Tentang Relasi Jarak Jauh: Minggu Kedua
Sudah dua minggu berlalu sejak dirimu mengemasi sebagian baju, semua buku, alat musik, serta alat rekammu dan pergi meninggalkan rumah ini. Bagiku, minggu kedua ini secara emosional mulai terasa ringan dibandingkan seminggu pertama kemarin. Paling tidak, frekuensi menangisku mulai berkurang, walaupun tidak menghilang sama sekali. Paling tidak, frekuensi munculnya sisi gelap jiwaku (yang pesimis, penuh insekuritas, ketakutan, dan kegelisahan) mulai berkurang, meskipun tidak seluruhnya menghilang. Namun, secara fisik, minggu kedua ini justru terasa semakin berat bagiku. Mungkin karena kali ini aku benar-benar sendirian di rumah ini. Fahmi pulang ke Semarang hari Senin kemarin (dan baru akan kembali ke sini akhir Juli nanti, ya, JULI). Sedangkan Patricia, ya, hanya Tuhan dan Natsumi yang tahu di mana dia berada dan kapan ia akan kembali ke rumah. Jadi ya, seperti nyanyian almarhumah Nike Ardilla, tinggallah diriku di sini sendiri. Semoga saja aku tidak alih profesi menjadi nelayan yang kemudian kehilangan arah.
Terkadang
ketika sisi gelap jiwaku muncul dan mengambil alih, aku merasa marah padamu;
karena pergi meninggalkanku. Karena memutuskan
untuk pergi meninggalkanku seorang diri di sini. Padahal kau tahu aku telah
melepaskan segalanya untuk mengikutimu ke mana pun kau pergi. Seperti yang
pernah kau bilang tentangku, aku adalah anjing yang penurut; lebih tepatnya,
anjingmu yang penurut (“She’s always been
this obedient dog, right?” Katamu pada suatu malam, yang mungkin sudah tak
kau ingat lagi karena kau mengatakannya dalam kondisi marah). Aku selalu
mengikutimu ke mana pun kau pergi. Namun semua itu selalu berujung pada dirimu
yang meninggalkanmu. Bukan salahmu, memang. Bukan salahmu, aku tahu dan paham
semua itu. Hanya saja ketika sisi gelap yang berkuasa, rasionalku seolah
berhenti begitu saja. Aku hanya bisa menangis. Menangisi betapa tidak
berharganya diriku ini, karena pada akhirnya tak akan ada yang tahan hidup
bersama denganku.
Ingatanku
kemudian melompat-lompat dalam rangkaian kegelisahan dan rasa sendu. Ya, ini
yang terjadi setiap kali sisi gelap datang mengambil alih. Aku teringat setiap
kali kau menolak permintaanku untuk memotretku. Wajar saja kau tak mau,
pikirku, aku hanyalah perempuan dengan wajah jelek dan pas-pasan; mana mau kau
menyia-nyiakan waktu untuk memenuhi permintaanku itu. Wajar pula ketika kau
jarang mau dipotret berdua denganku. Mungkin kamu malu bersanding dengan
perempuan sepertiku, yang tidak bisa dibandingkan dengan perempuan-perempuan
yang jauh lebih cantik dan seksi di luar sana yang rela berbaris dalam antrian
untuk diajak kencan semalam denganmu dan selalu mengirimkan pesan rindu
kepadamu hanya setelah satu atau dua kali kencan pertama. Aku juga
bertanya-tanya mengapa kau meninggalkan hampir seluruh barang yang mungkin
dapat mengingatkanmu padaku; foto kita berdua, surat dariku, ah ya, aku berani
bertaruh bahwa kau bahkan sudah lupa di mana kau menaruh surat yang kuberikan
padamu itu. Mungkin memang tidak berarti bagimu. Mungkin kau memang tidak mau
mengingatku di sana. Wajar; perempuan sepertiku. Tidak penting.
Namun tenang
saja, tidak butuh waktu lama bagiku untuk kembali berpijak pada rasionalitas.
Seperti yang pernah aku katakan berkali-kali padamu, aku ini terlalu rusak (damaged). Gelap dan terangku bisa
berubah begitu cepat layaknya sakelar lampu yang korslet. Rasionalitasnya
adalah: ini bukan salahmu ataupun salahku. Kau pergi karena punggungmu telah
terdesak ke dinding (your back against
the wall). Tak ada pilihan lain. Benarkah? Ya, setidaknya untuk saat ini.
Kemudian, rasionalitasnya adalah: aku mengikutimu karena itu adalah pilihanku
sendiri. Kau tidak pernah memaksaku. Pun dengan keputusan bahwa aku akan tetap
tinggal di sini setelah kau pergi. Itu adalah keputusanku sendiri. Kau tidak
pernah memaksaku untuk tinggal. Kau bahkan menyuruhku untuk pindah. Namun,
pindah pun bukan merupakan keputusan yang bijak untuk saat ini. Pada akhirnya,
manusia hidup atas konsekuensi dari pilihan-pilihan yang mereka buat sendiri.
Kita masih terlalu muda untuk menyerah ketika pilihan menghasilkan konsekuensi
yang mengharuskan kita bekerja lebih keras. Kita juga sudah terlalu tua untuk meratapi
pilihan yang ternyata menghasilkan konsekuensi yang melenceng dari prediksi
kita.
Satu hal yang
aku tahu pasti: aku mengikutimu karena aku ingin
bersama denganmu, karena aku mau. Dan aku tidak akan pernah menyesali itu. Jutaan
rasa sedih dan sepi tak akan sanggup menghapus ribuan kebahagiaan yang aku
rasakan di setiap waktu yang aku habiskan bersamamu di sini. Yang kita punya
bersama adalah nyata (real), langka (rare), dan sangat berarti.
Tadi aku sempat
menuliskan bahwa minggu kedua ini secara fisik terasa lebih berat bagiku. Ya,
aku benar-benar sendirian kali ini. Fahmi telah menjadi supporting system yang luar biasa dalam seminggu pertama setelah
kau pergi. Ketika masih ada Fahmi, setidaknya masih ada tenaga laki-laki untuk
mengerjakan pekerjaan berat. Selain itu, ia juga sering memasak. Bahkan di hari
ketika ia pergi ke Semarang, ia sempat meninggalkan nasi, lauk, dan sayur
untukku. Aku menjadi merasa bersalah padanya, karena aku tidak benar-benar
‘ada’ dalam seminggu pertama setelah kau pergi. Padahal aku tahu, ia juga
sangat sedih dengan kepergianmu. Tentu saja hal ini tidak aku ketahui darinya
langsung, melainkan dari Yura, pacarnya. Aku tidak bisa cukup berterima kasih
pada mereka berdua untuk ‘ada’ di sekitarku selama seminggu pertama setelah kau
pergi.
Kini setelah
aku benar-benar sendirian, aku menyadari bahwa selama ini dirimu telah mengurus
begitu banyak hal baik secara fisik (menyapu halaman, membersihkan kamar,
membersihkan rumah, membersihkan kamar mandi, mengganti galon, mencari servis
listrik ketika sedang bermasalah) maupun finansial (membayar listrik, membeli
air minum, membayar tukang sampah, membayar laundry,
membeli bahan makanan). Semua hal yang biasa kau urus, ditambah dengan hal-hal
yang memang biasa aku urus, sekarang aku harus melakukannya seorang diri. Mungkin
ini yang membuat semuanya terasa berat. Pada titik ini aku benar-benar merasa
salut pada para ibu tunggal di luar sana yang mengurus rumah tangganya seorang
diri tanpa sosok suami. Aku tidak bisa cukup berterima kasih padamu untuk
mengurus semua hal itu sewaktu kau masih ada di sini.
Pada suatu
siang aku terbangun dengan kondisi tidak sehat. Kepalaku berputar (tidak, tidak
secara harafiah); fase awal dari vertigo. Seluruh badanku terasa sakit karena
merindukanmu. Mungkin aku mengidap Vidi-kronis; semacam penyakit psikosomatis
(sakit fisik yang disebabkan oleh sakit psikologis) yang muncul karena terlalu
merindukanmu. Yah, tidak ada yang sanggup memprediksi, bahkan diriku sendiri,
bahwa aku akan baik-baik saja setelah kau pergi. Tidak, tidak ada. Beberapa
kali aku menolak tawaran dari Monic ataupun Syakira untuk bermalam di tempat
mereka. Bukan karena aku tak mau, tetapi karena aku ingin menguji diriku
sendiri; sejauh mana aku sanggup bertahan sendiri tanpa mengeluh. Aku sadar
orang-orang memandangku sebagai sosok yang terlalu mandiri (bahkan kau pun
berpikir demikian pada suatu masa), namun kau sendiri tahu betapa aku bisa
menjadi begitu manjanya ketika bersama denganmu. Dan ya, memang, aku hanya
membiarkan diriku menjadi manja ketika bersama denganmu; hanya kepadamu.
Membaca dari
pesan-pesan yang kau kirimkan padaku belakangan ini, sepertinya kau sudah mulai
menemukan ritmemu di sana. Aku turut bahagia. Pun bangga. Aku selalu tahu bahwa
kau bisa melakukannya. Di sisi lain, beberapa pesan menyadarkanku bahwa tingkat
kerinduan pun semakin meningkat dalam dirimu; mungkin bukan rindu kepadaku,
tetapi lebih kepada kehidupanmu di sini. Bersabarlah. Akan ada waktunya. Namun
sepertinya, meskipun sering kita rapal bersama, kata “sabar” belum menjadi
sahabat kita. Semalam, pertengkaran pertama kita terjadi. Ya, mungkin bagimu
itu bukan pertengkaran, tetapi bagiku itu jelas sebuah pertengkaran karena aku
merasa marah padamu. Pun dari nada bicaramu kau terdengar marah padaku. “Aku
kira kamu secerdas itu, tahu nggak?!”
Kau membentak dengan nada tinggi layaknya tokoh protagonis dalam sinetron yang
tengah kecewa mendapati kekasihnya berkhianat.
Kamu bicara
soal konsep dirimu dan segala atribut yang menempel padamu. Kamu bicara soal
semua hal yang aku kenal tentangmu. Katamu semua itu sudah mati. Benarkah? Aku
marah. Pertama, aku marah karena kecewa. Kecewa akan apa? Bukan; bukan karena
kamu berpikir bahwa aku tidak tahu apa-apa dan tidak benar-benar mengenalmu
(meskipun pikiranmu itu juga begitu menyakitkan bagiku) dan bahwa aku tidak
secerdas itu untuk tahu segalanya. Aku kecewa karena ternyata kau tidak mengenalku
cukup baik untuk tahu bahwa aku lebih baik “menderita dalam ke-tahu-an”
daripada “bahagia dalam ke-tidak tahu-an”. Kedua, dirimu sendiri yang bilang
bahwa dengan berbagi dan bercerita tentang hal-hal sederhana lah yang membuat
hubungan ini berarti. Namun apa yang terjadi? Kau justru mendorongku jauh dari
hal sederhana yang kau anggap tidak penting itu. Aku hanya ingin mendengarnya
namun kau tak ingin bercerita. Ketiga, lagi-lagi kau tenggelam dalam
ketakutanmu sendiri; ketakutan atas realita, krisis identitas, jati diri, dan
takut atas kehilangan dirimu yang
sesungguhnya.
Mari kita mulai
dengan identitas. Bahkan bagi cendekiawan yang telah memelajarinya selama
puluhan tahun bahkan meraih gelar profesor, “identitas” adalah sesuatu yang
cair dan penuh dengan kontestasi. Identitas pun berbeda dengan peran sosial.
Berkali-kali sudah aku membahas soal ini denganmu. Peran sosial apapun yang kau
sedang jalani sekarang di sana, aku yakin itu semua tidak akan mengubah seorang
dirimu yang telah aku kenal selama
ini. Dia akan selalu ada di dalam
sana, meskipun bungkus dirinya kini tengah menjelma menjadi orang lain dan
melakukan hal-hal yang dia tidak suka, bahkan benci sekalipun, dia ada di dalam sana. Pun ketika dirimu
merasa kau telah berubah, bukan berarti kau memang sepenuhnya berubah. Itu
hanya wujud dari dirimu yang tengah
atau telah beradaptasi dengan peran sosialmu. Manusia tidak pernah benar-benar
berubah, Sayang, dan kita tahu betul itu. Dan ketika melepasmu pergi ke sana,
aku melakukannya bukan tanpa kesadaran bahwa dirimu akan bergeser atau bertransformasi. Aku sadar betul dengan
kemungkinan akan menjadi seperti apa dirimu di sana. Dan aku tak akan kaget
ketika itu terjadi. Kau tak mau itu terjadi? Tenanglah. Kau selalu punya aku
untuk mengingatkanmu kembali siapa dirimu sebenarnya; dirimu yang kau inginkan.
Orang punya
cara mereka masing-masing untuk peduli.
Dan kau bilang bahwa kau melakukannya karena kau peduli padaku. Oke, pada tataran ini aku bisa menerimanya. Yang
membuatku tidak habis pikir adalah bisa-bisanya kau meletakkan segala kepedulian itu pada perasaanmu semata
tanpa menimbang bagaimana perasaanku atas semua itu. Sekali lagi, aku sangka
kau mengenalku dengan cukup baik untuk tahu bahwa aku selalu senang mendengar
semua ceritamu, bahkan ketika kau berpikir bahwa cerita itu tidak cukup penting
untuk dibagi. Sisi pesimisku mulai berpikir, bahwa mungkin kau tak lagi
menganggap hubungan ini berarti, atau jangan-jangan, sedari awal memang tak
pernah berarti bagimu? Namun lagi-lagi, aku menengok ke belakang, pada semua
yang telah kita lalui dan capai bersama, lalu sampai pada kesadaran; bahwa
apapun yang kau lakukan, bagaimanapun caranya, kau melakukan itu semua karena
kau sayang padaku. Dan aku yakin itu. Dan keyakinan itu pulalah yang membuatku memiliki
kekuatan untuk menunggumu. Hari ini kau bilang kau akan datang kemari. Entah
jam berapa kau akan sampai, entah sebelumnya kau akan mampir di mana dalam
perjalananmu, yang jelas aku menunggu, layaknya anjing yang penurut.
Aku tahu aku
bukanlah pribadi yang religius. Namun aku percaya bahwa Tuhan itu ada, dan Ia
selalu ada dengan cara-Nya sendiri, dengan kebaikan. Oleh karena itu aku masih
percaya pada suatu ritual sakral yang orang-orang sebut dengan berdoa, namun
aku menyebutnya sebagai “berbicara” dengan Tuhanku. Dalam bicaraku aku selalu
menyebut namamu. Bahwa di mana pun kau berada dan apa pun yang sedang kau
lakukan di sana, semesta akan selalu menjaga dan memberkatimu.
Selebihnya, kau
pun tahu; aku mencintaimu.
Bantul,
17062017, dalamsepimenunggupagi
Tags:
disclosure
0 komentar