Tentang Relasi Jarak Jauh: Paranoid dan Sekitarnya
Minggu lalu kau menepati janjimu untuk datang ke sini. Sudah hampir tengah malam ketika kau tiba di sini, dan dengan begitu, waktu itu kita hanya punya waktu 18 jam saja untuk bersama. Bahkan tidak sampai satu hari. Aku merasa senang sekaligus sedih.
Senang, karena akhirnya kita
berjumpa setelah dua minggu lamanya aku memendam rindu. Rasa senang itu semakin
dipupuk dengan waktu yang kita habiskan bersama, percakapan yang berkualitas,
tidur yang tidak lagi seorang diri, serta kunjungan kita ke rumah Ibu Svet.
Senang yang dilingkupi rasa lega dan haru, karena aku menjumpai sosok dirimu
yang sedikit lebih dewasa. Bukan, bukan dari penampilanmu. Namun, aku merasakan
perubahan itu dari sikap dan lakumu. Dirimu sudah bertambah dewasa. Meskipun
jalannya masih panjang, untuk melihat sosok dirimu yang makin dewasa itu, aku
merasa senang, lega, dan haru.
Sedih; karena hanya 18 jam saja
tenggat waktu yang ada untuk kita melepas rindu. Rasa sedih itu semakin dipupuk
dengan fakta yang aku dapatkan bahwa kau ternyata singgah di tempat lain
terlebih dahulu sebelum ke sini. Seandainya kau tak singgah, bukankah waktu
yang kita miliki bersama akan lebih panjang? Namun sepertinya itu tak penting
bagimu. Sepertinya kau lebih menikmati tempat singgahmu. Aku sudah terbiasa
untuk menjadi tidak signifikan. Pun dengan kali ini. Sedih yang dilingkupi rasa
takut dan gelisah, karena menjumpai sosok dirimu yang sedikit lebih dewasa. Ya,
aku senang, lega, dan haru, sekaligus sedih, takut, dan gelisah. Aku takut kau
tidak akan membutuhkanku lagi ketika kau telah dewasa. Aku gelisah bahwa diriku
yang memang tidak signifikan ini akan semakin tak ada nilainya bagimu.
Segera setelah ku ungkapkan
kegelisahanku, kau meredakannya dengan berkata bahwa tidak mungkin dirimu tidak
membutuhkanku. Kau bilang, bahwa kita sampai pada titik karena kita bersama;
bahwa kau sampai pada titik ini karena kau bersamaku. Dan kau berkata bahwa
kita menjalani ini semua bersama-sama. Aku memilih untuk percaya padamu. Kau
benar. Kita menjalani ini semua bersama-sama.
Namun beberapa hal terus
mengganggu benak dan pikiranku. Hingga beberapa hari yang lalu, perasaan itu
meluap menjadi amarah kepadamu. Dan seperti yang selalu kau lakukan setiap kali
aku meledak marah, kau pergi dan malah mendiamkanku alih-alih mencoba
menenangkanku. Ternyata, untuk hal yang satu ini kau masih belum beranjak
dewasa.
Seperti yang selalu aku lakukan
setiap kali aku meledak marah dan kau memilih pergi, aku mencoba mengurai
sendiri permasalahanku.
Power and money; they are two things that I am afraid of the most in
this world.
Dan kau memiliki keduanya. Kuasa
dan uang; dua hal yang paling aku takutkan di dunia ini. Wajar ketika “kuasa”
menakutkan beberapa orang. Perjalanan sejarah bangsa-bangsa telah mencatat
bahwa kuasa banyak menimbulkan mala petaka, terlebih ketika tidak digunakan
secara bijaksana. Namun, uang, kita semua butuh uang. Meskipun uang bukan
merupakan satu-satunya kebahagiaan, ia sanggup menjadi jembatan menuju
kebahagiaan itu sendiri. Lalu mengapa aku takut padanya?
Apabila ditinjau melalui
pandangan Freud, semua akar permasalahan manusia bermula dari keluarga. Pada
tataran ini, mungkin memang begitu adanya. Setiap kali ayahku meninggalkan
ibuku untuk singgah di tempat lain, ia melakukannya ketika ia sedang berada di
puncak kuasa dan uang. Aku sadar betul bahwa kau bukanlah ayahku dan aku
bukanlah ibuku. Jujur, hingga saat ini pun aku belum tahu bagaimana cara
menghentikan ketakutan ini.
Ketakutan atas dua hal itu
merasuk dalam relungku untuk sekian lama. Tanpa aku sadari, ia muncul ke
permukaan setiap kali aku mendapati dirimu menemukan tempat singgah yang lain.
Dengan segera, ketakutan dan temuan itu berjalin-kelindan dalam pikiran dan
benakku, menjadi benang kusut yang sekarang sedang ku coba untuk uraikan.
Kuasa, uang, tempat singgah;
pikiran dan benakku tengah dikusutkan oleh tiga hal ini. Kemudian pada hari
itu, kau mengabaikanku (dan tak memberikan penjelasan mengapa kau
mengabaikanku, bahkan ketika aku meminta penjelasan itu). Tembok pertahananku
runtuh sudah. Harga diriku (kalau aku masih punya) dihajar habis-habisan oleh
insekuritas dan kegelisahan. Rasa percaya diriku (kalau masih ada) diremukkan
sedemikian rupa oleh rasa takut dan ragu. Aku habis tak tersisa. Kalau saja kau
tak meneleponku lebih dulu pada malam berikutnya, mungkin aku sudah tak
terselamatkan. Siapa yang akan tahu? Tak ada yang tahu.
Aku mengerti bahwa ketakutan ini
adalah masalah yang harus aku selesaikan sendiri. Mungkin tak akan ada yang
sanggup membantuku, baik dirimu sekalipun. Aku tak meminta banyak darimu, hanya
kesabaran untuk mendampingiku dalam proses melawan ketakutan ini. Dulu ketika
kau masih ada di sini, setiap kali rasa takut itu datang, aku akan memandang
wajahmu, dan semuanya akan kembali baik-baik saja. Namun kini setelah kau jauh,
aku harus menemukan distraksi untuk mengenyahkan rasa takut itu supaya tidak
menggerogoti rasionalitasku. Jadi, tolong jangan marahi aku ketika aku terlalu
sering menonton serial drama Korea. Tolong jangan larang aku untuk menulis atau
mengunggah tentang kita.
Ah, mengenai tulisan dan
unggahan, kita telah membicarakannya, dan aku sangat berterima kasih padamu
untuk tidak merenggut itu dariku. Aku sangat berterima kasih kau sanggup
memahami bahwa itu semua adalah bentuk terapi yang aku berikan pada diriku
sendiri untuk mengatasi kesepian (dan ketakutan) ini. Ini salah satu alasan
mengapa aku merasa kau lebih dewasa. Inilah salah satu bentuk kedewasaanmu. Aku
merasa lebih dari bahagia.
Satu hal lagi yang membuatku
lebih dari bahagia: soal mimpi. Kau telah mengenalku cukup lama dan dalam untuk
paham bahwa aku adalah orang yang susah membagi mimpiku, bahkan kepada orang
terdekat sekalipun. Bukan karena aku tak mau, melainkan karena aku tak mampu.
Aku tidak mempunyai rasa percaya diri sebesar itu untuk menceritakan impian dan
cita-citaku kepada orang lain. Aku terlalu takut atas penolakan yang mungkin
hadir dari mereka. Lagi-lagi, menurut Freud, semua terjadi karena masa kecil
dan pertumbuhanku. Namun semenjak kau hadir, sedikit demi sedikit aku belajar
untuk terbuka; untuk jujur atas apa yang aku rasa, bahkan atas apa yang aku
takutkan. Terlebih lagi, kau menerima “mimpi”ku dengan sangat terbuka. Dan
tidak hanya itu, kau menyatakan dukunganmu. Aku tidak bisa lebih berterima kasih
lagi. Aku merasa lebih dari bahagia.
“Datanglah sayang, dan biarkan ku
berbaring di pelukanmu walaupun ‘tuk sejenak.
Usaplah dahiku, dan ‘kan ku
katakan semua.
Bila ku lelah, tetaplah di sini,
jangan tinggalkan aku sendiri.
Bila ku marah, biarkan ku bersandar,
jangan kau pergi untuk menghindar.
Rasakan resahku, dan buat aku
tersenyum dengan canda tawamu, walaupun ‘tuk sekejap,
Karena hanya engkaulah yang
sanggup redakan aku,
Karena engkaulah satu-satunya
untukku dan pastikan kita s’lalu bersama,
Karena dirimulah yang sanggup
mengerti aku dalam susah ataupun senang.”
Kamu membacaku begitu mudah,
seperti membaca buku yang terbuka. Dan itu membuatku lebih dari bahagia, namun
sekaligus ketakutan setengah mati. Bertahun-tahun aku mencari tahu mengapa
diriku susah terbuka kepada orang lain. Selain karena faktor keluarga dan masa
kecil, mungkin juga karena golongan darah. Golongan darahku A, dan berdasarkan
riset yang dilakukan oleh orang Korea Selatan (ya, mereka percaya bahwa
golongan darah memiliki pengaruh dalam menentukan kepribadian seseorang),
orang-orang dengan golongan darah A adalah orang-orang yang penuh analisis dan
juga sensitif. Kami mudah stress dan berpikir berlebihan (overthink) terhadap semua hal. Kami keras kepala dan mudah merasa
khawatir, karena kami sesungguhnya perfeksionis, bertanggung jawab, dan punya
kesadaran diri yang tinggi.
Social life: Reliable and kind, type A’s will care for you like a
mother, but will avoid confrontation because they dislike conflict. As a
result, they may be passive aggressive when angered or hurt. Because they feel
uncomfortable around people and spontaneity, type A’s might also feel awkward
during crazy parties.
Love life: Type A’s don’t open up easily because they’re
self-conscious, shy, and can get paranoid. Those who attempt to court type A’s
will need to be patient. When a type A does eventually return your love,
however, the reward is very satisfying. Type A’s are selective, and when they
choose you to be their partner, they’ll let you in on all their complexities
and show you sides that only you are privy to.
Uraian di atas menjelaskan
mengapa aku begitu mudahnya terbuka denganmu dibandingkan dengan orang lain.
Dan ya, aku bisa menjadi paranoid. Aku sedang paranoid. Dan aku mengizinkanmu
untuk tahu bahwa aku paranoid; suatu keistimewaan yang tidak aku bagi detailnya
kepada orang lain. Denganmu, aku bisa menanggalkan segala kepura-puraan yang
melingkupiku; itu membuatku lebih bahagia sekaligus ketakutan. Namun ketika kau
menerima semuanya dengan lapang dada, itu membuatku lega, tanpa rasa takut.
Aku tidak ingin kehilangan apa
yang telah dan akan kita miliki ketika kita bersama; apalagi hanya karena
ketakutan yang tidak sanggup aku hadapi. Aku sedang berupaya untuk menghadapi
ketakutan itu. Aku tengah berjuang untuk
berdamai dengan diriku sendiri. Satu hal yang membuatku merasa yakin bahwa aku
sanggup: ada kamu bersamaku.
Terima kasih. Terima kasih.
Terima kasih. Maaf.
Selebihnya, kau pun tahu; aku
mencintaimu.
Kota Yogyakarta, 24062017,
ditengahramaimalamtakbir
Tags:
disclosure
0 komentar