Ada Apa dengan Cinta?
“Aku lari ke hutan, kemudian menyanyiku. Aku lari ke pantai, kemudian
teriakku. Sepi... Sepi dan sendiri aku benci. Aku ingin bingar. Aku mau di
pasar. Bosan aku dengan penat, dan enyah saja kau, pekat! Seperti berjelaga
jika aku sendiri. Pecahkan saja gelasnya biar ramai. Biar mengaduh sampai gaduh.
Ada malaikat
menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih. Kenapa tak goyangkan
saja loncengnya? Biar terderah, atau... aku harus lari ke hutan belok ke
pantai?” –puisi Rangga (Ada Apa dengan Cinta?, 2002)
Judul : Ada
Apa dengan Cinta?
Genre : drama remaja
Sutradara : Rudi Soedjarwo
Rilis : 8 Februari 2002
Durasi : 112 menit
Distributor : Miles Production
Pemain : Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra
Tidak terasa sudah lebih dari
satu dekade film Indonesia
bangkit dari mati surinya. Produser film Mira Lesmana dan Riri Riza dapat
dikatakan menjadi tokoh penting dalam tonggak kebangkitan itu sejak mereka
bekerja sama dalam memproduksi film “Petualangan Sherina” pada tahun 2000. Dua
tahun kemudian, duet maut ini kembali menghasilkan sebuah karya yang tak kalah
fenomenalnya. Apa lagi kalau bukan “Ada Apa dengan Cinta?”. Sebagian besar
remaja pada masa itu pasti sudah pernah menonton film ini, dan mereka tidak
akan pernah melupakan sensasi luar biasa yang dihasilkan olehnya. Setelah
sekian lama, akhirnya terlihat lonjakan jumlah penonton di bioskop untuk
menonton sebuah film Indonesia .
Lalu sebenarnya apa yang membuat “Ada Apa dengan Cinta?” begitu sukses pada
waktu itu? Let’s take a deeper look into
this phenomenal teen romance drama.
Tidak ada yang istimewa dari jalan cerita “Ada Apa dengan Cinta?”. Inti ceritanya bahkan sangat klise, yaitu tentang sepasang remaja yang berasal dari dua lingkungan pergaulan yang berbeda, mereka berdua jatuh cinta dan harus menjalani konsekuensi atas hubungan mereka, termasuk konflik dengan para sahabat. Tidak hanya sampai di situ saja, film ini bahkan diakhiri dengan ending ter-cheesy yang mungkin pernah ada dalam jagad perfilman dunia, yaitu di bandara, tidak lupa adegan kissing ala film Hollywood sebagai pamungkas pertemuan kedua tokoh utamanya. Lalu apa yang membuat film ini begitu dahsyatnya merasuki para remaja
Dari segi jalan dan tema cerita,
“Ada Apa dengan Cinta?” memang memilih yang paling klise dan sederhana. Namun
sutradara Rudi Soedjarwo dan penulis skenario Jujur Prananto sanggup mengolah
dan memolesnya dengan rapi. Kesederhanaan inilah yang justru kemudian menjadi
kekuatan dari jalan cerita “Ada Apa dengan Cinta?”. Film ini menawarkan
kedekatan dengan realitas, dan harus saya akui, jurus ini tak pernah gagal
dalam merebut hati penonton. Hampir seluruh kisah yang termuat dalam film ini
dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Hubungan yang
diawali dengan perselisihan dan pertengkaran, namun kemudian berlanjut menjadi
cinta. Sahabat yang memiliki problem dalam keluarganya. Serta detail-detail
lain yang pasti terasa familiar bagi para remaja. Rudi membingkai adegan demi
adegan dengan sangat apik dan cermat. Tidak ada lompatan-lompatan adegan yang
terasa janggal sama sekali dalam film ini, sesuatu yang sangat jarang
didapatkan pada film-film drama remaja sejenis yang bermunculan kemudian.
Standing applause saya persembahkan untuk Jujur Prananto, atas skenario
yang well-written. Terbukti bahwa
cerita yang ringan sekalipun apabila dikemas oleh tangan yang tepat akan
menghasilkan karya yang fantastis. Setiap pilihan kata diambil atas dasar
pertimbangan dan riset, mengingat ketika menulis naskah dialog film ini, usia
Jujur sudah tidak dapat dikatakan remaja lagi. Pun halnya dengan Rako Prijanto,
atas puisi-puisi yang ditulisnya untuk film ini. Puisi menjadi nyawa bagi “Ada
Apa dengan Cinta?”, yang bahkan masih menempel di kepala orang-orang hingga
saat ini. Remaja mana pada masa itu yang tak mengenal bait kalimat “pecahkan
saja gelasnya biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh”?. Berkat film ini,
ratusan remaja di pelosok Indonesia
mulai melirik puisi dan sastra lama sebagai interest
mereka, sesuatu yang sebenarnya telah mulai ditinggalkan oleh kaum muda pada
masa itu.
Karakterisasi yang kuat dan menonjol menjadi point of interest tersendiri dari “Ada Apa dengan Cinta?”, terutama pada dua tokoh utamanya, Cinta (Dian Sastrowardoyo) dan Rangga (Nicholas Saputra). Mari kita mulai dari seorang Cinta, seorang gadis cantik nan perfeksionis, who seems to have a perfect life in her perfect world. Sifat perfeksionis Cinta ini yang membawanya pada rasa penasaran ketika seorang pemuda bernama Rangga, muncul dari antah berantah dan mengalahkannya pada lomba menulis puisi di sekolahnya pada suatu hari. Cinta merasa tertantang, sebagai ketua pengurus majalah dinding sekolah yang jago berpuisi dan notabene adalah langganan pemenang di sekolahnya. Yang kemudian terjadi sudah dapat ditebak, rasa penasaran dan tersaingi Cinta berujung menjadi ketertarikan. Cinta menemukan keunikan, sesuatu yang beda, dalam sosok Rangga, yang tidak ia temukan pada kebanyakan lelaki seumurannya. Namun satu hal, ‘dunia’ mereka berbeda. Cinta adalah ikon dari cewek gaul di sekolahnya, dia cantik, pintar, populer, dan memiliki ‘geng’nya. Sementara Rangga lebih suka menyendiri, teralienasi dari pergaulan, dan menolak untuk menjadi mainstream. Pergolakan batin seorang Cinta terjadi di sini. Layaknya remaja yang penuh kebimbangan dalam mencari jati diri, ia lebih memedulikan apa yang dipikirkan orang lain ketimbang kata hatinya sendiri..
Enough said about Cinta. Let’s
meet our heartthrob, the one and only,
Rangga. Dia tenang, cuek, dan apatis
terhadap sekitarnya. Ia mencintai sastra dan begitu tenggelam dalam
buku-bukunya ketika cowok-cowok seumurannya sibuk mengejar gadis atau bermain
basket. Ketika lelaki lain menjadi girang ketika melihat gadis pujaan, seorang
Rangga menjadi girang ketika menemukan bukunya yang hilang. Kehidupannya yang
kalem dan statis berubah 180 derajat ketika ia bertemu dengan Cinta. Ia tak
menyangka bahwa seorang gadis seperti Cinta ternyata memiliki interest yang sama dengannya, yaitu
sastra. Ini meluruhkan stereotype
Rangga tentang gadis cantik dan populer. Sesuatu dalam diri Cinta menggugah
sisi kelam dan sepi dalam dirinya. Untuk pertama kalinya, Rangga membuka diri
dan hatinya kepada orang lain, dan itu adalah seorang wanita. Ketika Cinta
terombang-ambing antara memikirkan citranya di hadapan para sahabat dan jujur
pada perasaannya sendiri, Rangga justru sangat yakin atas apa yang ia rasakan
kepada Cinta, terlepas dari segala risikonya. Sikap Cinta yang tidak jelas
itulah yang membawa Rangga pada rasa kecewa. No wonder that he has this expression below.
Bicara tentang karakterisasi dalam “Ada Apa dengan Cinta?” takkan lengkap tanpa bicara tentang sahabat-sahabat Cinta. Meski hanya tokoh pendukung, keempat gadis ini memegang peranan penting dalam perjalanan Cinta dan latar belakangnya dalam mengambil keputusan-keputusan. Let’s meet the possy. Mereka adalah Alya (Ladya Cheryll), Maura (Titi Kamal), Milly (Sissy Priscilla), dan Karmen (Adinia Wirasti). Keempat karakter seperti mereka pasti ada di setiap sekolah, saya bisa jamin itu. Alya yang lembut dan cenderung tertutup, memiliki permasalahan yang pelik dengan keluarga. Maura yang fashionable dan paling terdepan seputar gosip-gosip, tipe yang sering gonta-ganti pacar. Milly yang polos dan cenderung tulalit alias lemot, tipe penggembira dan mood-booster. Karmen yang tomboi dan berbadan bongsor, cenderung cuek dengan penampilan dan tipe yang mengandalkan otot ketimbang otak. Karena takut dimusuhi dan kehilangan keempat orang inilah, Cinta tak berani jujur bahwa dirinya telah jatuh cinta pada seorang Rangga, yang notabene tidak disukai oleh mereka berempat. Namun apalah arti sahabat apabila mereka tak dapat mendukung dan menerima diri kita apa adanya? Pada akhirnya, rasa sayang mereka kepada Cinta lah yang membuat mereka menerima perasaan Cinta kepada Rangga, bahkan membantu gadis itu mati-matian untuk berusaha mengejar cintanya.
Satu aspek krusial yang menurut
saya memegang peranan penting dalam kesuksesan “Ada Apa dengan Cinta?” adalah
tatanan musik alias soundtrack. Thanks to the very talented musician couple, Anto Hoed and Melly Goeslaw, for those beautiful tracks. Sentuhan
musik dari Hoed memberi jiwa pada film ini. Dan hebatnya, tidak ada satupun
lagu yang fail dalam jajaran soundtrack film ini. Setiap lagu
memiliki nyawanya sendiri dan membawa nuansa yang tepat dalam setiap adegannya.
Soundtrack yang baik adalah yang
sanggup membantu setiap adegan dalam menghidupkan penghayatan dan emosi
penonton, dan Hoed berhasil melakukannya. So
is the movie, its soundtracks are
everlasting.
Terlepas dari segala faktor yang
telah saya paparkan sebelumnya, adalah satu faktor penentu di balik kesuksesan
“Ada Apa dengan Cinta?”, apalagi kalau bukan timing. Yes, indeed, “Ada
Apa dengan Cinta?” was released at the very right time! Ketika film Indonesia tengah dalam masa transisinya dari
keterpurukan menuju kebangkitan, ketika minimnya angka film Indonesia untuk remaja yang
dirilis, “Ada Apa dengan Cinta?” hadir menawarkan hiburan dengan segala
kesederhanaannya. Dengan jalan cerita yang dapat ditemui sehari-hari dan dekat
dengan kehidupan remaja, dengan para jajaran pemain yang sedap dipandang mata
dan kualitas akting yang mumpuni, dengan lagu-lagu pengisi soundtrack yang ramah telinga, “Ada Apa dengan Cinta?” sukses
merebut hati jutaan remaja di Indonesia pada masa itu. Remaja perempuan mana
yang tak tergila-gila pada sosok Rangga? Penggambaran Rangga yang cool menjadikan ideal type para gadis remaja di masa itu. Remaja laki-laki mana
yang tak luluh hatinya melihat sosok Cinta? Sudah cantik, pintar, populer, puitis
pula. Bahkan hingga kini, film ini terus dikenang dan diingat sebagai salah
satu film penanda tonggak kebangkitan film Indonesia dari mati surinya.
After all, “
“Perempuan datang atas nama cinta. Bunda pergi karena cinta.Digenangi
air racun jingga adalah wajahmu. Seperti bulan lelap tidur dihatimu. Yang
berdinding kelam dan kedinginan. Ada
apa dengannya? Meninggalkan hati untuk dicaci. Baru sekali ini aku melihat
karya surga dalam mata seorang hawa. Ada
apa dengan Cinta? Tapi aku pasti akan kembali. Dalam satu purnama. Untuk
mempertanyakan kembali cintanya. Bukan untuknya. Bukan untuk siapa. Tapi
untukku. Karena aku ingin kamu. Itu saja.” –puisi Rangga (Ada Apa dengan
Cinta?, 2002)
Tags:
ada apa dengan cinta
adinia wirasti
anto hoed
dian sastrowardoyo
film indonesia
ladya cheryl
melly goeslaw
mira lesmana
movie
nicholas saputra
riri riza
rudi soedjarwo
sissy priscilla
titi kamal
0 komentar