Tanpamu, langit serasa penjara tak bertepi ...
Dingin air laut menyengat kulit kakinya yang telanjang. Pun dingin udara dini hari menusuk hingga ke tulang-tulang tubuhnya, yang hanya berbalut gaun putih tulang panjang hingga ke betisnya. Rambut hitam ikal sebahunya melambai ditiup angin pesisir. Begitu juga dengan cardigan sewarna gaunnya. Namun wanita itu tak tampak terganggu atas itu semua. Ia berdiri tak bergeming di tepian pantai itu. Matanya menatap nanar ke arah laut, seredup bintang yang menggantung di langit atas sana. Raut wajahnya semuram bulan purnama yang mengintip enggan dari balik awan-awan. Badai kelam seolah menggelayuti benaknya.
Ratusan meter dari tempatnya
berdiri, tampak para nelayan menjalani kesibukan mereka. Ada yang memulai hari.
Ada yang menutup hari. Tak ada yang menggubris kehadiran wanita itu di sana,
maupun bertanya-tanya akan tujuan keberadaannya. Mereka disibukkan dengan pikiran
tentang menafkahi keluarga mereka. Tentang tangkapan ikan hari itu. Tentang
menyambung hidup. Tanpa mereka tahu, tak jauh dari tempat mereka berada
sekarang, seseorang justru tengah mencoba mengakhiri hidupnya.
Air mata menetes di wajahnya,
seiring ingatannya yang terlempar pada kejadian setahun lalu.
“Tiap malam aku selalu bermimpi
tentang dia. Sudah sebulan lebih. Itulah mengapa aku susah tidur akhir-akhir
ini.”
Wanita itu tertegun dengan ucapan
sang kekasih. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Bagaimana isi
mimpinya?”
Sang kekasih nampak ragu sesaat,
lalu menjawab, “Tak jelas. Namun yang jelas dia selalu ada, di mana pun.”
Karena wanita itu tak memberi tanggapan, sang kekasih pun melanjutkan, “Sepertinya
yang aku rasa untuk dia sudah melampaui rasa marah maupun benci.”
‘Atau mungkin kau merindukannya,’
wanita itu tercekat meskipun hanya mengucapkannya dalam hati.
“Atau mungkin,” lanjut sang
kekasih, “aku belum bisa beranjak dari dirinya.”
Wanita itu hanya tertunduk diam.
“Aku benci dengan keadaan seperti
ini. Sudah kucoba sekeras mungkin untuk menepiskannya, tapi ia selalu datang.”
“Semakin kau berusaha
mengenyahkannya, semakin kau akan teringat. Biarkan saja semua proses itu
berjalan dengan sendirinya.”
“Tak bisa. Sudah ada kamu di
sini. Kita sudah mulai. Aku tak ingin ini semua hancur.”
Wanita itu menghela napas. “Aku
tak tahu apakah ini bisa membantu. Namun ketika kenangan itu datang, cobalah
untuk mengingat kenapa kau membuat keputusan itu dulu.”
“Ya, aku tahu. Sungguh ini
menyebalkan. Seperti bekas luka yang sudah kering dan terasa gatal.” Sang
kekasih terdiam menatap ke luar jendela sembari menghisap rokoknya.
Diam-diam, wanita itu memandangi
kekasihnya sembari menahan air mata.
---
Mungkin cintamu tak sedalam itu untukku bisa mematahkan hatimu.
Telepon genggam sang kekasih terus berdering kencang sementara pemiliknya sedang pergi membeli sesuatu. Terganggu dengan bunyinya, wanita itu meraih telepon genggam sang kekasih . Ia menatap layar dan menemukan nama dan foto seorang gadis di situ. Telepon itu mati sebelum wanita itu sempat menjawabnya. Tak lama kemudian, sang kekasih kembali.
“Tadi ada telepon,” ujar wanita
itu pada sang kekasih.
“Dari siapa?”
“Justru sepertinya aku yang harus
bertanya,”
Sang kekasih tertegun. Namun ia
lebih tertegun lagi ketika selesai memeriksa telepon genggamnya.
“Ini bukan pertama kalinya kamu
menemui wanita lain. Aku tahu itu. Aku tak akan bertanya lebih jauh atau
meminta penjelasan.”
Sang kekasih terdiam.
“Toh pada akhirnya kau selalu
kembali padaku.”
“Maaf,”
Kali ini wanita itu yang terdiam.
“Aku tak bermaksud untuk
beralasan, namun mimpi-mimpi itu terus menggangguku. Dan itu ada hubungannya
dengan mengapa aku menemui wanita-wanita lain.”
“Bagaimana?”
“Aku melihat wanita-wanita itu
sebagai dia dalam versi yang berbeda. Dan aku berusaha untuk mengalahkan
sosok-sosok itu. Entahlah ...,”
“Apakah itu memuaskanmu?”
“Tidak juga,”
“Lalu mengapa?”
“Entahlah,”
‘Mungkin jawabannya sesederhana
bahwa aku bukanlah sosok yang selama ini kamu harapkan,’ batin wanita itu
berkecamuk sementara ia berusaha keras menahan air matanya.
“Mungkin ini akan terdengar
kasar, tapi mungkin aku merasa tidak terpuaskan dalam relasi ini, relasi kita.”
‘Ya, tentu saja.’ Wanita itu
terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku tak akan memaksamu untuk
bertahan dalam relasi yang tidak memenuhi keutuhan batinmu.”
Jeda keheningan mencekat mereka
berdua.
“Haruskah kita akhiri saja?”
Bahkan kau masih mencari sosoknya dalam setiap wanita yang kau temui.
--- 1 tahun kemudian ---
Wanita itu menghapus air mata
yang memenuhi pipinya. Ia menyentakkan kenangan yang baru saja mendera
ingatannya. Ia menyerah.
Ia menyerah kalah pada rasa
rendah dirinya. Bahwa ia tak berharga. Bahwa ia tak berarti. Bahwa ia tak ada
nilainya. Bahwa ia tak sanggup membahagiakan orang yang dicintainya. Bahwa
segala kekurangannya telah menjadikan ia tempat segala salah dan dosa. Bahwa
pada akhirnya, lagi dan lagi, ia dikalahkan oleh sosok masa lalu yang terus
menghantui.
Wanita itu tersenyum pada semesta
untuk terakhir kali. Ia melangkahkan kedua kakinya. Hal terakhir yang terlintas
dalam benaknya sebelum laut mendekap adalah raut wajah pria yang ia cintai.
... dan pada akhirnya, aku dikalahkan bayangan masa lalumu.
0 komentar