Ketika Seorang Mashita Bicara tentang (Budaya Populer) Jepang
Bagi seseorang yang mengenal saya cukup dekat, ketika tahu bahwa saya disuruh menulis tentang “Jejepangan” pasti akan tertawa geli sembari berseru, “Kapokmu kapan?!” Ya, setidaknya reaksi itulah yang muncul dari pasangan saya. Hmmm, saya rasa reaksi itu wajar ketika orang tahu bahwa saya adalah pengonsumsi budaya populer Korea tingkat berat; mulai dari serial drama Korea (Kdrama), film Korea (Kmovie), lagu-lagu Korea (Kpop), program serial televisi, hingga seluruh aspek industri hiburan Korea Selatan. Entah sejak kapan (kemungkinan besar karena sejarah mencatat bahwa Jepang sempat menjajah Korea), budaya populer Korea sepertinya ditempatkan dalam posisi vis a vis dengan budaya populer Jepang, sehingga sepertinya hal ini memengaruhi dunia per-penggemar-an. Namun, meskipun saya merupakan seorang penggemar Korean wave tulen, bukan berarti saya tidak menyukai bahkan membenci “Jejepangan”. Pasangan saya sendiri adalah penggemar “Jejepangan” sejati. Meskipun saya sering membanggakan Korean wave di depannya dan dia sering membanggakan “Jejepangan” di depan saya, kami berdua adalah bukti nyata bahwa penggemar “Koreaan” dan “Jejepangan” dapat hidup berdampingan dengan damai dan penuh cinta.
Tentang Anime
Mulai dari Doraemon, Sailor Moon, Wedding Peach, Saint Seiya, hingga Slamdunk, Inuyasha, Samurai X, Naruto, One Piece, sebutkan saja semua, anime mana yang saya tidak suka. Saya
suka semuanya, bahkan termasuk penggemar berat khusus Sailor Moon, Slamdunk, Inuyasha,
dan Samurai X. Saya tidak pernah melewatkan satu episode pun ketika pada
zamannya anime-anime tersebut
mengudara di stasiun televisi Indonesia. Saya bahkan pernah memiliki satu notebook khusus yang saya sulap sebagai
buku pernak-pernik tempat saya menempel gambar-gambar tokoh anime favorit beserta biodata mereka. Pada
masanya, saya bahkan berimajinasi bahwa saya adalah kekasih dari Rukawa
(Slamdunk) dan Sanosuke Sagara (Samurai X). Pada masanya pula, ketika ditanya
tipe pria ideal menurut saya, maka saya tidak akan ragu untuk menjawab Mamoru
alias Tuksedo Bertopeng. Ya, saya pernah se-alay
itu. Jangan ditanya. Fanatisme selalu membuka peluang bagi apapun.
Tentang Manga
Ini berkaitan dengan hobi saya membaca. Sejak SD, saya mengoleksi lengkap
komik Doraemon, Sailor Moon, dan Detektif Conan. Sejak SMP, saya mengoleksi
lengkap komik Samurai X, Harlem Beat, dan beberapa serial cantik seperti Imadoki,
favorit saya. Bahkan tempat nongkrong
favorit saya sewaktu SMP adalah tempat persewaan komik di belakang sekolah,
yang sayangnya kini telah pindah entah ke mana. Kalau diingat-ingat, saya mulai
jarang mengoleksi komik sejak SMA. Mungkin negara api menyerang pada saat itu.
Saya selalu suka semua manga yang
saya koleksi, tetapi yang paling meninggalkan kenangan adalah Harlem Beat.
Bukan apa-apa, hanya saja itu adalah komik favorit saya dan (mantan) pacar saya
pada waktu itu, Bagus Gilang Samudra. Karena Harlem Beat, Gilang bermain
basket. Karena Gilang bermain basket, saya menyukainya. Dan kami sama-sama
menyukai satu karakter bernama Masahiro Sawamura. Pada masa itu, tipe pria
ideal seorang Mashita berubah dari Mamoru menjadi Masahiro Sawamura.
Tentang Jpop dan Bahasa Jepang
Bicara soal lagu-lagu Jepang yang saya sukai maka tidak sanggup
dipisahkan dari anime, karena
sebagian besar lagu Jepang yang saya suka merupakan soundtrack dari anime; sebut
saja “It’s Gonna Rain” dari Bonnie Pink dan “Dearest” dari Ayumi Hamasaki. Selain
itu, lagu Jepang yang saya suka juga merupakan soundtrack dari serial drama Jepang; sebut saja “First Love” dari
Utada Hikaru. Selain itu, ada juga satu lagu yang sangat saya gemari, yaitu “True
Love” dari Fuji Fumiya (yang hingga kini masih menjadi lagu yang mana saya
ingin dilamar oleh seseorang dengan menyanyikan sekaligus memainkan gitarnya). Dan,
masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu. Karena lagu-lagu
tersebut, ketika SMP saya mengambil kursus Bahasa Jepang selama satu tahun di
Lembaga Indonesia-Jepang (dulu kantornya di daerah Sagan dekat Lembaga
Indonesia-Perancis, tetapi kini pindah entah ke mana), hanya untuk memahami
arti lagu-lagu tersebut. Saya berhenti kursus ketika di bangku SMA saya
mendapatkan pelajaran Bahasa Jepang sebagai bahasa asing yang resmi diajarkan
di sekolah, selain Bahasa Inggris dan Jerman. Meskipun demikian, kini saya
sudah agak lupa karena kemampuan berbahasa Jepang tidak pernah saya asah lagi.
Tentang Pria Ganteng, Serial
Drama, dan Film
Mulai dari “Long Vacation”, “First Love”, “Strawberry on the Shortcake”,
hingga “Hana Kimi Ikemen Paradise”; pada masanya saya menggemari serial drama
Jepang. Dan tentu saja, siapa yang tidak tahu “Crows Zero”? Film-film populer
Jepang pun saya tidak terlewat untuk menontonnya. Ketika berbicara mengenai
serial drama dan film, tentu saja motivasi saya ketika menonton adalah
pria-pria ganteng yang menjadi bintang di dalamnya. Saya mencatat ada beberapa
sosok signifikan yang mengisi relung hati seorang penggemar, yaitu Takuya
Kimura, Hideaki Takizawa, dan yang terbaru, Takeru Sato. Duh, ya, namanya juga
perempuan, kalau dibiarkan ngomyang
panjang lebar kali tinggi sama dengan volume tentang cowok-cowok ganteng tadi
maka tulisan ini tidak akan selesai. Anyway,
ada masa ketika tipe pria ideal seorang Mashita berubah dari Masahiro Sawamura
menjadi Takuya Kimura.
Terlepas dari budaya populernya, saya harus mengakui bahwa orang-orang
Jepang memiliki mental yang menurut saya menarik. Setidaknya itu yang saya
temukan dari beberapa orang Jepang yang pernah saya kenal, termasuk yang paling
baru ini adalah Koji (yang pernah saya sebutkan sebelumnya dalam tulisan “Hari Bumi dan Keluarga Pelangi”). Koji adalah sosok yang tegas dan cekatan. Ia adalah
seorang alpha male, dalam artian
sebagai sosok yang merupakan tipe Person-in-Charge
dalam sebuah kelompok. Ia mandiri dan cerdas, terbukti ketika ia akan pergi
dari Yogyakarta ke sebuah pantai di Jawa Timur yang akan digunakan sebagai
lokasi World Rainbow Gathering, ia
sudah tahu harus pergi dengan menggunakan kendaraan apa saja, jadwal-jadwal
keberangkatan, dan sebagainya; sangat detail dan terperinci. Mental seperti ini
sangat jarang saya temui pada orang-orang Indonesia. Tidak, tipe pria ideal
saya tidak berganti menjadi Koji; tipe pria ideal saya saat ini bertahan pada Lee
Min Ho. Pada akhirnya, saya selalu percaya bahwa kaum-kaum yang terdidik
sekaligus tercerahkan tidak akan terjebak pada fanatisme buta yang menutup
ruang diskusi. Apabila kita menggemari sesuatu, hendaknya kita menggemarinya
karena ada hal yang sanggup kita pelajari dari sana. Fanatisme, bagi kaum-kaum
yang terdidik sekaligus tercerahkan, tidak akan menutup ruang diskusi; justru
sebaliknya, itu akan membuka ruang diskusi yang lebih luas.
0 komentar