Sang Penari
Judul : Sang Penari
Genre : drama
Sutradara : Ifa Isfansyah
Rilis : 10 November 2011
Durasi : 111 menit
Distributor : Salto Films
Pemain : Prisia Nasution, Oka
Antara
Tiga dekade sudah berlalu sejak
novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari pertama kali terbit. Pada tahun
2011 lalu, karya sastra fenomenal ini menjadi inspirasi bagi sebuah film
bertajuk “Sang Penari”. Digarap oleh sutradara asal Yogyakarta yang terkenal
dengan karyanya “Garuda di Dadaku”, Ifa Isfansyah, “Sang Penari” mengangkat
kisah cinta antara dua anak manusia yang berlatar belakang konflik pergolakan
budaya dan politik Indonesia pada tahun 1960-an. Kata orang, cinta tak mengenal
logika. Namun ketika cinta dihadapkan pada prinsip hidup, masihkah logika
terkalahkan oleh dorongan hati atas nama cinta? Tanpa terlepas dari unsur
budaya dan politik yang turut menghiasi kisah dalam “Sang Penari”, film ini
adalah sebuah film tentang cinta, impian, dan pengorbanan. Tentang perjalanan
cinta dua anak manusia, yang tumbuh besar bersama, namun pada akhirnya menapaki
jalan takdir yang berbeda.
Kisah berawal pada tahun 1953, di
sebuah desa bernama Dukuh Paruk di kawasan Banyumas, Srintil dan Rasus adalah
sahabat yang tumbuh besar bersama sejak kecil. Adalah Ronggeng, sebuah kesenian
tradisional berupa tarian yang diagung-agungkan oleh masyarakat desa setempat.
Sejak kecil Srintil telah mengagumi penari Ronggeng di desanya, namun sebegitu
besarnya rasa suka Srintil untuk menari, sebegitu besar pula rasa tidak suka
Rasus melihat sahabatnya itu menari. Hingga pada suatu hari, terjadi sebuah
tragedi yang menewaskan kedua orang tua Srintil. Tragedi ini menimbulkan rasa
bersalah pada diri Srintil, karena sebelum meninggal, kedua orang tuanya tidak
sengaja meracuni sebagian besar penduduk desa dengan makanan buatan mereka,
termasuk membunuh satu-satunya penari Ronggeng yang dimiliki oleh Dukuh Paruk.
Waktu berlalu dan satu dekade
sudah Dukuh Paruk tidak memiliki penari Ronggeng. Pada tahun 1963, akhirnya
Srintil (Prisia Nasution) yang telah tumbuh dewasa dinobatkan sebagai Ronggeng
baru di Dukuh Paruk. Meskipun tidak serta merta mendukung upaya Srintil pada
awalnya, bahkan menolak habis-habisan, pada akhirnya Rasus dewasa (Oka Antara)
tak sanggup berbuat apa-apa melihat wanita yang dicintainya memilih jalan untuk
menjadi penari Ronggeng. Satu hal yang membuat Rasus membenci ide itu adalah
bahwa ketika Srintil menjadi Ronggeng, maka wanita itu sepenuhnya menjadi milik
Dukuh Paruk, bukan dirinya, terlepas dari seberapa dalam mereka saling mencintai.
Menyadari bahwa harapannya untuk bersama dengan Srintil telah pupus, Rasus
kemudian bergabung dengan pasukan militer. Di sana , ia diajari baca tulis dan dilatih untuk
menjadi seorang prajurit.
Menjadi anggota pasukan militer
tidak lantas membuat Rasus meninggalkan dan melupakan asal usulnya begitu saja.
Terlebih lagi, ia tidak sanggup melupakan Srintil. Sekali lagi pria itu kembali
ke kampung halamannya dan berusaha membawa Srintil pergi dari sana , namun wanita itu menolak. Meskipun
mencintai Rasus, Srintil bersikeras bahwa menjadi seorang penari Ronggeng
adalah takdir yang harus ia jalani. Bahwa menjadi Ronggeng adalah satu-satunya
cara ia dapat menebus ‘dosa’ almarhum kedua orang tuanya pada masa lalu. Bahwa
menjadi Ronggeng adalah wujud darma baktinya kepada Dukuh Paruk. Atas semua itu
lagi-lagi Rasus tak sanggup berbuat apa-apa. Bagaimana pun juga, Srintil adalah
seorang Ronggeng dan Rasus adalah seorang tentara, dan mereka berdua tak akan
dapat bersatu.
Seiring pembangunan yang terjadi
di seluruh pelosok Nusantara, Dukuh Paruk pun tidak terlepas dari sentuhan
modernisasi. Sayangnya, sentuhan ini datang melalui PKI. Masyarakat Dukuh Paruk
yang masih memegang teguh aturan dan adat istiadat leluhurnya, masih belum
tersentuh pemahaman agama dan pendidikan baca tulis. Mereka tidak menyadari
ketika PKI mulai menyusup dalam masyarakat mereka, bahkan menggunakan kesenian
Ronggeng sebagai alat propaganda. Akibatnya, Srintil yang tidak memahami
apa-apa turut terseret ketika oknum-oknum PKI dibantai paska tragedi berdarah G
30 S. Mengetahui bahwa keselamatan Srintil terancam, Rasus pun mengerahkan
segala cara yang ia bisa untuk menyelamatkan wanita itu.
Mengangkat sebuah karya sastra ke
layar lebar bukanlah perkara mudah. Pasti orang-orang akan langsung membandingkan
kedua karya tersebut. Apalagi “Ronggeng Dukuh Paruk” merupakan salah satu karya
sastra terbaik yang dimiliki bangsa ini. Namun satu hal yang harus disadari
oleh penonton, bahwa novel dan film adalah dua jenis media yang berbeda. Maka
dari itu sangatlah wajar apabila terdapat satu dua perbedaan mendasar yang
sangat mungkin memunculkan beberapa kekurangan dan kelebihan. Sang sutradara,
Ifa Isfansyah, sendiri mengakui bahwa “Sang Penari” tidak serta merta
mengadaptasi “Ronggeng Dukuh Paruk”, melainkan terinspirasi atasnya. Ia
merangkum novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”, “Lintang Kemukus Dini Hari”,
dan “Jantera Bianglala”, kemudian menerjemahkannya menjadi sebuah film drama
berdurasi 111 menit dengan visualisasi yang menurut saya luar biasa.
Berangkat dari masterpiece yang mengandung begitu
banyak ideologi dan pemikiran di balik kisah cinta yang menjadi fokus utamanya,
“Sang Penari” memiliki jalan cerita yang kuat ketika Ifa Isfansyah bersama
dengan Salman Aristo dan Shanty Harmayn menuturkannya ke dalam skenario film. Mengambil
setting pada pertengahan tahun 60-an,
di mana sejarah kelam bangsa ini tercatat melalui serangkaian pembantaian
bermotif gerakan sebuah partai yang dinilai ‘kiri’, Ifa dan kawan-kawan
membingkai kisah ini secara apik. Meskipun istilah PKI dan simbol-simbolnya
tidak diutarakan secara gamblang dalam film ini, orang-orang Indonesia dan mereka yang memahami
sejarah pasti langsung tahu konflik apa yang terjadi ketika menontonnya. Namun
hal ini justru menjadi bumerang, karena ketika film ini dibawa ke ranah
masyarakat internasional, akan terjadi semacam kesenjangan pemahaman akibat
kehati-hatian tim produksi dalam membingkai konflik PKI dalam film ini. Alasan
atas hal ini sebenarnya masih dapat dimengerti, mengingat bahwa masyarakat Indonesia
masih belum siap untuk disuguhi sisi kelam sejarah bangsanya.
Mengambil setting di sebuah desa kecil di Pulau Jawa, di mana masyarakatnya
masih memegang teguh tradisi dan belum tersentuh perkembangan ideologi dan
agama, Dukuh Paruk menjadi asal mula segala kisah ini berawal. Kesenian
Ronggeng yang diagung-agungkan sudah seolah menjadi ‘agama’ bagi masyarakat
Dukuh Paruk, sebuah bentuk kesakralan tertinggi. Para
pria dan suami percaya bahwa bercinta dengan sang penari Ronggeng dapat
mendatangkan berkah. Bahkan para istri turut berbangga ketika suami mereka
dapat bercinta dengan sang penari. Sebuah ironi yang mungkin terasa janggal
bagi masyarakat modern. Keterbelakangan desa tersebut, utamanya dalam hal
kemampuan baca tulis dan tingkat pendidikan masyarakatnya, adalah faktor utama
penyebab desa ini begitu mudah disusupi oleh ideologi baru yang bahkan mereka
sendiri tidak paham apa maknanya, bahkan ketika mereka ditangkap dan disiksa
tanpa pandang bulu. Tragis memang, namun inilah gambaran nyata sejarah Indonesia .
Ketika kisah cinta menjadi fokus
dan kekuatan utama dalam film ini, segala aspek kebudayaan dan konflik
perpolitikan menjadi sebuah latar belakang cerita yang memberikan sebuah benang
merah dalam perjalanan hidup kedua tokohnya. Let’s meet Rasus and Srintil, our
beloved Romeo and Juliet of Dukuh Paruk. Karakter Srintil adalah sebuah
pribadi complicated yang terbentuk
dari kecintaannya terhadap tarian, impiannya untuk menjadi seorang penari, rasa
tanggung jawabnya kepada masyarakat Dukuh Paruk, dan keinginannya untuk hidup
bersama pria yang ia sayangi. Pergolakan batin tak hentinya terjadi dalam diri
seorang Srintil. Ketika Srintil tahu betul apa yang ia inginkan dan apa yang
akhirnya ia jalani, di lain pihak Rasus masih berusaha mencari jati dirinya.
Srintil adalah dunia Rasus, dan ketika ia kehilangan dunia itu, ia limbung
seketika. Transformasi karakter Rasus pun terjadi di sini. Mulai dari pemuda
desa yang bodoh, hingga menjadi seorang tentara yang dapat diandalkan. Ia
menemukan dunia baru yang sejenak mengalihkan pikirannya dari Srintil dan Dukuh
Paruk. Namun tentu saja, pengalihan itu tak bertahan lama.
Tim produksi melakukan kerja yang
luar biasa untuk menghidupkan setting
Dukuh Paruk. Mereka berhasil menghidupkan suasana desa pelosok beserta seluruh
masyarakatnya dengan tatanan lokasi dan gaya
busana yang sesuai dengan masanya. Perlu dicatat pula bahwa duet Prisia
Nasution dan Oka Antara berhasil memunculkan chemistry yang dalam dan berkharisma. Kemampuan akting keduanya
luar biasa dalam film ini. Logat Banyumasan tidak tampak aneh diucapkan oleh
Oka yang notabene adalah orang Bali . Ini
menunjukkan keseriusan dan totalitasnya dalam mendalami karakter Rasus. Ia
bahkan rela menurunkan berat badannya untuk memeroleh gambaran fisik seorang
Rasus, pemuda desa yang miskin. Sementara untuk Prisia, meskipun ini adalah
pertama kalinya ia didapuk sebagai pemeran utama dalam film layar lebar, ia
berhasil menunjukkan konsistensinya melalui akting yang brilian.
Secara keseluruhan, “Sang Penari”
adalah layak untuk memboyong empat penghargaan dari sepuluh nominasi yang
dikukuhkannya dalam ajang Festival Film Indonesia 2011. Piala Citra untuk
kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Ifa Isfansyah), Aktris Terbaik
(Prisia Nasution), dan Aktris Pendukung Terbaik (Dewi Irawan) berhasil diraih
oleh “Sang Penari”. Selain itu, film ini juga menuai tanggapan positif dari
berbagai kritikus film. Bahkan sang empunya cerita, Ahmad Tohari, dikabarkan
menangis terharu ketika melihat film ini. Padahal ia menolak untuk menonton
adaptasi sebelumnya atas kisah ini, yaitu “Darah dan Mahkota Ronggeng” (1983). “Sang
Penari” adalah satu dari sedikit film Indonesia yang memiliki nyawa.
Ketika menontonnya, saya tidak merasakan ‘lompatan-lompatan janggal’ yang
selalu terjadi setiap kali saya menonton kebanyakan film Indonesia . Indeed, “Sang Penari” is recommended and worth to watch!
Tags:
ahmad tohari
film indonesia
ifa isfansyah
movie
oka antara
prisia nasution
ronggeng dukuh paruk
sang penari
0 komentar