Tentang Relasi Jarak Jauh: Untuk Perempuan Itu
Aku membenci wacana sosial historis yang menempatkan sesama perempuan dalam posisi vis a vis, yang mana dikonstruksi oleh sistem patriarki dunia (tidak hanya sosial dan kultural, melainkan juga agama) yang “mewajarkan” apabila seorang pria memiliki lebih dari seorang perempuan sebagai pasangan. Dari situ, para perempuan “dibiasakan” untuk saling bersaing antara satu sama lain untuk menjadi yang “utama”. Di situlah sumber penyakitnya.
Terlebih lagi, aku menyayangkan
para perempuan yang tidak cukup terbuka pemikirannya untuk memperluas daya
pikir dan perspektif mereka terhadap isu-isu mengenai kaum mereka sendiri:
perempuan. Mereka adalah perempuan yang (baik disadari maupun tidak) masih
terbawa arus patriarki, yang terlihat dari cara mereka mendiskreditkan sesama
perempuan lainnya yang berelasi dengan pria yang menjadi sasaran ketertarikan
mereka. Baik itu dengan tujuan untuk sekadar menarik perhatian maupun untuk
sengaja menyakiti hati perempuan lain, apapun tujuannya, aku sangat
menyayangkan tindakan yang demikian.
Sayangnya, baru-baru ini hal
tersebut menimpaku.
Adalah seorang perempuan, yang
dengan sengaja menunjukkan atensi dengan cara memberi tanda suka pada
foto-fotoku. Kemudian, perempuan itu dengan sengaja membuka kunci gembok
akunnya. Rupanya, perempuan itu mengunggah video yang memuat seorang laki-laki,
yaitu pasanganku. Belum cukup rupanya dengan mengunggah video itu saja, ia juga
memamerkan sebuah CD yang diberikan oleh laki-laki itu, disertai ucapan terima
kasih. Dari situ, wajarkah ketika aku menyimpulkan bahwa si perempuan dengan
sengaja ingin “menunjukkan” semua itu padaku? Menurutku, wajar. Secara sederhana,
si perempuan ingin pamer kemesraan. (Deduksi tersebut aku dapatkan dari sikap
si perempuan yang secara tiba-tiba muncul menampakkan diri dengan cara memberi
tanda suka pada foto yang memuat diriku dan pasanganku saja. Kemudian membuka kunci gembok akunnya sendiri supaya dapat
diakses oleh publik.)
Pertanyaannya kemudian: apa
tujuan si perempuan? Asumsiku hanya satu: dia ingin menyakitiku. Mengapa aku
berasumsi demikian? Antara dua orang yang tidak saling mengenal, tidak ada tindakan
yang dilandasi dengan niat baik tanpa upaya untuk melakukan perkenalan terlebih
dahulu. Dia tahu siapa diriku. Aku tahu siapa dirinya. Namun fakta-fakta itu
tidak cukup untuk membuat dua orang dikategorikan sebagai “saling mengenal”. Apabila
niatannya baik, maka alih-alih melakukan tindakan purba seperti itu, ia akan
memperkenalkan dirinya terlebih dahulu, lalu berkata “aku pergi dengan
kekasihmu, dan kami sangat senang menghabiskan waktu bersama, dan ia memberikan
CD padaku, dan aku sangat berterima kasih padanya.” Bicara secara baik-baik,
layaknya manusia yang memiliki akal dan hati nurani. Say it to my face, bitch! Namaste~
Sesungguhnya aku sangat
menghindari terjebak dalam hierarki patriarki yang membuatku seolah “membenci”
si perempuan. Namun apabila kejadiannya seperti ini, aku tidak bisa tidak
merasa marah atas tindakan si perempuan tersebut. Lebih dari sekadar marah, aku
sakit hati dan kecewa. Ya, aku pun marah, sedih, dan kecewa terhadap
pasanganku, namun dalam spektrum yang berbeda. Aku marah, sedih, dan kecewa
terhadap perempuan itu karena ia adalah perempuan;
sesamaku yang selama ini selalu aku dorong semangatnya untuk tidak tunduk
sepenuhnya pada sistem patriarki. Melihat ini, aku yakin para aktivis gerakan
feminisme dari berbagai gelombang akan bersedih.
Teruntuk si perempuan (yang
dengan bangga memamerkan padaku kebersamannya dengan kekasihku),
Kalau kau berpikir karena dirimu
masih muda maka kau bebas untuk bertindak sesuka hati, maka aku merasa kasihan
(lagi). Berdasarkan pengalaman, setiap pilihan hidupmu yang kau ambil pada usia
berapapun akan menentukan jati dirimu. Manusia sering berpikir bahwa mereka
memiliki waktu. Padahal waktu adalah satu-satunya hal yang tidak bisa mereka
miliki.
Ya, aku merasa sangat tersinggung
dengan apa yang kau lakukan. Aku tahu kau suka bermain-main dengan para pria
itu; tidak hanya kekasihku saja, mungkin. Apakah
kau juga selalu melibatkan pasangan mereka ke dalam permainanmu? Kalau iya,
kali ini kau salah memilih orang untuk bermain-main. Kalau tidak, lalu mengapa
kau melakukan ini padaku? Mungkin itu caramu untuk menunjukkan bahwa kau sangat
menyukai pasanganku. Mungkin itu caramu untuk menabuh genderang perang
terhadapku. Mungkin itu caramu untuk mengejekku, bahwa tidak peduli sebahagia
apapun diriku dengan pasanganku, pasanganku masih menemui perempuan lain.
(Jangan khawatir, aku sudah tahu soal itu. Kau tidak perlu menegaskannya dengan
cara pamer kebersamaan.) Mungkin itu caramu untuk memancing amarahku. (Selamat,
kau berhasil. Namun aku tidak gentar.) Di mataku kau hanya seperti anak kecil
yang sedang merengek meminta perhatian. Memuakkan.
Sepertinya aku pernah dengan
tegas memberitahumu untuk tidak menggangguku, ya? Aku menyampaikannya melalui
kekasihku. Entah dia yang tidak menyampaikannya padamu atau kamu yang lupa. Oh
ya, kekasihku pernah mengirimkan foto tangkapan layar percakapan kalian. Seingatku
kamu berkata “ingin berada di belakang layar saja”, ya? Wah, apa yang terjadi? Apa
yang membuatmu kemudian memutuskan untuk muncul ke depan layar? Benar-benar
suka pada kekasihku, ya? Kasihan. Dirimu penuh ironi serta ketimpangan dan
kegagalan logika soal relasi. Aku dan kekasihku, kami, pernah membicarakan kegagalan logikamu itu. Tidak perlu aku
ceritakan bagaimana detailnya. Semoga kau lekas mendapatkan pencerahan pikiran.
Ketika perempuan pernah
menyakitimu, itu tidak menjadi alasan bagimu untuk menyakiti perempuan lain di
kemudian hari dengan cara yang sama atau bahkan lebih buruk. Ketika para pria
pernah menyakitimu, itu tidak menjadi sesuatu yang melegitimasi segala
tindakanmu untuk menyakiti perempuan lain. Apalagi ketika pasanganmu
menyakitimu, itu tidak memberimu legitimasi untuk menyakiti pasangan dari pria
lain. Bahagiakah kau ketika tertawa di
atas tangisan perempuan lain? Apakah dengan demikian, kau merasa menang?
Apabila jawabanmu adalah iya, maka aku merasa kasihan padamu. Kau masih muda.
Berapa? 24? Jalanmu masih panjang. Masih banyak karma yang harus kau lalui,
tidak peduli seberapa lurus garis di kedua telapak tanganmu. Aku harap ketika
kau sampai pada usiaku sekarang, kau akan paham apa yang aku rasakan. Wajar
apabila sekarang kau belum bisa mengerti. Oh, tidak, faktanya, kau takkan
pernah bisa mengerti; selama kau tidak ingin membuka pikiranmu dan
mengesampingkan egomu untuk melihat perspektif lain. Hmmm, kapasitas otak dan
hati yang berbeda juga bisa jadi faktor penentu.
Kalau kau berpikir, siapa aku untuk
menasehatimu seperti ini? Hmmm, halo? Aku adalah perempuan yang kau pameri
kebersamaanmu dengan kekasihnya, ingat?
Kalau kau bertanya, mengapa aku
mengunggah tulisan ini alih-alih bicara langsung padamu? Jawabannya sederhana,
aku hanya mengembalikan apa yang kau berikan padaku. Terserah kau akan
mengartikannya seperti apa. (Sesungguhnya aku merasa sayang dengan satu halaman
situsku terbuang percuma untuk menulis untukmu. Oh, tidak, tidak percuma. Ini semua
demi kemajuan sesama perempuan. Duh, maafkan jiwa aktivisku, ya.)
Selain itu, aku menulis ini untuk
diriku sendiri. Penyaluran emosi adalah salah satu kunci dari umur yang panjang
(selain takdir, tentu saja). Maka tulisan ini lahir sebagai produk atas
emosiku. Tenang, kamu bukan satu-satunya perempuan yang pernah menggangguku
karena mereka begitu tertariknya dengan pasanganku. Aku sudah biasa menyalurkan
emosi seperti ini.
Oh ya, terima kasih atas bantuan
apapun yang kau berikan pada kekasihku, ya.
Terakhir; teriring doa untukmu,
secara tulus. Semoga kau bahagia. Semoga kau bertemu banyak pria lajang untuk
ditaklukkan, sehingga kau tidak perlu repot-repot mengganggu pria lain yang
telah memiliki pasangan. Semoga kau memiliki pasangan yang membahagiakanmu,
sehingga kau tidak perlu repot-repot mengganggu pasangan pria lain. Ayolah,
bagaimana kaum kita, perempuan, bisa lebih maju kalau masih saling mematikan
satu sama lain seperti ini? Come on, have some dignity.
Daerah Istimewa Yogyakarta, 30092017,
namaste
Tags:
disclosure
0 komentar