Akhir Pekan dan Hal-Hal yang Diperlukan
Katanya, akhir pekan dimulai sejak hari Jum’at malam, ketika orang-orang selesai dari rutinitas sekolah atau kerja mereka, dan berakhir pada Minggu malam, ketika mereka bersiap untuk memulai kembali rutinitas sekolah atau kerja pada hari Senin. Sejujurnya bagi saya, lupa tepatnya sejak kapan, setiap hari terasa seperti akhir pekan. Yang membedakan hanya ketika Sabtu dan Minggu saya tidak bisa ke kantor (baca: kampus). Bukan karena tidak bisa, tetapi karena malas meminta izin ke pihak SKKK alias satpam kampus untuk dibukakan pintu. Mengapa setiap hari terasa seperti akhir pekan? Mungkin karena sifat pekerjaan yang santai dan tidak selalu harus dilakukan di kampus. Mungkin juga karena seringnya saya menghabiskan akhir pekan juga dengan bekerja. Jadi, ya, setiap hari terasa seperti akhir pekan, baik itu dalam artian positif maupun negatif. Ketika tema tulisan hari ini berusaha mengajak saya untuk tidak hanya membahas soal kegiatan akhir pekan yang antimainstream, tetapi juga mengajak saya berpikir kembali tentang (benar-benar) diperlukannya kegiatan akhir pekan itu, maka mau tak mau saya melakukan refleksi atas kegiatan akhir pekan yang telah saya jalani sepanjang eksistensi saya ini.
Ketika Sendiri
Tidak menarik hal-hal yang saya lakukan pada akhir pekan ketika saya
sendiri. Sebagian besar waktu saya habiskan untuk beristirahat (baca: tidur).
Sebagian besar waktu yang lain saya habiskan untuk menonton serial drama Korea,
atau Barat. Jika saya masih punya waktu di luar yang saya habiskan untuk tidur
dan menonton serial, maka saya menghabiskannya dengan membaca buku (seringnya
novel, atau buku narasi sejarah dan nonfiksi kalau saya bosan membaca novel
atau tidak ada novel yang bisa dibaca). Jika saya masih punya waktu lainnya,
maka saya akan menulis. Saya adalah orang yang betah berada di dalam ruang
pribadi; saya bisa betah berada di dalam kamar atau rumah selama berjam-jam
atau bahkan berhari-hari , cukup dengan berbekal rokok dan teh atau kopi.
Terkadang ketika saya suntuk berada di dalam kamar, saya akan keluar untuk
mencari udara segar. Itu pun dengan catatan apabila saya sedang memiliki uang,
karena ketika saya keluar sendirian, pasti tujuannya adalah ke toko buku atau
ke butik, yang mana itu berarti saya akan menghabiskan sejumlah uang untuk
membeli, membeli, membeli... memang dasar konsumen.
Ya, kegiatan-kegiatan itu bisa dibilang mainstream, karena saya yakin saya bukan satu-satunya orang yang
biasa melakukan kegiatan tersebut ketika akhir pekan. Mengenai perlu tidaknya
kegiatan akhir pekan itu, menurut saya tentu saja perlu. Pertama, setiap orang
butuh istirahat; tidur yang bukan saja hanya untuk bangun keesokan paginya lalu
mandi dan pergi untuk bekerja atau bertemu dengan orang-orang, tetapi tidur
yang benar-benar sanggup kita nikmati tanpa batas waktu tertentu untuk bangun lalu
mandi dan melakukan sesuatu. Kedua,
setiap orang butuh waktu yang berkualitas dengan dirinya sendiri. Bagi saya,
waktu-berkualitas-dengan-diri-sendiri itu adalah menghibur diri dengan serial drama,
buku, menulis, dan berjalan-jalan seorang diri. Pada tataran ini saya menjadi
sadar, bahwa saya tidak bisa mendapatkan kedua hal tersebut pada hari kerja
(baca: Senin sampai Jum’at), karena pada hari-hari tersebut pasti ada saja
orang yang mencari saya untuk bertemu, entah soal pekerjaan di kampus, bantuan
bimbingan skripsi, atau produksi film dokumenter. Ternyata, setiap hari tidak
selalu terasa seperti akhir pekan.
Ketika Bersama Orang Lain
Dua tahun belakangan saya jarang menghabiskan akhir pekan seorang
diri. Meskipun saya masih sering meluangkan waktu untuk menghabiskannya seorang
diri, banyak akhir pekan yang menyita waktu saya untuk berkegiatan dengan orang
lain. Kegiatan yang saya lakukan bersama orang lain pada akhir pekan pun
terbagi menjadi beberapa jenis. Pertama, (lagi-lagi) soal pekerjaan; baik itu
untuk kepentingan akademis maupun untuk kepentingan produksi film dokumenter. Pada
saat-saat seperti itu biasanya saya bertemu dengan beberapa orang di berbagai
tempat. Seringnya, saya melakukan kegiatan itu bersama pasangan saya. Kedua,
reuni dengan beberapa teman lama. Kegiatan ini jarang terjadi; mungkin hanya
satu kali dalam beberapa bulan. Biasanya kami berkumpul di rumah salah satu
teman untuk kemudian pergi bersama ke mall
atau kafe, untuk sekadar merasakan menjadi anak
gaul masa kini yang nongkrong di
tempat-tempat hits (baca: kapitalis
muda tulen), sekaligus mencari bahan untuk dikritik, karena gambaran kehidupan
masyarakat modern yang terlena oleh modernisasi seluruhnya dapat kita temukan
dalam mall dan kafe.
Kegiatan jenis ketiga adalah kegiatan yang paling saya sukai sekaligus
(sayangnya) paling jarang terjadi: liburan. Yang saya maksud dengan liburan di sini adalah pergi ke luar
rumah, mengunjungi tempat-tempat tertentu, dengan tujuan yang murni hanya untuk
mencari hiburan (dan menghabiskan uang) saja; serta yang paling penting, tidak
ada kaitannya sama sekali dengan pekerjaan. Terkadang bersama keluarga,
terkadang bersama teman-teman, namun kini seringnya bersama pasangan. Jujur
hingga saat ini saya masih belum bisa memilih untuk lebih menyukai pantai atau
gunung, tetapi yang jelas, tujuan favorit saya ketika liburan adalah historical sites, entah itu museum,
monumen, candi, pokoknya tempat-tempat yang memiliki nilai historis. Mall tentu saja bukan pilihan. Bagi saya
mall bukan tempat hiburan apalagi
liburan. Bagi saya mall hanyalah
surga yang diciptakan oleh para kapitalis untuk memperkuat perekonomian mereka
dengan dalih membangun peradaban. Oke, sepertinya saya terlalu kritis dan sinis.
Cukup tentang mall.
Mungkinkah akhir pekan hanya konstruksi yang menjebak kita dalam
rutinitas baru yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan? Jawabannya selalu
mungkin. Lagipula, seperti kata Eyang Friedrich Nietzsche, bahwa tidak ada
fakta dan yang ada hanyalah interpretasi. Menurut interpretasi saya, segala
yang berada pada tataran sosial adalah hasil konstruksi dari sosial (baca:
masyarakat) itu sendiri. Konsep “akhir pekan” bisa jadi hanyalah konstruksi.
Namun bagaimana kita menghabiskannya, kegiatan apa yang kita lakukan untuk
menghabiskannya, serta bersama siapa kita menghabiskannya, itu semua kembali
pada pilihan kita masing-masing. Kata Eyang Jean-Paul Sartre, menjadi manusia
berarti menjadi bebas dengan pilihannya sendiri. Maka, jadilah bebas dengan
pilihanmu. Jadilah manusia. Bagi saya, itulah cara mengisi waktu luang yang
ideal: melakukan apa yang ingin kita lakukan. Baik kegiatan itu diperlukan atau
tidak, semua kembali pada interpretasi masing-masing. Selama kita menginginkannya,
mengapa tidak kita lakukan?
0 komentar