• Home
  • Download
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Social
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Entertainment
  • Travel
  • Contact Us

footer logo

pieces of me




Pada suatu hari libur yang cerah, Athena sedang membaca sebuah buku di bawah pohon durian ketika sepupunya, Aphrodite, yang baru saja pulang dari salon mendatanginya.
“Na, hari libur begini kok kamu masih baca buku saja sih? Kalau baca buku terus, kapan kamu bisa dapat pacar? Mending ikut aku saja yuk ke mall! Siapa tahu kamu bisa dapat pacar di sana.”
Athena baru tahu kalau ternyata di mall ada toko yang menjual pacar. Bagi seorang dewi ilmu pengetahuan seperti dia, pengetahuan baru itu mengejutkannya. Ia sudah akan menyetujui ajakan Aphrodite karena terdorong oleh rasa penasaran akan toko pacar tersebut, ketika ia teringat pada suatu hal.
“Tapi aku tidak punya uang, Dit.”
Aphrodite memutar bola matanya. “Justru itulah gunanya kamu mencari pacar. Supaya tidak perlu pusing lagi kalau sedang tidak punya uang.”
Athena baru tahu kalau ternyata pacar yang dijual di mall tidak dibeli memakai uang, justru malah bisa memberi solusi atas dompet tipis Athena. Lagi-lagi pengetahuan itu mengejutkannya. Sebagai seorang dewi ilmu pengetahuan, ia merasa bodoh. Untuk apa aku membaca? Tidak penting. Tidak ada artinya. Percuma. Tidak akan membuatku kaya. Tidak akan membuatku kenyang. Lebih baik aku mencari pacar.
“Baiklah. Aku ikut denganmu.”
Aphrodite bersorak riang. Athena mengemasi bukunya. Mereka berdua pergi dengan riang gembira, meninggalkan pohon durian yang termangu sendirian.
Wrote by Mashita Fandia



Hari ini, meskipun tidak separah kemarin, hujan masih betah mengamuk di langit Yogyakarta. Sore tadi, senior sekaligus rekan kerja sekaligus mantan dosen saya menceritakan mobilnya yang tertimpa batang pohon yang roboh akibat hujan deras dan angin kencang di area kampus. Dan kejadiannya berlangsung ketika ia sedang mengendarai mobil tersebut. Sungguh mengejutkan, bukan? Saya tidak bisa membayangkan apabila berada dalam posisi dia. Pasti saya langsung kaget dan salah-salah berakhir di rumah sakit atau bengkel karena menabrak trotoar atau pohon lain. Lalu, belum lagi untuk membayangkan biaya perawatan diri (apabila masuk rumah sakit) dan mobil (apabila masuk bengkel), rasanya sangat menyedihkan. Namun, mantan dosen saya itu menceritakan semuanya sembari tertawa-tawa. Saya, meskipun merasa heran apa yang lucu dari kejadian tersebut, akhirnya ikut tertawa karena dua orang teman saya (yang seruangan dengan kami dan turut mendengar cerita itu) juga tertawa.
Ternyata, mantan dosen saya itu tertawa karena itu bukanlah kali pertama ia mengalami hal serupa. Hampir setiap kali musim hujan deras seperti ini, mobilnya pasti menjadi korban batang pohon yang berjatuhan. Mungkin memang benar apa yang pernah dikatakan Charlie Chaplin, bahwa hidup adalah tragedi ketika kita melihatnya dari jarak dekat, sedangkan ia adalah komedi ketika kita melihatnya dari jarak jauh. Tema hari ini, ‘lelucon’, adalah bagian dari komedi, yaitu adalah suatu tindakan atau perkataan yang lucu, setidaknya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sementara ‘lucu’, masih menurut KBBI, adalah sesuatu yang menggelikan hati atau membuat tertawa. Baiklah. Sampai di sini, saya berpikir bahwa apa yang membuat hati seseorang geli atau apa yang membuat seseorang tertawa bisa jadi berbeda-beda bagi setiap orang. Apa yang lucu bagi saya belum tentu lucu bagi Anda. Begitu juga sebaliknya. Maka dari itu, tema tulisan hari ini membuat saya berpikir: apakah lelucon selayaknya memiliki struktur dan etika yang paten?

Sumber: mojok.co

Saya tidak akan berbicara mengenai lelucon yang dilakukan oleh para pelawak profesional atau amatir yang tampil pada acara televisi, program radio, panggung stand-up comedy, atau pertunjukan-pertunjukan lainnya. Saya akan bicara dalam konteks keseharian kita berelasi dengan manusia baik secara personal maupun sosial. Mau tidak mau tema ini membuat saya berkontemplasi. Seringnya, saya mendapati bahwa sebagian orang tidak paham dengan lelucon yang saya ucapkan (atau tuliskan). Hal itu disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah perbedaan perspektif. Begitu pula ketika saya tertawa akan suatu lelucon yang bagi sebagian orang dianggap tidak lucu. Perbedaan perspektif disebut juga memiliki banyak faktor, seperti misalnya frame of reference (FOR) dan frame of experience (FOE). Oleh karena itu, kita mengenal adalah istilah ‘inside jokes’, di mana orang yang memiliki FOR dan FOE yang sama, kemudian dapat melihat sebuah lelucon dari perspektif yang sama, sehingga bagi mereka, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah lelucon.
Saya dan pasangan saya adalah contoh manusia-manusia yang berada dalam FOR dan FOE yang sama, sehingga kami dapat melihat lelucon melalui bingkai perspektif yang sama. Kami suka sekali dengan lelucon yang satire dan berbau sindiran. Apalagi jika sudah menyangkut perihal politik, ormas, fanatik agamais, ekstrem nasionalis, dan sebagainya. Merupakan hal yang disayangkan namun sangat wajar ketika tidak semua orang yang kami temui berada pada satu halaman yang sama dengan kami. Seringnya, komedi satire membuat orang sakit hati, bahkan merasa marah. Pada tataran ini, saya bisa memaklumi karena marah adalah reaksi natural manusia ketika dihadapkan pada kejujuran yang tidak sanggup ia terima, karena saking jeleknya kejujuran tersebut. Padahal, sebagian besar komedi satire adalah gambaran atas kejujuran yang pahit.


"Kalau kata orang Jawa, Indonesia ini punya banyak stok penduduk penganut aliran STNK, Sholat Terus Nanging Korupsi." Atau mungkin, Sholat Terus Nanging Kentha-Kenthu, eh. | Sumber: mojok.co

Seperti kata seorang penulis, Horace Walpole, bahwa dunia ini adalah tragedi bagi mereka yang merasa (feel), sedangkan ia adalah komedi bagi mereka yang berpikir (think). Seringnya, dalam menghadapi komedi satire, kebanyakan orang justru mendahulukan perasaan mereka dibandingkan otak mereka; mendahulukan yang irasional daripada yang rasional. Sehingga mereka mudah menjadi tersinggung atas komedi satire tersebut. Andai saja sebelum terpancing emosi dan merasa marah, mereka berkenan untuk berpikir sejenak, maka mereka akan tersadar dan tercerahkan bahwa segala sesuatunya sebenarnya hanyalah komedi belaka. Mereka akan melihat kembali pada komedi satire yang dilemparkan kepada mereka dan tertawa, sembari berkata, “Ah, betapa lucunya diriku. Ternyata aku begitu bodoh. Bodoh yang merasa pintar. Merasa pintar, bodoh saja tak punya.” (Kalimat terakhir barusan saya kutip dari sebuah judul buku karya Rusdi Mathari.)
Lelucon yang lucu atau tidak lucu, semua tergantung melalui perspektif apa kita melihatnya. Bisa jadi, lelucon yang kita miliki sekarang merupakan hasil olahan dari pengalaman masa lalu kita, yang mana, hal yang kini menjadi lelucon itu adalah hal yang kita tangisi pada konteks kejadian masa lalu tersebut. Ya, dalam jangka waktu tertentu, sebuah tragedi dapat menjadi komedi. Maka dari itu, jangan terlampau terpuruk ketika kita sedang dirundung tragedi. Yakinlah bahwa suatu saat nanti hal itu akan menjadi komedi ketika kita melihatnya ke belakang nanti. Tak perlu berpura-pura bahagia apabila kita memang merasa tidak bahagia. Sikap yang hipokrit tidak akan membawa kita ke mana-mana selain pada delusi. Kejujuran pada diri sendiri adalah langkah awal untuk melihat semesta ini dari perspektif komedi. Dan kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah bentuk pendewasaan yang hakiki. Kita semua hidup dalam rangkaian komedi... atau tragedi; semua hanya tergantung perspektif saja. Dan Tuhan, ya, Tuhan memang Maha Bercanda.
Wrote by Mashita Fandia


19.54 WIB
Hari ini hujan tidak berhenti mengguyur Yogyakarta. Ada yang bilang ini karena rangkaian badai (saya lupa namanya) yang tengah mampir dan menjatuhkan hujan di sebagian besar Pulau Jawa. Kabarnya, banjir terjadi di beberapa titik karena air sungai dan selokan meluap. Begitu pula dengan pohon tumbang dan tanah longsor. Akibatnya, siang tadi saya terlambat datang rapat. Akibatnya, hingga malam ini saya masih terjebak di kampus. Sementara itu, di luar sana, hujan masih meraung; kali ini ditemani petir-petir dengan suaranya yang gagah. Mungkin Thor sedang melakukan parade bersama Hulk di atas sana. Alhasil, saya tidak tahu harus menulis apa untuk BBKU hari ini. Alhasil, satu paragraf sudah saya habiskan untuk meracau soal cuaca hari ini.

23.14 WIB
Tulisan saya di kampus tadi terhenti karena pasangan saya menghubungi dan kami terlibat dalam perbincangan seru. Tanpa terasa, kami mengobrol hingga jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Saya harus pulang, meskipun saya harus menerjang badai untuk sampai ke rumah. (Jessica, motor saya, tenggelam sampai ke lutut di perempatan Jalan Kaliurang. Untung dia tidak ngambek. Jessica memang pengertian. Terima kasih, Jess. I love you....) Maka di sinilah saya, dengan badan yang gatal-gatal karena alergi dingin saya kumat. Dan saya masih belum tahu akan menulis soal apa. Alhasil, dua paragraf sudah saya habiskan untuk menulis... apapun ini namanya. Yang jelas, saya lapar dan kepala saya sakit bukan main. Saya tahu saya harus bangun pagi besok untuk urusan pekerjaan, namun saya tahu saya belum boleh tidur kalau belum menulis. Sungguh dilema. Seandainya dilema hidup selalu seperti ini; semudah antara menyelesaikan tulisan atau pergi tidur saja.

23.22 WIB
Namun sayangnya dilema hidup tak selalu semudah ini. Beberapa waktu lalu, misalnya, saya dipertemukan (tidak secara harfiah, tetapi memang jalan hidup saya bersinggungan dengannya) dengan orang yang sangat bebal. Orang yang saya teringat lagi karena obrolan saya dengan pasangan saya beberapa jam lalu. Ah, kok saya menjadi malas ya membicarakannya. Sepertinya hujan kali ini menyerap semua kemampuan menulis saya. Sepertinya memang ini sudah memasuki ‘jam bodoh’ saya. Lebih baik saya segera makan malam (yang sangat terlambat), menenggak satu pil Paramex, lalu mencoba untuk tidur. Semoga ketika saya membuka mata nanti, hujan November sudah berhenti mengamuk.
Wrote by Mashita Fandia



Dalam banyak kesempatan saya kerap merasa lucu dengan rangkaian ‘kebetulan’ yang terjadi di hidup ini; alangkah lucunya cara semesta bekerja. Kebetulan beberapa hari yang lalu saya dan pasangan saya berkunjung ke sebuah agrowisata yang terletak di daerah utara Yogyakarta, bernama Bhumi Merapi. Kunjungan tersebut adalah kali kedua kami ke sana, setelah sebelumnya tepat pada bulan November tahun lalu kami ke sana untuk pertama kalinya. Tempat itu sudah berkembang cukup pesat. Kami suka sekali tempat wisata semacam itu. bukan hanya tempat di mana kami bisa menikmati pemandangan indah dan berfoto ria, melainkan tempat di mana kami bisa belajar mengenai lingkungan hidup, beternak, berkebun, dan membangun usaha mandiri melalui hal-hal tersebut. Ketika sudah lelah berkeliling dan menyapa kelinci, kambing, kuda, dan hewan-hewan lain yang ada di sana, kami beristirahat di kafetaria.
Ketika itulah pasangan saya menunjukkan sebuah video dokumenter dari YouTube tentang cerita seorang pengusaha dari Jepang yang mengembangkan bisnis kopi di Sri Lanka. Ketika saya tahu bahwa tema tulisan hari ini mengenai budaya minum kopi dan barista perempuan, saya langsung teringat pada video tersebut. Mengapa? Karena yang dilakukan oleh Shinichiro Yoshimori di Sri Lanka membuka peluang bagi pemberdayaan perempuan di negeri tersebut. Bagaimana? Sistem patriarki di Sri Lanka masih mengakar kuat. Perempuan tidak diberikan, atau tidak dipercaya, untuk mengisi posisi-posisi strategis di masyarakat, terutama dalam hal pekerjaan. Termasuk untuk jenis-jenis pekerjaan yang mengharuskan mereka untuk berinteraksi langsung dengan pelanggan, seperti barista pada kedai-kedai kopi.
Melalui usaha sirkulasi produksi kopinya di Sri Lanka, Yoshimori dengan sengaja menerapkan aturan bahwa mayoritas pekerja adalah perempuan, terutama pada kedai kopi yang menjadi satu bagian penting dari sirkulasi bisnis tersebut. Untuk pertama kalinya di Sri Lanka, perempuan menjadi barista dan memiliki pekerjaan di mana mereka dapat berinteraksi langsung dengan para pelanggan. Di satu sisi, yang dilakukan Yoshimori adalah terobosan bagi pemberdayaan perempuan di sana. Mereka diberi panggung untuk tampil. Mereka tidak hanya bekerja, melainkan juga belajar keahlian-keahlian yang mereka butuhkan untuk pekerjaan mereka sebagai barista. Mereka juga mendapatkan pelatihan-pelatihan untuk keahlian pendukung, seperti kemampuan untuk melakukan presentasi, public speaking, hospitality, dan client handling. Bahkan Yoshimori tidak menutup kemungkinan bagi para pegawai perempuan tersebut untuk mengembangkan menu buatan mereka sendiri.



Di sisi lain, apa yang dilakukan Yoshimori bisa jadi hanya dalih untuk mendapatkan pegawai dengan gaji yang lebih murah dibandingkan dengan para pekerja pria. Namun saya kurang tahu tepatnya karena hal tersebut tidak dibahas lebih lanjut dalam video. Terlepas dari ‘maksud lain’ yang dimiliki Yoshimori, apa yang ia lakukan di Sri Lanka memberi ruang bagi perempuan untuk tidak hanya berekspresi, melainkan juga memperoleh pendapatan secara mandiri. Proses pemberian ruang itu sendiri, bagi sebuah negara seperti Sri Lanka, adalah sebuah terobosan bagi pemberdayaan perempuan. Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Kondisi pemberdayaan perempuan di negeri ini tidak seburuk di Sri Lanka. Maka, seharusnya peluang bagi perempuan di negeri ini untuk menjadi seorang barista jauh lebih besar dibandingkan perempuan di Sri Lanka. Namun setiap kali saya berkunjung ke kedai kopi, saya melihat bahwa profesi barista masih didominasi oleh kaum pria.
Baru kemarin ini saya berkunjung ke sebuah kedai kopi terkenal yang terletak di wilayah utara Yogyakarta, bernama Filosofi Kopi. Di sana, saya melihat perbandingan antara barista perempuan dan barista laki-laki adalah 2:8. Di tempat-tempat lain yang pernah saya kunjungi pun, meskipun terlihat satu atau dua barista perempuan, masih terlihat lebih banyak barista laki-laki yang ada di sana. Saya kemudian teringat pada sebuah serial drama Korea Selatan yang dibintangi oleh Gong Yoo dan Yoon Eun Hye, berjudul “The 1st Shop of Coffee Prince” (2007), di mana karakter utama wanita sengaja menyamar menjadi seorang laki-laki untuk menjadi barista di sebuah kedai kopi. Saya jadi berpikir, jangan-jangan, kondisi pemberdayaan perempuan dalam bidang per-barista-an ini sama saja di mana-mana. Dengan kata lain, perempuan masih belum sepenuhnya dipercaya untuk memegang posisi strategis dalam industri kedai kopi. Ah, lagi-lagi sistem patriarki.


Dalam serial "The 1st Shop of Coffee Prince" (2007), aktris Yoon Eun Hye (tengah), berperan sebagai Go Eun Chan, perempuan yang menyamar menjadi laki-laki untuk menjadi seorang barista di sebuah kedai kopi. | Sumber: www.dramafever.com

Menurut deskripsi tema hari ini, dituliskan bahwa kecenderungan posisi barista perempuan telah meningkat di kedai-kedai kopi di Yogyakarta. Mungkin dari yang sebelumnya tidak ada sama sekali menjadi ada satu atau dua orang di setiap kedai kopi. Dari sisi pengusaha, sepertinya mereka telah mulai mencoba memercayai perempuan untuk posisi strategis tersebut. Dari sisi perempuan sendiri, sepertinya telah mulai banyak dari kita yang terinspirasi dan termotivasi untuk mencoba berprofesi sebagai barista; bisa jadi karena menonton video Yoshimori, atau serial “The 1st Shop of Coffee Prince”, atau membaca novel dan menonton film “Filosofi Kopi”, atau hanya sekadar mengikuti tren masa kini, atau mencari ilmu dan pengalaman sebagai bekal untuk membuka kedai kopi sendiri suatu saat nanti, atau mencari penghasilan, atau untuk memikat kaum pria, atau bahkan mencari jodoh sesama barista. Apapun sumber inspirasi dan motivasinya, menurut saya hal tersebut adalah hal yang patut diapresiasi. Saya suka melihat barista perempuan. Menurut saya, mereka terlihat seksi dengan celemek khas barista yang mereka kenakan.
Hidup sebagai perempuan memang menarik. Apalagi di dunia yang didominasi oleh sistem patriarki sebagai pandangan umum yang berlaku ini. Selalu saja ada topik yang dapat dibahas setiap kali kita melakukan sesuatu. Menjadi suatu hal yang umum dan seolah tidak membutuhkan pembahasan lebih lanjut ketika laki-laki berprofesi sebagai koki, desainer pakaian, atau pekerja salon kecantikan. Namun selalu menjadi hal yang disorot dan seolah membutuhkan ulasan terus-menerus ketika perempuan berprofesi sebagai sopir, tukang listrik, atau nelayan. Bahkan sesama perempuan sendiri masih sering meragukan performa satu sama lain; sungguh miris. Oh, saya senang apabila berkunjung ke kedai kopi dan dilayani oleh barista yang tampan. Namun saya tak kalah senangnya ketika dilayani oleh barista yang cantik. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, barista perempuan itu seksi. Bersemangatlah! Tak perlu menyamar menjadi pria untuk mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan.
Wrote by Mashita Fandia



Sudah berhari-hari kota Yogyakarta diguyur hujan. Dalam cuaca yang semacam ini, saya selalu mudah dirundung rasa malas, termasuk rasa malas untuk beranjak keluar dari kamar tidur. Bahkan untuk keluar dari kamar dengan tujuan untuk mengisi perut saya yang kosong saja saya merasa malas. Alhasil, saat ini saya merasa sangat lapar. Alih-alih mengambil makanan dan melahapnya untuk menyelesaikan persoalan perut saya ini, saya memilih untuk tetap berada di dalam kamar dan mengetik tulisan ini. Terus terang saya tidak tahu harus menulis apa untuk BBKU hari ini. Namun rasa lapar yang amat sangat ini menginspirasi saya untuk menulis tentang daftar lagu yang saya dengarkan ketika rasa lapar melanda.

Glenn Fredly, Monita & Is – Filosofi dan Logika
Teringat lagu ini setelah berkunjung ke kedai kopi Filosofi Kopi tadi sore. Saya kira (kalau saya tidak salah ingat) Mark Twain, penulis terkenal itu, yang pernah bilang bahwa ada dua hari yang paling berarti bagi manusia, yaitu hari ketika mereka lahir dan hari ketika mereka tahu mengapa mereka lahir ke dunia. Ya, hidup itu (kalau menurut Twain) adalah untuk mencari makna. Termasuk ketika mereka dipertemukan dengan berbagai manusia lainnya dan menemukan makna atas kehadiran mereka dalam hidup, yang bisa jadi sementara atau selamanya. Terkadang, logika yang kita punya dibenturkan oleh logika dari orang-orang lain, yang bisa jadi menurut kita adalah suatu bentuk dari kegagalan logika yang memuakkan. Terkadang, ego kita digempur oleh ego orang-orang lain, yang membuat kita belajar, bahwa mengalah bukan berarti kalah; karena memang, beberapa orang terlahir dengan tingkat kebebalan tertentu untuk mau belajar dan mendengarkan nurani mereka, serta lebih memilih untuk mempertahankan ego atas nama logika yang gagal.




Banda Neira – Sampai Jadi Debu
Kebetulan lagu ini muncul dalam daftar putar selanjutnya. Saya kemudian teringat lagu ini menjadi bagian dari film “Posesif”, sebagai latar suara sebuah adegan di mana karakter utama wanita ditinggalkan oleh karakter utama pria. Sebenarnya secara lirik, lagu ini manis sekali; sama sekali tidak ada hubungannya dengan patah hati, perpisahan, atau segala bentuk peristiwa sedih lainnya. Namun secara musik, lagu ini memang mengundang rasa haru. Ini adalah jenis lagu yang akan kita kirim kepada kekasih kita, atau barangkali kita sertakan ke dalam playlist yang kita susun khusus untuk pasangan kita. Jika badai di antara kita telah berlalu, salahkah kita menuntut mesra? Tidak. Jelas tidak salah. Mengapa menjadi salah untuk menuntut mesra kepada pasangan kita sendiri? Yang salah adalah menuntut mesra kepada pasangan orang lain tanpa seizin pasangannya. Karena kalau itu yang terjadi, alih-alih merayakannya selesainya badai, kita justru membuat badai lain yang baru. Ya ampun, hobi kok membuat badai.




Banda Neira – Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti
Lagu berikutnya dalam daftar putar. Lagi-lagi soal mencari makna. Ya ampun. Mengapa saya dihadapkan dengan pencarian makna dikala lapar? Sepertinya memang saya terlalu serius dalam menjalani hidup ini. Pada pertengahan lagu tiba-tiba saya teringat sesuatu, mungkin sebagai rangkaian dari lagu sebelumnya. Bagi saya, cinta tidak harus diwujudkan melalui hadiah-hadiah yang mahal dan mewah. Saya percaya, bahwa cinta yang genuine (saya tidak menemukan padanan arti kata ini dalam bahasa Indonesia) nan sederhana dapat kita temukan di mana saja, tidak harus pada tempat-tempat mewah. Cinta itu sesederhana sentuhan hangat di pundak kita, yang mengatakan bahwa, “Aku ada di sisimu.” Cinta adalah ketika seseorang memberikan sedikit yang ia punya ketika ‘sedikit’ itu adalah segalanya yang ia punya. Kondisi suatu relasi boleh jadi ‘naik-turun’, namun cinta itu selalu ada di sana; memberikan ‘rumah’ bagi para jiwa yang terluka dan hilang untuk selalu pulang kembali.




Payung Teduh – Resah
Ternyata lagu berikutnya adalah lagu yang mengingatkan saya pada pasangan saya. Sebagai seorang Pisces, ia adalah pribadi yang merasa resah atas semua hal. Dan ternyata, menurut dia (yang ia sampaikan kepada teman-temannya) saya adalah satu-satunya perempuan di dunia ini yang sanggup memahami keresahannya secara keseluruhan. (Lucu sekali, karena ada orang yang menganggap bahwa saya ini justru merupakan sumber keresahannya). Saya terharu ketika tahu bahwa ia berkata pada teman-temannya, bahwa hanya saya yang sanggup mendengarkan dan benar-benar mengerti, serta bahkan selalu ada di sana untuknya setelah segala bentuk pemahaman itu. Ya ampun. Sepertinya saya memang orang yang mudah dibuat terharu. Kalau dipikir-pikir, anggapan orang bahwa saya adalah sumber keresahan pasangan saya mungkin ada benarnya, karena pasangan saya tidak mungkin ‘tidak resah karena saya’ kalau saya memang sangat berarti baginya.




Payung Teduh – Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan
Sungguh lagu ‘gombal’ yang paripurna di alam semesta raya ini.




Melancholic Bitch – Nasihat yang Baik
Ya, mungkin sebaiknya Susi tidur sekarang juga.



Efek Rumah Kaca – Sebelah Mata
Sudah hampir jam 12 malam, Cinderella harus pulang, walau hanya dengan sebelah ma..., eh, sepatu.



Wrote by Mashita Fandia
Saya selalu mudah melupakan sesuatu. Terkadang sesuatu tersebut merupakan hal yang sederhana, seperti misalnya di mana tepatnya letak saya memarkir motor. Pasangan saya pun demikian. Baru hari Rabu kemarin ketika ada perayaan wisuda S1 di UGM, saya dan pasangan saya harus berkali-kali mengitari kompleks perumahan Bulaksumur untuk mencari di mana kami memarkir mobil. Pada waktu itu kami benar-benar merasa bodoh; seperti kinerja otak kami telah melambat. (Mengapa kami tidak mencatat atau memotret lokasi di mana kami memarkir mobil? Padahal kami tahu bahwa kami pelupa.) Apakah itu merupakan akibat dari terlalu banyak mengonsumsi ‘micin’? Apakah kami merupakan bagian dari ‘generasi micin’?



Percaya atau tidak, kata ‘micin’ yang menjadi tema tulisan hari ini tidak terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Saya tidak tahu tepatnya sejak kapan dan siapa yang pertama kali mencetuskan, tetapi istilah ‘micin’ digunakan untuk menyebut penyedap rasa (monosodium glutamat, atau yang terkenal dengan singkatannya, MSG) yang sering dicampurkan ke dalam masakan supaya rasa makanan menjadi lebih gurih. MSG ini, meskipun terasa lezat, rupanya banyak kabar beredar bahwa MSG tidak baik untuk kesehatan. Bahkan, ada mitos yang diceritakan secara turun-menurun dari generasi ke generasi bahwa MSG membuat otak bekerja lebih lambat, alias bodoh. Mitos tersebut menjadi dasar digunakannya istilah ‘micin’ untuk menyebut generasi masa kini, karena dianggap mengalami degenerasi dibandingkan generasi sebelumnya.
Pertanyaan saya yang pertama adalah: apakah MSG benar-benar berpengaruh pada melambatnya kinerja otak? Melalui penelusuran yang saya lakukan, saya menemukan bahwa sebenarnya penggunaan MSG dalam bahan makanan adalah tidak berbahaya, selama dosisnya tidak berlebihan. MSG, meskipun merupakan bahan kimia, sesungguhnya mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh, terutama setelah ia terurai dan diolah selama proses pencernaan. Sedangkan dalam kaitannya dengan kinerja otak, MSG memang mengandung glutamat, yang apabila kadarnya sangat berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
Namun, glutamat tidak hanya terkandung dalam MSG saja. Selain itu, glutamat juga masih dibutuhkan dalam metabolisme energi dan protein di otak. Oleh karena itu, saya bisa menarik kesimpulan bahwa “segala yang berlebihan itu tidak baik”. Jadi, yang cukup-cukup saja. Apakah MSG benar-benar berpengaruh pada melambatnya kinerja otak? Bukan MSG tepatnya, melainkan glutamat, yang kandungan tertingginya dapat ditemukan justru pada bahan makanan selain MSG, yaitu contohnya keju, jagung, dan kacang polong. Sehingga, tidak ada bukti yang sahih yang menyatakan bahwa MSG memengaruhi lambatnya kinerja otak.
Setelah menemukan bahwa “MSG membuat pengonsumsinya menjadi bodoh adalah mitos”, maka saya terpikir pada pertanyaan kedua: apakah benar bahwa generasi muda masa kini adalah ‘generasi micin’? Penggunaan kata ‘micin’ dalam istilah tersebut saja, bagi saya, sudah menimbulkan pertanyaan. Apabila ‘micin’ tidak benar-benar membuat pengonsumsinya menjadi lebih bodoh, lantas mengapa istilah tersebut digunakan untuk menyebut suatu generasi yang dianggap mengalami kemunduran? Sepertinya hal tersebut justru menjadi penanda bahwa generasi yang mencetuskan sebutan ‘generasi micin’ itu sendiri sedang mengalami degradasi. Sebutan ‘generasi micin’ adalah monumen yang merupakan tanda atas kemunduran cara berpikir. Lebih miris lagi, pencetus, penyebar, dan pengguna sebutan tersebut selayaknya disebut sebagai ‘generasi mitos’, karena mudah percaya pada mitos tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu.
Pertanyaan ketiga adalah: apakah benar generasi muda masa kini mengalami degradasi? Saya rasa, ‘degradasi’ itu sendiri adalah kata yang terlalu kuat untuk digunakan (meskipun saya sendiri yang memilihnya untuk tulisan ini). Apakah benar generasi muda masa kini menjadi lebih bodoh dibandingkan dengan generasi sebelumnya? Saya berani menjawab tidak. Mengapa? Pertama, kondisi zaman sudah berubah; kita semua harus mengakui dan menerima itu. Hanya karena generasi yang lebih muda tumbuh dengan segala fasilitas yang memudahkan mereka, bukan berarti mereka lantas menjadi lebih bodoh dibandingkan dengan generasi yang lebih tua. Kedua, bodoh atau tidak itu relatif, bahkan sangat relatif. Sehingga menggeneralisasi bahwa generasi muda masa kini mengalami kemunduran bukan merupakan sesuatu yang layak.
Setiap kondisi zaman memiliki tantangannya masing-masing. Tumbuh dan hidup dengan berbagai fasilitas yang hadir berkat kemajuan teknologi tidak lantas membebaskan generasi yang lebih muda itu dari beban dan tanggungan hidup. Apalagi, beberapa paradigma dalam masyarakat tidak banyak mengalami perubahan, bahkan tetap mengakar kuat dalam sistem sosial dan kultural, contohnya patriarki dan kelas sosial. Bahkan dalam beberapa kasus, kemajuan teknologi justru semakin mengokohkan sistem sosial dan kultural tersebut. Kondisi dan tantangan yang beragam tersebut tentunya menyebabkan generasi setiap zaman memiliki karakternya sendiri dalam mengatasi masalah. Jadi, saya berani berpendapat bahwa: tidak, generasi muda masa kini tidak mengalami degradasi, melainkan hanya berbeda dari generasi sebelumnya. Dan perbedaan tidak selalu buruk.
Sewaktu ibu saya masih berkuliah dulu, ia harus mengerjakan skripsinya menggunakan mesin tik. Tentu saja pembuatan skripsi tersebut menghabiskan biaya yang tidak sedikit, karena setiap kali ibu saya melakukan salah ketik, ia harus mengganti seluruh kertas dengan yang baru. Selain itu, proses pengetikan bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Sementara itu, saya mengerjakan skripsi saya dulu menggunakan laptop. Dari segi waktu pengetikan, ya, saya memiliki waktu yang lebih cepat. Dari segi biaya, belum tentu biaya yang saya keluarkan lebih sedikit dibandingkan dengan ibu saya, karena nilai mata uang pada masa dulu dan sekarang saja sudah berbeda, apalagi bila memperhitungkan biaya untuk membeli dan merawat laptop serta printer.
Kemudian ada anggapan bahwa, “Anak zaman sekarang seharusnya bisa lebih cepat mengerjakan skripsi, kan lebih mudah mendapatkan buku, apalagi ada e-book dan sumber-sumber referensi lainnya yang bisa didapatkan secara gratis dan cepat melalui internet. Sayangnya anak zaman sekarang itu malas membaca karena mudah mendapatkan sumbernya.” Kemudahan mendapatkan referensi tidak menjadi standar utama bagi kecepatan mengerjakan skripsi. Mungkin benar bahwa beberapa orang dari generasi zaman sekarang malas membaca, tetapi bukankah beberapa orang dari generasi zaman dulu juga ada yang malas membaca? Di sisi lain, bagi beberapa orang dari generasi zaman sekarang yang rajin membaca, mereka justru kewalahan dengan kemudahan mendapatkan referensi, karena itu berarti mereka harus membaca dan memahami lebih banyak, yang mana berimbas pada proses pengerjaan yang membutuhkan waktu yang lebih lama.
Paparan di atas hanya merupakan gambaran dari perbedaan tantangan yang dihadapi oleh setiap generasi. Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menyatakan rasa bingung saya atas hal yang aneh. Apabila (seperti mitos yang beredar) ‘micin’ identik sebagai zat yang membuat pengonsumsinya menjadi bodoh, lalu mengapa generasi muda masa kini sepertinya pasrah-pasrah saja disebut sebagai ‘generasi micin’? Apakah mereka yang terlalu banyak bercanda, atau saya saja yang terlalu serius menjalani hidup? Atau, apakah sebenarnya mereka sudah tahu bahwa ‘micin’ tidak benar-benar membuat mereka bodoh? Ya, sepertinya memang saya yang terlalu serius menjalani hidup.
Wrote by Mashita Fandia



Malam tadi saya tiba di rumah menjelang tengah malam. Sewaktu masih dalam perjalanan, saya sudah sangat lelah dan mengantuk. Namun sesampainya di rumah, bahkan setelah saya merebahkan diri di atas tempat tidur, saya mendapati diri saya kesulitan untuk bisa tidur. Dan hal seperti ini sering sekali terjadi. Alhasil, Jum’at dini hari ini saya memutuskan untuk membuat daftar lagu yang kira-kira sanggup membuat saya tertidur. Setengah kebetulan, seluruh lagu tersebut adalah lagu K-pop. Mungkin karena saya masih terngiang tema unggahan sebelumnya yang membahas mengenai “antara K-pop dan dangdut”.
Sampai pada pertengahan daftar lagu, hujan turun di luar. Sungguh timing yang sempurna.

Wanna One – Beautiful (2017)
Sudah hampir dua minggu sejak lagu ini dirilis dan selama itu pula saya ketagihan mendengarkan lagu ini. Entahlah .... Mungkin karena alam bawah sadar saya menyadari bahwa saya sedang berkutat dengan rasa rindu yang tak kesampaian. Jadi, ya, saya menemukan bahwa saya begitu ‘terhubung’ dengan lagu ini.




Urban Zakapa – I Don’t Love You (2016)
Lagunya sedih dan miris, tetapi saya tidak pernah bosan mendengarkannya; terutama pada bagian klimaks. Sembari mendengarkan lagu ini saya bertanya-tanya dalam pikiran; apa mungkin saya tidak bisa tidur karena saya berpikir terlalu banyak? Bahkan saat ini pun saya berpikir. Apakah saya dicintai? Apakah saya cukup mencintai? Apa yang sebenarnya saya butuhkan untuk merasa dicintai? Apakah saya terlalu kaku dalam bersikap? Apakah saya terlalu ragu dalam menyatakan keinginan saya? Ya ampun. Ya, saya berpikir terlalu banyak.




2NE1 – Lonely (2011)
Sepertinya saya memang berpikir terlalu banyak. Dan saya merasa bersalah karena saya merasa kesepian. Aduh. Semua ini hanya ada dalam kepala saya; kepala tua yang aneh. Namun, saya merasa kesepian. Dan saya tak mengerti mengapa. Yang jelas, Sandara Park nampak cantik sekali dalam video musik lagu ini.




Yoona – When the Wind Blows (2017)
Ya, ini pasti gara-gara rasa rindu yang tak tersampaikan dengan tepat. Pasti. Pasti .... Ya ampun. Lagu ini selalu berhasil membuat saya ingin menangis. Suara Yoona terdengar lembut sekali, seperti belaian angin sore yang sejuk.




Taeyang – Eyes, Nose, Lips (2014)
Jadi apa yang sebenarnya menjadi masalah dalam kepala saya? Apakah saya hanya merasa lelah? Apakah saya terlalu takut untuk menanyakan pertanyaan yang sudah saya tahu jawabannya? Apakah saya harus membiarkan saja semua hasrat itu terbakar habis seperti baliho bergambar wajah Min Hyo Rin dalam musik video lagu ini?




Jessica – Summer Storm (2017)
Kemudian saya memasukkan lagu ini ke dalam daftar, sembari masih bertanya-tanya dalam pikiran saya: akankah semuanya berlalu dan membaik? Atau, apakah ini semua hanya badai yang tertunda? Tidak, Sica eonnie tidak punya jawabannya. Ia hanya bernyanyi.




Jung Joon Young & Jang Hye Jin – Me and You (2017)
Tangis saya pecah pada lagu terakhir ini. Ya ampun. Pada akhirnya, saya selalu (merasa) sendirian.



Wrote by Mashita Fandia


Kalau pertanyaannya, “Pilih dangdut atau K-pop?” Maka jawaban seorang Mashita sudah jelas akan memilih K-Pop. Walaupun sesungguhnya, menurut saya pertanyaan ini tidak valid, karena perbandingan yang ditanyakan tidak apple-to-apple. K-pop adalah musik yang berasal dari luar negeri, sementara dangdut merupakan musik hasil akulturasi yang diolah di dalam negeri. Jadi, ya, saya rasa bukan tempatnya untuk memperbandingkan aliran musik yang tidak memiliki akar yang sama. Namun, karena saya harus menjawab pertanyaan tersebut, maka saya jawab: saya memilih K-pop.



Kalau pertanyaannya, “Meskipun Anda seorang K-popers, apakah Anda juga menggemari dangdut?” Maka jawabannya adalah: saya suka mendengarkan musik dangdut, meskipun level menggemarinya tidak setinggi level saya menggemari K-pop. Setidaknya, bagi saya, musik dangdut layak untuk diapresiasi.




Wrote by Mashita Fandia



Hari kemarin, saya terpaksa seharian berada di rumah saja dan tidak pergi ke mana-mana, bahkan termasuk kampus maupun kantor. Bukan karena apa-apa, tetapi badan saya tumbang akibat pada malam sebelumnya saya kehujanan hingga hampir tengah malam. (Hujan hari itu juga yang menggagalkan rencana untuk menonton film “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak”, yang kemudian malah menjebak saya di toko buku Togamas sehingga hasrat belanja buku membuncah, membuat saya mengeluarkan sejumlah dana di luar anggaran untuk membeli buku. Tak apalah. Selalu ada maaf untuk buku.) Siang harinya ketika saya merasa badan saya agak membaik, saya memutuskan untuk membunuh waktu dengan membaca buku-buku yang saya beli pada malam sebelumnya. Saya berhasil menyelesaikan dua novel, yang salah satunya sesungguhnya ingin saya tulis ulasannya hari ini. Inspirasi sudah muncul, namun apa daya hasrat berkata lain.
Sembari menuntaskan dua novel kemarin, saya menyetel tujuh lagu pilihan dalam daftar dengar saya. Maklum, kondisi rumah kemarin kosong. Kedua orang tua saya pergi bekerja. Adik saya yang laki-laki kuliah dari pagi hingga sore. Adik saya yang perempuan sekolah, dari pagi hingga sore pula. Kalau tidak ada latar musik yang menghiasi, rasanya bangunan rumah terlampau sepi dan mencekam. Apalagi salah satu novel yang saya baca bergenre kriminal. Tujuh lagu yang saya dengarkan secara berulang-ulang tersebut kesemuanya adalah lagu Korea dan bergenre ballad, yang sesungguhnya sangat sesuai dengan nuansa novel pertama yang saya tamatkan kemarin; judulnya “That Summer”, ditulis oleh senior saya semasa SMA dan kuliah, Ayu Rianna. Saya ingat beberapa lagu pernah saya tulis ulasannya di weblog ini, sementara beberapa lainnya belum sempat saya ulas. Yang jelas, lagu-lagu ini sempurna untuk menemani hari istirahat saya. Terlebih lagi, turunnya hujan di luar sana yang tak henti sedari pagi semakin melengkapi suasana sendu itu.

Fly to the Sky – Missing You (2003)
Sebelum heboh dengan para idol group, SM Entertainment (salah satu dari tiga besar agensi artis terkemuka di Korea Selatan) melambungkan duo vokal yang terdiri dari Brian dan Hwanhee. Lagu ini adalah signature song dari duo yang menamakan diri mereka Fly to the Sky tersebut. Seperti judulnya, lirik lagu ini bercerita tentang rasa rindu. Highlight-nya ada pada harmoni vokal Brian dan Hwanhee. Dengarkan dan resapi, maka kita akan terhanyut dalam rasa rindu yang tak kesampaian.


Naul – Memory of the Wind (2012)
Tercatat sebagai salah satu vokalis pria yang memiliki suara paling powerful di Korea Selatan, anggota dari grup vokal Brown Eyed Soul ini merilis album solo perdananya dengan lagu ini sebagai lagu andalan. Saking terkenalnya, lagu yang susah dinyanyikan karena high pitch-nya ini sering dijadikan tantangan bagi peserta music variety show di Negeri Ginseng. Liriknya berkisah tentang seseorang yang telah berdamai dengan diri dan masa lalunya, sehingga mampu menjadikan masa lalu tersebut sebagai kenangan yang ia hargai keberadaannya. Ulasan lebih lengkap mengenai lagu ini dapat dilihat di sini.



Jung Joon Young & Jang Hye Jin – Me and You (2017)
Kalau teman-teman ingat, lagu ini juga muncul dalam daftar 7 Lagu untuk Menemani Rasa Tidak-Diinginkan. Jadi, saya tak perlu berkata banyak-banyak lagi tentang lagu ini. Cukup baca ulasan lengkapnya di sini.


Sung Si Kyung – On the Street (2006)
Terkenal sebagai the Emperor of Ballad-nya Korea Selatan, lagu ini adalah salah satu signature song-nya Sung Si Kyung. Penulis lagu ini adalah musisi dan produser terkenal (dan lebih terkenal lagi lewat variety show “Family Outing”), Yoon Jong Shin. Liriknya menceritakan seseorang yang mengenang orang yang dikasihinya, dengan cara menelusuri tempat-tempat penuh kenangan di mana mereka pernah menghabiskan waktu bersama. Dudududuw~



BUZZ – Coward (2005)
Band dengan Min Kyung Hoon sebagai frontman-nya ini merupakan satu-satunya band yang ada dalam daftar ini. Lagu ini juga merupakan lagu yang tidak bergenre ballad murni, melainkan rock ballad. Liriknya kalau dicermati memang terbaca sangat maskulin; bercerita tentang seorang pria yang merasa bahwa dirinya adalah seorang pengecut (seperti judulnya) karena tidak sanggup menyatakan perasaannya secara jantan terhadap perempuan yang ia sayangi. Wajar. Beberapa orang menemukan bahwa kejujuran adalah hal yang menakutkan untuke diungkapkan, karena mereka takut pandangan mata orang-orang akan berbeda setelah kejujuran itu terungkap. Ulasan lebih lengkap mengenai lagu ini dapat dibaca di sini.



Lee Seung Chul – Fate (2004)
Kalau Sung Si Kyung didapuk sebagai the Emperor of Ballad, maka penyanyi satu ini adalah the Emperor of Vocals-nya Korea Selatan. Ia adalah penyanyi senior yang sangat disegani di dunia musik Negeri Ginseng tersebut. Lagu ini dirilisnya sebagai original soundtrack untuk serial drama yang sangat populer pada waktu itu, “Phoenix”. Ulasan lengkap untuk lagu ini dapat dibaca di sini.



Urban Zakapa – Wish (2017)
Teman-teman tahu atau pernah mendengar atau bahkan sudah tamat menonton serial drama “Goblin”? Nah, lagu ini adalah salah satu pengisi original soundtrack-nya. Lagu ini diputar sebagai latar untuk menggambarkan emosi yang dirasakan oleh karakter yang diperankan Gong Yoo ketika harus berpisah dengan karakter yang diperankan oleh Kim Go Eun; kesepian dan kehilangan. Rumah yang biasanya ‘penuh’ terasa kosong karena ketidakhadiran satu orang saja. Ya sama lah seperti yang saya rasakan sekarang. Anyway, ulasan lengkap untuk lagu ini ada di sini.



Wrote by Mashita Fandia
Akibat korsleting pada otak saya sepertinya makin parah akhir-akhir ini, saya memutuskan untuk membuat tulisan hari ini tidak akan sepanjang judulnya. Inti dari tema tulisan hari ini yang diharapkan oleh sang pengusul tema adalah untuk berbagi kanal YouTube favorit. Maka dari itu, saya punya beberapa, namun semuanya mempunyai satu benang merah: kanal K-pop. Bukan Kamerun pop, bukan pula Kazakhstan pop, tetapi Korean pop. K-pop memang merujuk pada musik-musik yang diproduksi oleh Negeri Ginseng itu, namun kanal favorit saya adalah jack-of-all-trades untuk semesta Korean wave (Hallyu). Kanal tersebut tak lain tak bukan adalah kanal resmi stasiun televisi KBS (Korean Broadcasting System), yaitu KBS World TV.



KBS adalah semacam TVRI-nya Indonesia, yaitu stasiun televisi penyiaran publik yang dikelola oleh negara, namun dengan tingkat pemeliharaan yang lebih maju layaknya stasiun televisi swasta di Indonesia. (Cukup miris memang, mengingat sejarah Indonesia dan Korea Selatan yang sama-sama terpuruk akibat krisis moneter pada akhir tahun 1990-an. Namun kini dapat dilihat negara mana yang sanggup bangkit dari keterpurukannya.) Sejak memilih untuk tidak tinggal seatap dengan keluarga batih, saya menjadi jarang menonton televisi, bahkan hampir tidak pernah. Oleh karena itu, meskipun kanal KBS World dapat dinikmati melalui tayangan televisi berlangganan, saya lebih sering menontonnya melalui YouTube. (I guess this is what they call as ‘YouTube kills the television stars’.) Apalagi, saya bisa menontonnya kapan saja dan tidak terikat jadwal tayang.
Jadi, bagi teman-teman yang tidak familiar dengan KBS, apa saja sih program yang ditayangkannya? Mulai dari serial drama, program acara musik, hingga variety show, KBS memiliki program-program terkenal yang mungkin teman-teman sudah pernah dengar sebelumnya. Untuk serial drama, kalau ada yang pernah mendengar serial “Full House” (2004) yang dibintangi oleh Song Hye Kyo dan Rain, ya, serial terkenal itu tayang di KBS. Duabelas tahun kemudian, Song Hye Kyo kembali membintangi serial KBS yang tak kalah populer dengan “Full House” pada masanya, yaitu “Descendants of the Sun” (2016), yang ia bintangi bersama suaminya sekarang, Song Joong Ki. Selain itu, masih banyak lagi serial drama populer yang ditayangkan oleh KBS, seperti “Winter Sonata” (2002), “Boys Over Flowers” (2009), “Dream High” (2011), dan lain-lain.


Untuk program acara musik, KBS memiliki program mingguan yang digunakan sebagai ajang promosi oleh para idol group, yaitu Music Bank. Selain itu, program favorit saya adalah Immortal Songs 2: Singing the Legend, di mana para penyanyi, musisi, dan idol tampil setiap minggunya untuk membawakan remake dari lagu-lagu ‘legenda’ musik Korea Selatan. Melalui program ini kecintaan saya meluas pada tembang-tembang lawas Korea, yang ternyata, tak kalah indah dan memanjakan telinga dari lagu K-pop zaman now.



Program variety show adalah ‘gong’-nya KBS. Ingin menonton aksi bayi-bayi dan balita lucu? Ada! Ingin menonton mas-mas ganteng nan kocak berwisata? Ada! Stasiun TV ini memiliki The Return of Superman dan 2 Days and 1 Night yang menghiasi jagat hiburan pada akhir pekan. Keunggulan variety show KBS adalah program-program ini tidak hanya menonjolkan sisi hiburan melalui komedi, melainkan juga sisi kemanusiaan melalui kisah yang haru dan menyentuh perasaan. Terlebih, program mereka tidak hanya melibatkan bintang-bintang terkenal, melainkan juga rakyat jelata. Selain dua program unggulan tersebut, saya juga menyukai program dengan format talkshow, Hello Counselor dan Happy Together.


Selain program-program yang saya jabarkan di atas, masih banyak program menarik lainnya yang ditayangkan oleh KBS melalui kanal YouTube KBS World TV. Silakan mencoba untuk mampir dan melihat-lihat, siapa tahu bisa menikmatinya sebagaimana saya menikmatinya. Bagi teman-teman yang tidak bisa berbahasa Korea, jangan khawatir, karena kanal tersebut merupakan kanal global, KBS menyediakan subtitle berbahasa Inggris (dan Thailand ... sawadeekap~). Sekian uraian dari saya, yang sepertinya mengingkari janji untuk tidak lebih panjang daripada judul tulisan ini. Maafkan, saya sudah terlanjur K-pop.
Wrote by Mashita Fandia



Jean-Paul Sartre menulis dalam novelnya yang berjudul “Nausea”,

“I want to leave, to go somewhere where I should be really in my place, where I would fit in ... but my place is nowhere; I am unwanted.”

Bagi saya, rasa ‘tidak-diinginkan’ adalah rasa yang cukup familiar. Tidak, bukan berarti saya kekurangan cinta dan kasih sayang dari orang-orang di sekitar saya. Hanya saja, sebagian otak saya memang sudah ‘korsleting’ (percayalah! Kata ‘korsleting’ ini ada di dalam KBBI) sehingga rasa itu datang dan pergi kapan saja ia mau. Setiap kali ia datang, saya menyambutnya dengan hangat, karena saya tahu cepat atau lambat ia akan pergi lagi. Terkadang, saya menyambutnya dengan beberapa lagu pilihan. Berhubung tak ada orang yang cukup tergila-gila pada saya untuk membuatkan saya daftar lagu, saya membuat daftar lagu untuk diri saya sendiri. (Oh, saya tahu ini memprihatinkan, tapi tidak, tolong jangan kasihani saya.) Berikut tujuh lagu yang mengisi daftar dengar saya setiap kali saya merasa tidak diinginkan:

7. Wanna One – Beautiful (2017)
Daftar ini dibuka dengan lagu Kpop dari rookie boy group jebolan ajang pencarian bakat “Produce 101 Season 2”, Wanna One, dengan single terbaru mereka. Meskipun judulnya secara harfiah berarti “indah” dalam bahasa Indonesia, arti lirik lagu ini menyedihkan secara indah. Ya, seindah dan semenyedihkan rasa rindu yang tak kesampaian.




6. Seventeen – Don’t Wanna Cry (2017)
Masih lagu Kpop, kali ini adalah hits dari boy group Seventeen. Sok tegar berlagak tidak ingin menangis, padahal air mata sudah bercucuran membasahi pipinya. Memang dasar manusia!



5. Jung Joon Young & Jang Hye Jin – Me and You (2017)
Lagi-lagi lagu dari Negeri Ginseng, namun kali ini genrenya ballad dan dibawakan oleh rocker tampan Jung Joon Young secara duet bersama solois wanita senior, Jang Hye Jin. Saya tiba-tiba kehilangan kata untuk menggambarkan lirik lagu ini. Pokoknya sedih ... sekaligus indah.




4. Nike Ardilla – Suara Hatiku (1996)
Bagi saya, karya-karya almarhum Lady Rocker ini memang tidak ada matinya. Saya juga suka “Tinggallah Ku Sendiri” (yang liriknya berbunyi, “aku bagai nelayan yang kehilangan arah,”) dan “Biarlah Aku Mengalah” (yang liriknya berbunyi, “sendiri lagi, sendiri lagi,”). Ah, sebenarnya saya suka semua lagu beliau. Kalau dari lagu-lagunya, ia terkesan sangat kesepian semasa hidupnya. Namun untuk daftar ini saya pilih lagu ini. Liriknya ... sangat mengena.




3. Taylor Swift – All Too Well (2012)
Bukan Taytay namanya kalau tak sanggup menuangkan kisah cintanya yang berakhir tragis ke dalam lirik lagu yang puitis. Diiringi petikan gitar ala musik country yang menjadi kampung halaman genre musiknya, lagu ini selalu berhasil membius saya setiap kali saya berada dalam kesendirian.




2. Peterpan – Yang Terdalam (2003)
Singkat, indah, dan padat. Itulah tiga kata untuk menggambarkan lagu dari Ariel dan kawan-kawan ini.




1. Guns N' Roses – Estranged (1994)
Karya masterpiece Axl Rose dan kawan-kawan ini menduduki posisi puncak berkat liriknya yang puitis dan ‘dalam’. Dari judulnya saja, yang dalam bahasa Indonesia berarti “terasing”, sudah tercium betapa kesepiannya lagu ini. Selain itu, petikan gitar melodi dari Slash juga berhasil mengiris-iris relung hati. Anehnya, mendengar lagu ini dan meresapi liriknya selalu membuat saya tenggelam sekaligus memberi saya harapan; bahwa hujan di bulan November tak akan berlangsung selamanya, dan badai pun pasti akan berlalu.



Wrote by Mashita Fandia


Saya lahir pada tahun 1990, anak pertama dari pasangan muda yang menikah pada awal usia 20-an mereka. Tidak heran apabila masa pertumbuhan saya dipenuhi dengan ‘selera-selera’ orang tua saya, yang kemudian membentuk segala selera saya hingga sekarang, termasuk selera musik, apalagi selera bacaan. Ibu saya gemar membaca dan ia adalah seorang pengoleksi novel, membuat Mashita kecil mau tidak mau turut menikmati bacaan yang ia baca pula. Namun saya bersyukur atas itu, karena yang ibu saya kenalkan pada saya adalah bacaan-bacaan luar biasa karya Enid Blyton, Alfred Hitchcock, dan Agatha Christie. Saya menyebut mereka “segitiga emas”.
Enid Blyton adalah seorang penulis berkebangsaan Inggris yang terkenal sebagai penulis cerita anak dan remaja yang sepanjang hidupnya telah menghasilkan ratusan karya. Karya Enid yang saya nikmati adalah seri Lima Sekawan (The Famous Five), seri Pasukan Mau Tahu (The Five Find-Outers), seri Sapta Siaga (The Secret Seven), dan seri Malory Towers. Tiga seri pertama merupakan seri detektif remaja yang puluhan bukunya telah tamat saya baca pada periode Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama. Begitu juga dengan karya Alfred Hitchcock (juga orang Inggris) yang saya ikuti pada waktu itu, yaitu seri Trio Detektif (Alfred Hitchcock and the Three Investigators). (Pada waktu itu saya belum tahu bahwa Alfred adalah sutradara dan produser film suspense dan psychological thriller terkenal.) Kesemuanya adalah kisah bergenre petualangan detektif remaja yang penuh teka-teki, yang sanggup menenggelamkan Mashita kecil dalam dunianya sendiri.
Begitu semua stok novel Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, dan Trio Detektif (bahkan Malory Towers yang genrenya adalah drama remaja) sudah tamat saya baca, saya beralih pada koleksi ibu saya yang lain, yaitu karya Agatha Christie (lagi-lagi ia pun orang Inggris). Mashita remaja mulai berteman akrab dengan Miss Marple dan Hercule Poirot sejak saat itu. Saya ingat betul pada waktu itu beberapa orang dewasa di sekitar saya memprotes, “[Novel karya] Agatha Christie itu kan novel dewasa!” Namun saya diam saja dan tidak menghiraukan kicauan mereka. Saya sudah kehabisan bahan bacaan pada waktu itu. Ya, saya juga membaca komik Detektif Conan, tetapi membaca komik tidak memakan waktu lebih dari satu jam. Hasrat saya akan cerita detektif kurang terpuaskan hanya dengan komik yang memakan waktu beberapa minggu untuk menunggu hingga edisi berikutnya terbit. Saya tidak sabar. Novel-novel Agatha berhasil memuaskan dahaga saya.
Oke, tema hari ini adalah “inspirasiku”, yaitu tokoh(-tokoh) yang memberi inspirasi bagi saya; dan seperti yang telah saya paparkan di atas, mereka adalah segitiga emas Enid, Alfred, dan Agatha. Mengapa mereka menginspirasi saya? Segitiga emas adalah pencerita yang ulung. Anda tidak akan tahu bagaimana rasanya sampai Anda mencoba membaca sendiri karya-karya mereka. Apalagi bagi seorang Mashita kecil yang pada waktu itu sudah mulai kurang terpuaskan hasratnya hanya dengan majalah Bobo atau Donal Bebek. Walaupun sudah lebih dari satu dekade berlalu sejak saya membaca karya-karya mereka, saya masih ingat betul beberapa cerita yang memang sukses meninggalkan jejak dalam memori saya. Cerita yang berkesan itu sebagian besar dimunculkan oleh plot-twist yang ada dalam cerita-cerita tersebut. Untuk kisah anak-anak dan remaja, segitiga emas berhasil membuat cerita petualangan, misteri, dan detektif yang mindblowing.
Bagaimana mereka menginspirasi saya? Melihat konteksnya pada waktu itu, sebagai seorang anak yang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah untuk membaca, karya-karya Enid, Alfred, dan Agatha memompa keberanian saya untuk keluar dari rumah dan mencari petualangan saya sendiri. Mereka menjadi teman saya ketika sendirian di rumah, serta menjadi motivasi saya ketika berada di luar rumah bersama teman-teman saya. Berkat karya-karya mereka, saya yang introvert ini termotivasi untuk memiliki beberapa teman dekat dan mencari petualangan kami sendiri. Saya bahkan berhasil menularkan hobi membaca kepada teman-teman SD saya dulu. Melihat konteksnya pada masa kini, memang saya tidak lantas menjadi penulis cerita misteri seperti segitiga emas. Namun kisah detektif selalu menjadi favorit saya.
Bukan kisah anak-anak dan remaja namanya apabila tidak memuat pesan moral. Begitu pula dengan karya-karya segitiga emas. Kalau saya pikir-pikir lagi, mungkin kebiasaan saya untuk melihat morale of the story dari setiap buku, film, atau serial televisi yang saya nikmati berangkat dari sana. Ya, seperti teori psikoanalisisnya Freud. Karakter seseorang dibentuk oleh pengalaman masa kecilnya. Karena terbiasa dengan kisah detektif pula, saya terbiasa melakukan deduksi, yang kalau saya lihat-lihat lagi, tercermin melalui cara saya menulis sesuatu; seperti sekarang ini juga. Saya melakukan deduksi atas diri saya sendiri. Ya ampun.
Wrote by Mashita Fandia
Newer Posts Older Posts Home

About Me

About Me
32 | music | movies | cultural studies

Featured post

Out of the Woods

Let’s analogizing a (romance) relationship as a tropical forest, with all of its maze of trees, wild animals, and dangerous gorges; t...


TSOGM - a fiction

TSOGM - a fiction
Click on the picture to read the stories. Enjoy! ;)
Powered by Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2020 (8)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  September (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2018 (199)
    • ►  November (21)
    • ►  October (18)
    • ►  September (19)
    • ►  August (18)
    • ►  July (17)
    • ►  June (17)
    • ►  May (20)
    • ►  April (17)
    • ►  March (19)
    • ►  February (15)
    • ►  January (18)
  • ▼  2017 (223)
    • ►  December (18)
    • ▼  November (23)
      • Suatu Hari di Olympus: Cari Pacar
      • Komedi, Tragedi, dan Persoalan Perspektif
      • Ketika Hujan November Mengamuk di Langit Jogja
      • Barista Perempuan dan Hal-Hal yang Menginspirasi
      • 7 Lagu Indonesia untuk Menemani Rasa Lapar
      • Micin dan Hal-Hal yang Aneh
      • 7 Lagu K-Pop untuk Menemani Malam-Tanpa-Tidur
      • Maaf Teman-Teman, (Lagi-Lagi) Saya Sudah Terlanjur...
      • 7 Lagu "Korean Ballad" untuk Menemani Hari Istirahat
      • Maaf Teman-Teman, Saya Sudah Terlanjur K-Pop
      • 7 Lagu untuk Menemani Rasa Tidak-Diinginkan
      • Segitiga Emas
      • Posesif: Sisi Gelap Drama Cinta Kaum Muda
      • Menyoal Identitas
      • Welcoming the BBKU Mini 3.0
      • Salahkan Nietzsche Saja
      • Cold and Shivered
      • My Kind of One Fine Day at the Beach
      • The Right to Ask
      • November 7
      • A Letter from Home III
      • With a Trembling Heart
      • Under the West Sky
    • ►  October (18)
    • ►  September (18)
    • ►  August (23)
    • ►  July (17)
    • ►  June (17)
    • ►  May (17)
    • ►  April (23)
    • ►  March (17)
    • ►  February (15)
    • ►  January (17)
  • ►  2016 (38)
    • ►  December (16)
    • ►  November (6)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (5)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (5)
  • ►  2015 (189)
    • ►  November (14)
    • ►  October (20)
    • ►  September (17)
    • ►  August (17)
    • ►  July (18)
    • ►  June (18)
    • ►  May (17)
    • ►  April (17)
    • ►  March (19)
    • ►  February (16)
    • ►  January (16)
  • ►  2014 (199)
    • ►  December (16)
    • ►  November (18)
    • ►  October (18)
    • ►  September (16)
    • ►  August (16)
    • ►  July (17)
    • ►  June (16)
    • ►  May (17)
    • ►  April (16)
    • ►  March (17)
    • ►  February (15)
    • ►  January (17)
  • ►  2013 (195)
    • ►  December (16)
    • ►  November (15)
    • ►  October (17)
    • ►  September (15)
    • ►  August (16)
    • ►  July (17)
    • ►  June (18)
    • ►  May (16)
    • ►  April (16)
    • ►  March (16)
    • ►  February (17)
    • ►  January (16)
  • ►  2012 (215)
    • ►  December (18)
    • ►  November (20)
    • ►  October (17)
    • ►  September (18)
    • ►  August (16)
    • ►  July (18)
    • ►  June (18)
    • ►  May (19)
    • ►  April (17)
    • ►  March (20)
    • ►  February (18)
    • ►  January (16)
  • ►  2011 (18)
    • ►  December (13)
    • ►  November (5)

FOLLOW US @ INSTAGRAM

Copyright © 2016 pieces of me. Designed by OddThemes & Blogger Templates