak saya
memarkir motor. Pasangan saya pun demikian. Baru hari Rabu kemarin ketika ada
perayaan wisuda S1 di UGM, saya dan pasangan saya harus berkali-kali mengitari
kompleks perumahan Bulaksumur untuk mencari di mana kami memarkir mobil. Pada waktu
itu kami benar-benar merasa bodoh; seperti kinerja otak kami telah melambat.
(Mengapa kami tidak mencatat atau memotret lokasi di mana kami memarkir mobil? Padahal
kami tahu bahwa kami pelupa.) Apakah itu merupakan akibat dari terlalu banyak
mengonsumsi ‘micin’? Apakah kami merupakan bagian dari ‘generasi micin’?
Percaya atau tidak, kata ‘micin’ yang menjadi tema tulisan hari ini
tidak terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Saya tidak tahu
tepatnya sejak kapan dan siapa yang pertama kali mencetuskan, tetapi istilah ‘micin’
digunakan untuk menyebut penyedap rasa (monosodium
glutamat, atau yang terkenal dengan singkatannya, MSG) yang sering
dicampurkan ke dalam masakan supaya rasa makanan menjadi lebih gurih. MSG ini,
meskipun terasa lezat, rupanya banyak kabar beredar bahwa MSG tidak baik untuk
kesehatan. Bahkan, ada mitos yang diceritakan secara turun-menurun dari
generasi ke generasi bahwa MSG membuat otak bekerja lebih lambat, alias bodoh. Mitos
tersebut menjadi dasar digunakannya istilah ‘micin’ untuk menyebut generasi
masa kini, karena dianggap mengalami degenerasi dibandingkan generasi
sebelumnya.
Pertanyaan saya yang pertama adalah: apakah MSG benar-benar berpengaruh
pada melambatnya kinerja otak? Melalui penelusuran yang saya lakukan, saya
menemukan bahwa sebenarnya penggunaan MSG dalam bahan makanan adalah tidak
berbahaya, selama dosisnya tidak berlebihan. MSG, meskipun merupakan bahan
kimia, sesungguhnya mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh, terutama
setelah ia terurai dan diolah selama proses pencernaan. Sedangkan dalam
kaitannya dengan kinerja otak, MSG memang mengandung glutamat, yang apabila kadarnya sangat berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan pada otak.
Namun, glutamat tidak hanya
terkandung dalam MSG saja. Selain itu, glutamat
juga masih dibutuhkan dalam metabolisme energi dan protein di otak. Oleh karena
itu, saya bisa menarik kesimpulan bahwa “segala yang berlebihan itu tidak baik”.
Jadi, yang cukup-cukup saja. Apakah MSG benar-benar berpengaruh pada
melambatnya kinerja otak? Bukan MSG tepatnya, melainkan glutamat, yang kandungan tertingginya dapat ditemukan justru pada
bahan makanan selain MSG, yaitu contohnya keju, jagung, dan kacang polong. Sehingga,
tidak ada bukti yang sahih yang menyatakan bahwa MSG memengaruhi lambatnya
kinerja otak.
Setelah menemukan bahwa “MSG membuat pengonsumsinya menjadi bodoh
adalah mitos”, maka saya terpikir pada pertanyaan kedua: apakah benar bahwa
generasi muda masa kini adalah ‘generasi micin’? Penggunaan kata ‘micin’ dalam
istilah tersebut saja, bagi saya, sudah menimbulkan pertanyaan. Apabila ‘micin’
tidak benar-benar membuat pengonsumsinya menjadi lebih bodoh, lantas mengapa
istilah tersebut digunakan untuk menyebut suatu generasi yang dianggap
mengalami kemunduran? Sepertinya hal tersebut justru menjadi penanda bahwa
generasi yang mencetuskan sebutan ‘generasi micin’ itu sendiri sedang mengalami
degradasi. Sebutan ‘generasi micin’ adalah monumen yang merupakan tanda atas
kemunduran cara berpikir. Lebih miris lagi, pencetus, penyebar, dan pengguna
sebutan tersebut selayaknya disebut sebagai ‘generasi mitos’, karena mudah
percaya pada mitos tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu.
Pertanyaan ketiga adalah: apakah benar generasi muda masa kini
mengalami degradasi? Saya rasa, ‘degradasi’ itu sendiri adalah kata yang
terlalu kuat untuk digunakan (meskipun saya sendiri yang memilihnya untuk
tulisan ini). Apakah benar generasi muda masa kini menjadi lebih bodoh
dibandingkan dengan generasi sebelumnya? Saya berani menjawab tidak. Mengapa? Pertama,
kondisi zaman sudah berubah; kita semua harus mengakui dan menerima itu. Hanya
karena generasi yang lebih muda tumbuh dengan segala fasilitas yang memudahkan
mereka, bukan berarti mereka lantas menjadi lebih bodoh dibandingkan dengan
generasi yang lebih tua. Kedua, bodoh atau tidak itu relatif, bahkan sangat
relatif. Sehingga menggeneralisasi bahwa generasi muda masa kini mengalami
kemunduran bukan merupakan sesuatu yang layak.
Setiap kondisi zaman memiliki tantangannya masing-masing. Tumbuh
dan hidup dengan berbagai fasilitas yang hadir berkat kemajuan teknologi tidak
lantas membebaskan generasi yang lebih muda itu dari beban dan tanggungan
hidup. Apalagi, beberapa paradigma dalam masyarakat tidak banyak mengalami
perubahan, bahkan tetap mengakar kuat dalam sistem sosial dan kultural,
contohnya patriarki dan kelas sosial. Bahkan dalam beberapa kasus, kemajuan
teknologi justru semakin mengokohkan sistem sosial dan kultural tersebut. Kondisi
dan tantangan yang beragam tersebut tentunya menyebabkan generasi setiap zaman
memiliki karakternya sendiri dalam mengatasi masalah. Jadi, saya berani
berpendapat bahwa: tidak, generasi muda masa kini tidak mengalami degradasi,
melainkan hanya berbeda dari generasi sebelumnya. Dan perbedaan tidak selalu buruk.
Sewaktu ibu saya masih berkuliah dulu, ia harus mengerjakan skripsinya
menggunakan mesin tik. Tentu saja pembuatan skripsi tersebut menghabiskan biaya
yang tidak sedikit, karena setiap kali ibu saya melakukan salah ketik, ia harus
mengganti seluruh kertas dengan yang baru. Selain itu, proses pengetikan bisa
memakan waktu hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Sementara itu, saya
mengerjakan skripsi saya dulu menggunakan laptop. Dari segi waktu pengetikan,
ya, saya memiliki waktu yang lebih cepat. Dari segi biaya, belum tentu biaya
yang saya keluarkan lebih sedikit dibandingkan dengan ibu saya, karena nilai
mata uang pada masa dulu dan sekarang saja sudah berbeda, apalagi bila
memperhitungkan biaya untuk membeli dan merawat laptop serta printer.
Kemudian ada anggapan bahwa, “Anak zaman sekarang seharusnya bisa
lebih cepat mengerjakan skripsi, kan
lebih mudah mendapatkan buku, apalagi ada e-book
dan sumber-sumber referensi lainnya yang bisa didapatkan secara gratis dan
cepat melalui internet. Sayangnya anak zaman sekarang itu malas membaca karena
mudah mendapatkan sumbernya.” Kemudahan mendapatkan referensi tidak menjadi
standar utama bagi kecepatan mengerjakan skripsi. Mungkin benar bahwa beberapa
orang dari generasi zaman sekarang malas membaca, tetapi bukankah beberapa
orang dari generasi zaman dulu juga ada yang malas membaca? Di sisi lain, bagi beberapa
orang dari generasi zaman sekarang yang rajin membaca, mereka justru kewalahan
dengan kemudahan mendapatkan referensi, karena itu berarti mereka harus membaca
dan memahami lebih banyak, yang mana berimbas pada proses pengerjaan yang
membutuhkan waktu yang lebih lama.
Paparan di atas hanya merupakan gambaran dari perbedaan tantangan yang
dihadapi oleh setiap generasi. Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menyatakan
rasa bingung saya atas hal yang aneh. Apabila (seperti mitos yang beredar) ‘micin’
identik sebagai zat yang membuat pengonsumsinya menjadi bodoh, lalu mengapa
generasi muda masa kini sepertinya pasrah-pasrah saja disebut sebagai ‘generasi
micin’? Apakah mereka yang terlalu banyak bercanda, atau saya saja yang terlalu
serius menjalani hidup? Atau, apakah sebenarnya mereka sudah tahu bahwa ‘micin’
tidak benar-benar membuat mereka bodoh? Ya, sepertinya memang saya yang terlalu
serius menjalani hidup.