Tentang Relasi Jarak Jauh: Seminggu Pertama
![]() |
source: pinterest.com |
Sudah seminggu kita menjalani relasi jarak jauh ini. Berat, ya? Bagiku sangat berat. Waktu terasa lambat dan membunuh. Ketiadaan dirimu di sekitarku menimbulkan hampa yang teramat menyiksa. Seminggu pertama ini kulewati dengan sangat kurangnya tidur dan makan, serta sangat banyaknya menangis dan menyendiri, bahkan terjatuh dari motor akibat tidak berkonsentrasi di jalan. Aku yakin ini semua juga berat bagimu. Terlebih lagi, tekanan psikologis yang harus kau hadapi di sana dengan keluarga dan pekerjaan. Untuk itu, aku tidak ingin berbicara lebih jauh tentang detail penderitaan yang ku alami di sini. Satu hal yang pasti, kita berdua sedang sama-sama berada dalam masa transisi. Stress? Wajar. Kita hanya belum terbiasa. Depresi? Wajar. Kita hanya sedang menyesuaikan diri; layaknya makhluk hidup, kita masing-masing sedang beradaptasi dengan lingkungan yang asing dan benar-benar baru. Sama, walaupun dengan tataran yang berbeda.
Jika ada yang pantas disebut sebagai malaikat
penyelamat dalam kasusku adalah Eric Weiner, sang penulis “The Geography of Bliss” dan “The
Geography of Genius”. Berkat dia, aku terinspirasi. Apabila kita merasa
tidak bahagia, maka carilah orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang tidak
bahagia, lalu bicara dengan mereka, maka sedikit banyak kita akan tahu apa itu kebahagiaan. Dan walaupun hal itu tidak
lantas begitu saja membuat kita bahagia, setidaknya kita telah memasuki tahap
awal untuk merasa bahagia, yaitu menerima keadaan atas apa adanya diri kita.
Ya, ujungnya adalah bersyukur; hal sederhana yang sayangnya sangat sulit bagi
kita berdua.
Dengan susah payah aku pun mulai berbenah.
Belum sepenuhnya, memang, tapi paling tidak, selama dua hari terakhir ini aku
berhasil keluar dari sarangku. Lumayan, ada kemajuan. Aku sadar aku bukan orang
yang mudah terbuka untuk menceritakan kisah pribadiku terhadap orang lain,
bahkan kepada sahabatku sendiri yang telah kukenal sangat dekat. Oleh karena
itu, aku mengikuti jejak Eric Weiner; aku akan menemui orang-orang yang sedang
menjalin relasi jarak jauh. Mengapa sedang?
Apabila aku bicara dengan yang telah
atau sudah pernah mengalami relasi jarak jauh sekarang, maka konteksnya tidak
akan sesuai. Mereka yang relasi jarak jauhnya berakhir dengan putus akan berapi-api
untuk menciutkan hatiku yang memang sudah kecil ini. Sedangkan mereka yang
relasi jarak jauhnya berakhir dengan bahagia (dan kini telah berjarak dekat)
akan melambungkanku dalam angan yang berujung pada delusi. Tidak, aku tak butuh
keduanya. Aku membutuhkan sesuatu yang nyata; riil untuk ditelaah dan diambil
intisarinya.
Hari ini aku bertemu dan bicara dengan dua
orang teman yang keduanya menjalin relasi jarak jauh dengan kekasih mereka
masing-masing. Dari keduanya aku belajar banyak. Dan yang jelas, aku belajar
tahap pertama dalam menjalani relasi jarak jauh: penerimaan (acceptance).
Adalah Yosep, akrab dipanggil Ocep. Kau pun
mengenalnya. Faktanya, justru dirimulah yang mengenalkan aku lebih akrab dengan
sosok Ocep ini. Dia telah menjalin relasi jarak jauh dengan kekasihnya, Melo
(yang kau juga kenal), selama lima bulan. Selama lima bulan itu pula, mereka
berdua belum bertemu lagi. Dan mereka juga belum tahu kapan akan sanggup
bertemu lagi. Ocep di Yogyakarta, sedangkan Melo nun jauhnya di Dumai; yang
mana untuk ke sana memakan satu kali perjalanan pesawat serta berjam-jam
perjalanan darat. Kendala untuk bertemu adalah biaya perjalanan yang begitu
tinggi yang tidak sebanding dengan kemampuan finansial Ocep. Seperti yang kita
berdua tahu, ia belum baru saja lulus dan belum bekerja.
Orang kedua adalah Hasnun. Ia sahabatku sejak
SMP dan sudah pula kukenalkan padamu. Ia dan kekasihnya, Yopi, telah menjalin
relasi jarak jauh selama satu setengah tahun. Dalam jangka waktu satu setengah
tahun tersebut, mereka hanya bertemu satu kali, yaitu ketika Yopi datang ke
Yogyakarta selama tiga minggu. Hasnun di Yogyakarta, sedangkan Yopi tengah
menuntut ilmu di Jerman; yang mana untuk ke sana menghabiskan berjam-jam
perjalanan pesawat. Kendala untuk bertemu, tentu saja selain tiket pesawat
Indonesia-Jerman yang sangat mahal, juga jadwal yang tidak memungkinkan karena
pekerjaan Hasnun di sini dan kuliah Yopi di sana.
Ketika aku bertanya pada mereka, “Bagaimana
kalian berkomunikasi?” Baik Ocep maupun Hasnun memberikan jawaban yang berbeda,
namun dengan satu persamaan: harus ada komunikasi dalam setiap harinya, paling
tidak, jangan sampai hilang. Perbedaannya terletak pada cara. Ocep lebih
memilih untuk berkomunikasi melalui pesan teks. Baginya, pesan suara atau video
justru semakin membuat rasa rindunya tak tertahankan. Sementara bagi Hasnun,
yang mengaku sebagai pribadi yang pencemburu dan agak posesif, komunikasi tidak
boleh terhenti. Pesan teks wajib hukumnya. Keduanya pun harus meluangkan waktu
untuk pesan suara dan video. Pada tataran ini aku merasa kita tidak memiliki
masalah dalam berkomunikasi. Seharusnya wajar, karena kita berdua sama-sama
meraih gelar sarjana setelah bertahun-tahun belajar Ilmu Komunikasi. Pada titik
ini aku harus berterima kasih padamu untuk bersedia menjaga komunikasi itu
denganku. Seperti katamu beberapa hari lalu, “Justru dengan berbagi hal-hal
kecil lah yang membuat relasi ini berarti.”
Aku pun langsung menanyakan satu hal yang
menjadi kegelisahan utamaku, “Bagaimana rasanya? Apakah berat?” Keduanya
sepakat bahwa tentu saja rasanya berat (dan mereka menatapku seolah aku
menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya). Namun aku belum puas dengan
jawaban itu. Aku butuh elaborasi. Kata Ocep, satu bulan pertama pasti berat,
apalagi ketika sebelumnya kita dan kekasih terbiasa bersama setiap hari sebelum
akhirnya terpisah jarak begitu jauh. Itulah yang dirasakan Ocep. Jawaban itu
memuaskanku, karena aku memiliki konteks yang sama; kita memiliki konteks yang sama. Kita terbiasa bersama setiap hari.
Aku terbiasa bersamamu setiap hari. Aku terbiasa dengan keberadaanmu di
sekitarku setiap saat. Ini semua hanya soal kebiasaan. Dan hal ini diamini oleh
Hasnun. Ya, hanya soal kebiasaan. Dan menurut Hasnun, setiap waktu adalah fase
tersendiri dengan kadar ‘berat’ tersendiri. Dan bagi sebuah relasi jarak jauh,
kadar ‘berat’ itulah yang akan mendewasakan dan memberi arti bagi relasi itu
sendiri. Ya, aku setuju dengan itu. We
will grow through this.
Kemudian aku bertanya mengenai rindu.
“Bagaimana menghadapi rasa rindu?” Keduanya (karena memiliki konteks yang sama
dalam hal tidak mudah untuk mengunjungi kekasih mereka), menjawab bahwa rindu
tidak dihadapi, melainkan dibiasakan. Lagi-lagi ternyata soal kebiasaan.
Keduanya pun sepakat bahwa aku berada dalam posisi yang jauh lebih beruntung
karena Yogyakarta dan Mojokerto masih berada dalam satu pulau dan dapat
dijangkau dengan satu kali perjalanan menggunakan kereta api, dengan harga
tiket yang terjangkau pula. “Kalau kamu kangen,
kan tinggal naik kereta lima jam
saja,” ujar Ocep. Pada titik ini aku tersadar, ya, aku masih tergolong dalam
orang-orang yang beruntung. Dan seharusnya aku bersyukur atas itu. Aku
mengakhiri percakapan dengan perasaan lega; meminjam istilahmu, lega yang
menyesakkan. Lega, karena sedikit banyak aku menemukan jawaban atas keresahanku
sehingga aku sanggup memasuki tahap penerimaan atas kondisi yang baru dalam
relasi ini. Sesak, karena aku harus segera membagi ini semua denganmu.
Mendengar suaramu malam ini sungguh
menyesakkan. Aku tahu kau merindukanku, teramat sangat sehingga kau memilih
untuk mengakhiri sambungan telepon itu begitu cepat. Ya, aku teringat ujaran
Ocep mengenai pesan suara. Ini baru seminggu, dan dirimu seperti telah
sampai dalam batas tekanan; seperti yang selalu aku takutkan sejak hari pertama
kau pergi. Ya, itulah alasan mengapa aku mengurung diri dalam kemurungan selama
beberapa hari pertama setelah kau pergi. Aku tenggelam, atau lebih tepatnya
‘sengaja menenggelamkan diri’, dalam ketakutanku sendiri. Aku rasa dirimu
sedang berada pada tataran yang sama. Pada titik ini, aku harus menyebutkan
satu malaikat lain yang menarikku keluar dari lubang kubur yang aku gali
sendiri: Dian Arymami, alias Monic. Ya, kau sangat kenal sosok satu ini.
Aku memang tak sepandai Monic
dalam meyakinkan orang lain, namun aku sangat ingin meyakinkanmu (seperti yang
telah dia lakukan padaku), bahwa kita harus berhenti mencampur-adukkan antara
masalah yang ‘nyata’ dan yang ‘tidak nyata’. Segala yang ada dalam kepala kita
tidak nyata. Ketakutan itu tidak nyata. Ia bisa menjadi nyata karena kita terus
memikirkannya. Maka dari itu, berhentilah memikirkannya. Tidak ada masalah yang
berarti dalam relasi kita; kita hanya terlalu rindu pada satu sama lain, kita
hanya terlalu lelah untuk tidak berdekatan dan bisa saling memeluk dan mencium.
Kita saling mencintai dan saling menginginkan untuk bersama. Kita masih membaca
halaman yang sama dan berbicara dengan bahasa yang sama. Relasi kita hanya
sedang ditangguhkan, karena aku tak berada di dekatmu pun kau tak berada di
dekatku. Ocep dan Melo, Hasnun dan Yopi, relasi mereka pun ditangguhkan, dan
selama proses itu mereka berusaha untuk dapat bersama (dalam hal ini, hidup
berdekatan kembali). Pun dengan kita; percayalah, aku sedang berusaha dengan
caraku sendiri untuk bisa hidup dekat denganmu lagi. Dan aku harap kau
melakukan hal yang sama. Untuk itu, bersabarlah.
Jujur hatiku sakit ketika kau berkata lewat
telepon pada malam tadi,
“Cobalah bertemu dan pergi dengan lelaki lain.” Rasanya seperti tersengat lebah
di siang bolong (padahal itu malam hari dan aku yakin benar tidak ada lebah yang sedang berkeliaran
di sekitarku). Pertama, apa yang kau katakan sangat di luar konteks. Tidak ada
hubungannya antara sedih, sakit, dan sepiku karena jauh darimu dan menemui lelaki lain. Pointless. Percuma. Tidak ada
artinya. Menemui lelaki lain
tidak akan menghilangkan rasa rinduku padamu, karena yang selama ini terjadi,
justru aku semakin merindukanmu setiap kali aku bertemu dengan lelaki lain
(yang terjadi selama kita belum berelasi jarak jauh, dan seringnya terjadi
ketika kita sedang bertengkar). Aku masih dan akan selalu mencari sosokmu di
setiap lelaki yang aku temui.
Poin pertama ini kemudian mengarahkan pada poin
kedua: alih-alih menyelesaikan masalah, itu hanya akan menambah masalah. Dengan
kata lain, menemui lelaki lain bukanlah solusi. Daripada aku menghabiskan waktu
untuk merayu lelaki lain, lebih baik aku mengerjakan buku “A Nation of (Imaginary) Fear”. Daripada aku menghabiskan uang untuk
pergi dengan lelaki lain, lebih baik aku menabung untuk membeli tiket kereta ke
Mojokerto. Bersama dengan lelaki lain mungkin akan memberikanku kepuasan
seksual, yang mana sifatnya hanya sementara. Sedangkan bersamamu, hanya
denganmu, aku sanggup merasakan kenyamanan batin dan kedamaian jiwa yang tiada bandingannya. Tak apa
kalau kau bertemu dengan wanita lain, mungkin itu membantumu, tetapi yang jelas
itu tak akan membantuku. “The others are only temporary, because you are my permanent.”
“If you withdraw from me because I’m struggling
without you, even if you want me to meet another person, and to fill your place
that you left, that space can be only filled with despair. Don’t be sorry even
if you’re gone far away, because your presence will fill the inside of me as
always. It won’t take too long until that day comes, when we can meet again and
never be apart. Until then, please just wait for a while for me.”
Bersabarlah; ini baru seminggu
dan kita berada dalam masa transisi. Dirimu penuh dengan kebingungan dan
kebimbangan. Wajar. Pun dengan diriku. Namun satu hal yang membuatku tetap
bertahan: aku percaya. Aku percaya padamu. Dan aku tengah belajar untuk percaya
pada diriku sendiri. Alih-alih menarik diri dari satu sama lain, ini adalah
saat bagi kita untuk saling membantu. Dan dari situlah kita belajar. Dari
situlah relasi ini menjadi dewasa. Aku tahu, perjuanganmu di sana tidak mudah.
Kau berkata berkali-kali bahwa aku tidak tahu keadaan di sana yang
sesungguhnya. Untuk itulah aku ingin tahu. Tunjukkan padaku. Aku akan ke sana
dan tunjukkanlah padaku. Izinkan aku membantumu sebisaku. Jangan menolak, aku
mohon. Saatnya aku mengutip sang Raja Pop, Michael Jackson, di sini: “Whisper three words and I’ll come running.
And you know that I’ll be there. I’ll be there.” Ya, sebut namaku tiga kali,
seperti Beetle Juice.
Seperti katamu, mudah bagiku
untuk bicara, karena aku tidak tahu apa-apa. Ya, aku memang tidak tahu apa-apa.
Setidaknya, aku tahu betapa beratnya harus berdiri di antara impian yang
berserakan dan kebahagiaan orang tua serta tanggung jawab moral sebagai anak.
Mudah memang untuk bicara (hal-hal yang mudah dibicarakan justru biasanya
adalah hal yang paling susah dilakukan), tetapi paling tidak, kata-kata adalah
motivasi. Ini saatnya kita menjadi dewasa, jadi mari ganti ketakutan dengan
motivasi. Saat ini, yang bisa kukatakan mengenai perjuanganmu dengan segala hal
di sana adalah: yakinlah pada insting dan moralmu. Bertahan saat kamu merasa
harus bertahan. Tidak usah pedulikan kata-kata orang lain. Lepaskan saat dirimu
siap untuk menyudahi perjuangan. Kita masih terlalu muda untuk menyerah saat
harus memasuki babak berdarah-darah. Kita juga sudah terlalu tua untuk merengek
lalu mengibarkan bendera menyerah. Bertahanlah, temukan solusinya, kerjakan dan
usahakan, terus lakukan hingga hatimu menyuruhmu berhenti.
Selebihnya, kau sudah tahu; aku
mencintaimu.
“And when your fears subside, and shadows still remain, I know that you can love me when there’s no one left to
blame. So never mind the darkness, we still can find a way. Nothing lasts
forever, even cold November rain.”
Bantul, 10062017,
seminggusetelahkaupergi
Tags:
disclosure
1 komentar
Love.
ReplyDelete