Repetisi (II)
“I’m worried because I care for you.”
Sudah sekitar dua minggu berlalu sejak kesepakatan itu kita buat
bersama. Namun masih saja aku resah dibuatnya. Mungkin ada yang salah. Kalau
skripsi dan tesis saja masih bisa direvisi, mengapa tidak demikian halnya
dengan kesepakatan kita? Mungkin ada baiknya kita pikirkan kembali.
Seperti yang pernah kau bilang, menyenangkan apabila kita mempunyai
seseorang yang peduli pada kita. Namun, seperti yang pernah kau bilang juga,
kebahagiaan itu datangnya selalu satu paket dengan ketakutan. Rasa takut akan
kehilangan. Kehilangan atas apa? Kau bilang atas kepedulian itu. Aku bilang,
aku takut kehilanganmu. Dan waktu-waktu yang bisa kita dapati bila kita
bersama. Sesederhana itu.
Kamu selalu bilang bahwa kamu tak bisa ‘membaca’ku. Mungkin karena aku
berpikir terlalu banyak tanpa pernah bisa mengungkapkannya langsung melalui
mulutku. Mungkin karena rumitku tertutup rapat oleh lapisan-lapisan lain yang
kubiarkan kasat mata. Di sini akan aku coba urai satu-persatu. Tapi tahu kah
kau? Sesungguhnya terkadang aku pun menemukan diriku kesusahan ketika ingin
‘membaca’mu.
Aku tertambat pada kepedulian yang kau tawarkan. Namun, seperti yang
mungkin kau rasa dan sadari selama ini, aku berusaha melawannya. Mengapa? Salah
satunya, karena takut. Takut apa? Pertama, aku takut akan adiksi. Adiksi hadir
melalui sebentuk keterikatan. Keterikatan itu hadir melalui kepedulian. Hal ini
mengarahkanku pada ketakutan kedua sekaligus terbesarku: detachment. Aku
tak sanggup menemukan padanan kata yang tepat menggambarkan ‘detachment’ dalam
bahasa Indonesia. Mungkin bisa disebut sebagai ‘terlepas dari keterikatan’. Dan
itu yang paling aku takutkan, sesungguhnya. Sehingga yang terjadi selama ini
adalah: aku merepresi. Apa yang kurepresi? Perasaanku sendiri. Aku merepresi.
Telah kucoba setengah mati. Namun sepertinya aku gagal. Rasa ini terlalu besar,
rupanya. Aku hanyut terlalu dalam, ternyata. Memang benar. Lemah diriku telah
membuktikannya. Aku membutuhkanmu lebih daripada kau membutuhkanku. Dan
kini aku tak lagi bisa menafikkan satu variabel lain di antara kita: dia.
Selama ini aku menghindari bicara tentangnya, kalau kau menyadari itu.
Bukan karena aku tak mau tahu, tapi karena aku merasa cukup tahu. Cukup tahu
akan batasku. Cukup tahu akan batas kita. Batas-batas yang kita
konstruksikan sendiri. Kali ini aku akan melanggar batas itu. Mengapa? Ada dua
hal yang mengusik perasaanku. Pertama, setelah kita berdua buat kesepakatan
itu, kau menanggalkan foto dia dari dinding kamarmu. Mengapa kau lakukan itu?
Mungkin tak berarti apa-apa. Mungkin hanya mencoba menghormati perasaanku.
Mungkin kau hanya sedang ingin menanggalkannya saja, tanpa ada tujuan tertentu
atas itu. Begitu ingin aku menanyakannya langsung padamu. Namun aku tak sampai
hati. Maafkan. Namun lucunya, hal kedua yang mengusik perasaanku datang seiring
dengan jawaban atas hal pertama tadi. Satu malam kau bicara tentangnya. Timing-nya
memang kurang tepat, kalau boleh kubilang. Aku sedang dalam hari tersuramku
karena pekerjaan. Yang kubutuhkan adalah pelukan hangat, bukan punggung
bidangmu yang kau hadapkan padaku ketika tidur; terasa dingin. Yang kuinginkan
adalah canda tawa, bukan sendu sedihmu. Namun lagi-lagi, bila sudah menyangkut
dirimu, aku bisa apa? Kalau kau sadari, kau selalu menang atasku. Dan aku
selalu menyerah, kalah.
Jadi di sinilah, lagi, kegelisahanku bermuara pada tulisan. Seperti
sudah kutuliskan di atas, akan kucoba urai satu-persatu benang kusut perasaanku
ini. Pertanyannya adalah, dan selalu saja sama, aku harus mulai dari mana? Hmmm, well, well.
Akan aku mulai dari pemikiran yang aku dapatkan bulan lalu, ketika kau berkata
padaku bahwa kalian kembali bersama.
Manusia pada dasarnya berbeda. Meski berangkat dengan premis yang
sama, alur cerita tak akan berjalan sama bila dimainkan oleh aktor yang
berbeda. Namun kalian menyamaratakan karakter setiap orang, sebagai upaya atas
pembenaran untuk tetap bersama. Bukan salah kalian, memang. Pengalaman yang
menjadikan kalian (dan aku tak tahu sebagian besar cerita yang telah kalian
alami bersama). Namun tidak begitu bagiku. Yang menjadikanku adalah realitas.
Dan aku percaya akan negosiasi dan kompromi. Aku bukan dia, dan aku bukan
siapapun, selain diriku sendiri. Denganku, kita bisa punya akhir yang berbeda.
Mungkin kau tak mau. Mungkin kau hanya pura-pura tak tahu. Jangan katakan kalau
kau tak bisa, karena kau pun sesungguhnya tahu, kau sebenarnya bisa.
Kamu tak pernah bisa mengatakan “iya” padaku. Bagimu, pada akhirnya
selalu aku yang harus melangkah pergi. Mungkin bagimu, aku adalah satu-satunya
di antara kita bertiga yang mampu menghadapi realitas. Tak pernahkah terbersit
di benakmu bahwa aku hanyalah manusia biasa? Bagiku, yang kalian lakukan
hanyalah menutup mata. Lalu untuk apa aku bertahan denganmu? Aku cinta.
Sesederhana itu. Aku ingin bersama. Aku ingin kita berdua menjadi. Aku ingin
kau hadapi realitas, denganku. Pada tataran ini memang pemikiran Deleuze
terlalu mempengaruhiku: sepanjang hidup kita mencari ‘ada’ seperti itu bisa
ditemukan, mengapa bukan diciptakan? Ketimbang menemukan dan menunjukkan
batas-batas yang ada, bagaimana bila kita menciptakannya? Tak lelahkah kau
dengan artifisialitas yang kau jalani dengannya? Atau mungkin aku yang terlalu
naif, karena percaya begitu saja ketika kau bilang padaku bahwa kini kau
dengannya hanya artifisial semata? Apakah aku terlalu naif karena percaya
ketika kau bilang bahwa kau menerimanya kembali atas dasar rasa iba dan
tanggung jawab? Mungkin dia mengambilmu kembali karena tak ingin kau menjadi
milik orang lain, terutamanya aku. Tak bisakah kemenjadian itu kita ciptakan
bersama, antara kita saja? Lalu malam itu, kau berkata padaku bahwa kalian
telah berpisah, lagi. Entah sampai kapan kali ini.
Melihat gundahnya dirimu malam itu ketika bicara tentangnya,
perasaanku… tak terdefinisikan. Bila diibaratkan, seperti gedung roboh dalam
film “Spectre” yang pernah kita tonton bersama. Hancur. Perlahan namun
seketika. Sedikit demi sedikit namun seluruhnya. I hate seeing you being
devastated like that. Moreover, I hate it when it’s because of someone else. Mungkin
memang aku yang terlalu naif. Mungkin aku memang bukan orang yang bisa
menyakitimu sampai seperti itu; tak sepenting itu hingga bisa melukaimu
sedemikian dalam; tak ada signifikansinya sama sekali. Kemudian kau berkata,
“Aku hanya terlalu ingin menyenangkan semua orang.” Dalam hati aku berkata,
“Ketika kau tak bisa menyenangkan semua orang, ketika harus ada orang yang kau
kecewakan, tak apa kalau orang itu harus aku. Sungguh, tidak apa-apa.” Lihat,
kan? Kalau kau sadari, aku selalu menyerah atasmu. Dan kau selalu menang,
berkuasa. Mengapa? Aku ingin kau bahagia. Sesederhana itu. Desublimasi
represif, meminjam istilah Marcuse. Pikiran dan tindakan mengalami dominasi,
namun secara sadar kita merasa senang dan terus melakukannya. Terlarut dan tak
bisa lepas. Adiksi.
Kita bisa punya akhir yang lain. Akhir yang tak akan berujung pada
repetisi. Sudah kucoba tawarkan itu padamu. Mungkin kau tak mau. Mungkin kau
hanya pura-pura tak tahu. Bahwa sesungguhnya ada akhir yang lain itu. Bila bisa
kunyatakan secara gamblang padamu, sesungguhnya aku tak mau repetisi itu
terjadi. Ingin sekali kukatakan kepadamu: “Sudah, jangan lagi menatap ke
belakang. Sayang-sayanglah hatimu itu. Kau hanya punya satu.” Namun, siapalah
aku untuk berkata seperti itu padamu?
“I’m not young. I’m not pretty. Just an unworthy sick person. I don’t deserve you. You deserve better.”
Pernyataan di atas, mungkin itu hanyalah gimmick. Mungkin itu
perwujudan dari rasa pesimisku. Mungkin itu hasil konstruksi atas repetisi yang
mungkin terjadi. Mungkin itu simplifikasi atas berbagai alasan yang menggantung
di udara.
Maaf bila tulisan ini telah melanggar batas kalian. Mungkin aku tidak
berhak. Mungkin berhak. Mungkin justifikasi semata.
Mungkin efek anestesi yang telah lama memudar. Mungkin efek pre-menstruation
syndrome. Mungkin efek badan yang kelelahan. Mungkin efek pikiran yang
keresahan. Mungkin efek sakit kepala yang tak kunjung sirna. Mungkin efek
terlalu rindu. Terlalu biru. Memar. Lebam.
Aku tahu kau punya sejuta masalah yang jauh lebih membebanimu
ketimbang ini. Pun begitu denganku. Di satu sisi, tak mengapa, karena
sesungguhnya tak pernah ada inginku untuk menjadi beban bagimu. Di sisi lain,
aku kesulitan mencari timing yang tepat untuk mengutarakan semuanya
kepadamu. Takut mengganggu konsentrasimu. Takut memberi beban. Takut
meresahkanmu. Bahkan untuk sekadar mengunggah tulisan ini pun, yang sebenarnya
sudah mulai kutulis sejak memasuki minggu kedua pasca kita buat kesepakatan
itu. Dan akhirnya selesai di tanggal 25, walau tak kunjung juga ku unggah ke
sini, hingga hari ini.
Kembali ke awal tulisan: sepertinya kesepakatan itu perlu kita revisi.
Aku tawarkan padamu. Mari kita bicarakan ketika kita berdua telah sama-sama
siap. Jangan sampai jadi beban. Kita bersama untuk bahagia, bukan?
“I love you. Sincerely. And that’s all I know.”
Tags:
disclosure
0 komentar