Dealova
“Karra, maaf ya, kalau aku selalu membuat kamu marah, membuat kamu benci
sama aku. Maaf juga, aku sudah lancang mengundang kamu masuk ke dalam
penderitaanku. Dari pertama kali aku lihat kamu, aku berusaha sekuat tenaga
menghindar, membuatmu membenciku, karena aku tahu aku nggak boleh memulai
sesuatu yang nggak bisa aku akhiri. Dan sekarang, aku cuma bisa bilang terima
kasih, karena kamu telah membuat hari-hariku indah. Kamu adalah hal terindah
yang pernah terjadi dalam hidupku yang singkat ini.” –Dira (Dealova, 2005)
Judul : Dealova
Genre : drama remaja
Sutradara : Dian Sasmita
Rilis : 8 September 2005
Durasi : 105 menit
Distributor : Flix Pictures
Pemain : Jessica Iskandar, Evan Sanders, Ben Joshua
Pada waktu itu tahun 2005 dan
novel dengan genre teen-lit (teenagers literature, sebuah novel
dengan cerita bertema remaja dan menyasar para pembaca dengan kisaran usia
remaja) tengah dalam masa kejayaannya. Puluhan, mungkin bahkan ratusan, novel teen-lit terbit tiap tahunnya pada waktu
itu. Puluhan nama penulis baru bermunculan, dengan mayoritas berusia masih
remaja. Bisa jadi ini merupakan after
effect dari meledaknya film drama remaja “Ada Apa dengan Cinta?” pada tahun
2002 yang mengangkat tema sastra di dalamnya, sehingga para remaja di Indonesia
mulai melirik sastra sebagai interest
mereka. Film drama remaja “Eiffel… I’m In Love” yang dirilis pada tahun 2003
juga luar biasa booming-nya dan
notabene, film ini merupakan film adaptasi dari novel teen-lit best seller. Sebagai after
effect dari film ini, kemudian banyak bermunculan film adaptasi dari novel teen-lit best seller, salah satunya
adalah “Dealova” karya Dyan Nuranindya.
Tidak seperti novel “Eiffel… I’m
In Love” yang belum pernah saya dengar sebelumnya sampai novel ini diangkat ke
layar lebar, saya sudah mengetahui keberadaan novel “Dealova” jauh sebelum
difilmkan. Saya bahkan mendapat pinjaman novel ini dari seorang teman dan
membacanya hingga tuntas. And guess what?
This novel is awesome! Saya membaca
novel ini ketika saya masih berseragam putih-biru tua, dan luar biasanya, novel
ini sanggup membuat seorang bocah yang masih berusia awal belasan itu
menitikkan air mata ketika membacanya. Oke, ini mungkin terdengar berlebihan,
namun itulah kenyataannya. Berasumsi bahwa sebagian besar orang, terutama
generasi saya, telah mengetahui jalan cerita “Dealova”, maka saya akan
mengatakannya saja dengan gamblang, bahwa bagian yang membuat saya menangis
cengeng seperti anak kecil adalah ketika tokoh Dira meninggal.
Ketika mendengar bahwa novel ini
akan diadaptasi ke layar lebar, tentunya sebagai penggemar novel “Dealova” saya
sangat bersemangat dan mengantisipasi film tersebut. Ketika mengetahui daftar
pemeran tiga tokoh utamanya, saya mengangguk sepakat dengan dua pemeran tokoh
utama pria yang jatuh ke tangan aktor pendatang baru, Ben Joshua, dan presenter
yang beralih profesi sebagai aktor, Evan Sanders. Namun hal yang sebaliknya
terjadi dengan pemeran tokoh utama wanita yang akan dipegang oleh aktris
pendatang baru, Jessica Iskandar. Waktu itu saya merasa gambaran karakter Karra
tidak sesuai dengan Jessica. Namun pada akhirnya, film tetap diproduksi dan
jadilah “Dealova” versi film.
Hasilnya sebenarnya tidak meleset
dari dugaan saya. Film “Dealova” banyak dikritik pedas, terutama oleh para
penggemar versi novelnya yang merasa tidak puas dengan hasil visualisasi di
dalam film ini. Bertolak belakang dengan film “Eiffel… I’m In Love” yang sukses
besar di pasaran, “Dealova” tidak sanggup menyamai, bahkan melebihi, prestasi
tersebut. Padahal, dari segi jalan cerita, sebenarnya “Dealova” memiliki
sesuatu yang lebih berbobot dan komplek ketimbang “Eiffel… I’m In Love”. Lalu
apa yang menyebabkan film ini dinilai gagal sebagai sebuah film adaptasi?
Saya sendiri tidak menganggap
film “Dealova” sepenuhnya gagal, hanya saja, sang sutradara Dian Sasmita
memiliki pemaknaan yang kurang sejalan dengan para pembaca novel “Dealova”.
Dian kurang berani berimprovisasi dengan materi yang ada di dalam novel.
Beberapa adegan terasa mubazir. Bahkan terjadi lompatan-lompatan yang terasa
janggal dalam film ini. Dian berusaha ikut memasukkan konflik-konflik sampingan
selain konflik utama antara tiga karakter utamanya. Ketika konflik-konflik
tersebut muncul dalam novel, hal itu dapat memperkaya jalan cerita. Namun dalam
film, yang durasinya terbatas, konflik sampingan yang sifatnya pendukung ini
justru ‘mengganggu’ konflik utama. Slot waktu yang seharusnya dapat digunakan
untuk memperdalam konflik utama justru tersita oleh konflik sampingan, yang
bahkan tidak sempat untuk diulas secara dalam.
Dian seharusnya dapat fokus
terhadap konflik utama dalam jalan cerita ini, yaitu tentang perjalanan cinta
Karra (Jessica Iskandar), dengan dua lelaki yang memiliki karakter yang saling
bertolak belakang. Karra adalah seorang siswi SMA yang tomboi dan gemar bermain
basket. Pada suatu hari ia merasa terganggu dengan kehadiran Dira (Ben Joshua),
siswa baru di sekolahnya yang juga gemar bermain basket. Awalnya, hubungan
mereka penuh pertengkaran dan persaingan. Namun hubungan itu kemudian
berkembang menjadi percintaan. Oke, sampai pada bagian ini “Dealova” terasa
sangat “Ada Apa dengan Cinta?”. Namun kemudian, twist terjadi setelah ini. Dira ternyata mengidap sakit parah, yang
kemudian menyebabkannya meninggal dunia, meninggalkan Karra dalam kesedihan yang
teramat dalam. Adalah Ibel (Evan Sanders), sahabat dari kakak Karra, yang
selalu berada di sisi gadis itu untuk menghiburnya. Karra bahkan tidak
menyadari perasaan Ibel kepadanya, karena kehadiran Dira. Namun semenjak Dira
pergi, Karra mulai menyadari, bahwa cinta sebenarnya tidak pernah pergi, bahwa
selama ini ia selalu ada di sisinya, mewujud dalam diri seorang Ibel.
Dian kurang bereksplorasi dengan
konflik utama dari tiga karakter ini, yang kemudian membawa kecewaan mendasar
bagi para penggemar novel “Dealova”. Sementara itu, bicara soal penokohan,
sesungguhnya tim produksi melakukan kerja yang baik dengan pemilihan para
pemerannya. Jessica yang pada awalnya saya rasa pesimis dalam menghidupkan
karakter Karra, ternyata sanggup melakukan kerja yang baik. Soal Ben Joshua dan
Evan Sanders tidak perlu dipertanyakan lagi. Ekspektasi saya terhadap mereka
berdua sangat terpenuhi. Sebagai pendatang baru, ketiganya memberikan nuansa
yang segar dan cukup memuaskan. Namun sayang, hal ini tidak didukung dengan
kualitas akting para pemeran pendukungnya, terutama Rizky Hanggono yang
berperan sebagai kakak Karra, Iraz. Aktingnya masih terasa sangat kaku. Sebagai
catatan, pemain pendukung yang paling luwes dan tampil memuaskan adalah Nagita
Slavina yang memerankan karakter Finta, sahabat Karra.
Bicara soal tata musik dan soundtrack dalam film “Dealova”,
meskipun tidak digarap oleh duet maut Anto Hoed dan Melly Goeslaw, scoring dan soundtrack musik dalam film ini sangat indah. Adalah musisi Addie
MS, otak jenius yang berada di balik tata musik film ini. Scoring dalam film ini sangat membantu dalam menghidupkan nyawa dan
feeling dalam setiap adegannya.
Begitu pula dengan soundtrack yang
digunakan. Siapa yang tidak mengingat lagu bertajuk “Dealova” yang dinyanyikan
oleh Once? Siapa yang tidak mengenal lagu berjudul “Saat Kau Pergi” yang
dibawakan oleh Bunga Citra Lestari? Dua lagu karya musisi Opick dan Dewiq itu
hanya salah dua dari banyak lagu pengisi album soundtrack film ini. Melebihi prestasi filmnya sendiri, dua lagu
ini melegenda dalam dunia musik Indonesia .
“Dealova” versi film memang
kurang memenuhi ekspektasi para penggemar versi novel karya ini, termasuk saya.
Wajar saja apabila review ini saya
pungkas dengan kesimpulan yang klise digunakan dalam kebanyakan review film adaptasi: filmnya tidak
sebagus novelnya. Terlepas dari kenyataan bahwa novel dan film adalah dua karya
yang berbeda dan tidak dapat diperbandingkan dengan serta merta karena
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, “Dealova” tidak dapat dikategorikan
sebagai film adaptasi yang sukses. Satu hal yang membuat film ini termaafkan,
apalagi kalau bukan kehadiran Ben Joshua sebagai pemeran karakter Dira. I’m such a huge fan of Dira, even beyond the other main male character,
Ibel. Dan harapan saya terpuaskan
ketika Ben Joshua menghidupkan karakter ini dengan apik. Akhir kata untuk
“Dealova”, bacalah dulu sebelum menonton.
0 komentar