• Home
  • Download
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Social
    • Facebook
    • Twitter
    • Googleplus
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Entertainment
  • Travel
  • Contact Us

footer logo

pieces of me



“I don’t know very well but I still say it. Women are like that, when they love, they are like that. You don’t even know how to love. You don’t even know my heart, so don’t say anything. I get mad even though I don’t know very well. I loved you without regrets, though you don’t know, though I can’t do well at all.” –Lyn, Can’t Do Well, Listen (OST. Protect The Boss) [translated lyrics]




Lee Se Jin, solois wanita asal Korea Selatan yang terkenal dengan nama panggung Lyn, turut menyumbangkan suaranya dalam mengisi lagu soundtrack untuk serial drama “Protect The Boss”. Ia membawakan sebuah lagu berjudul “Can’t Do Well, Listen” yang juga dikenal dengan judul “You Don’t Know” atau “They Don’t Know”. Lagu ini dirilis pada tanggal 9 Agustus 2011 sebagai single “Protect The Boss OST Part 2”.
“Can’t Do Well, Listen” menggambarkan perasaan seorang wanita yang dilanda keresahan. Keresahan yang ditimbulkan karena ia tidak dapat memahami hati dan perasaannya sendiri. Satu hal yang ia sadari, bahwa ia masih mencintai pria yang telah pergi darinya. “Women are like that, when they love, they are like that.” Rasa bersalah begitu mengganggu benak wanita itu. Ia merasa bahwa hubungannya gagal karena sikapnya, karena sifatnya, karena ia tidak dapat melakukan segalanya dengan baik. Ia merasa bahwa ia telah banyak menyakiti pria itu selama mereka bersama, bahwa segala kekurangannya telah melukai perasaan pria itu. Terlepas dari segala sakit yang terjadi, wanita itu mencintai pria itu, dan ia tidak memiliki penyesalan sama sekali atas cinta yang ia miliki untuk pria itu. Walaupun ia tidak dapat melakukan segalanya dengan baik, walaupun pria itu tidak memahaminya, cinta itu masih ada.



Lagu ini menjadi bagian dari album “Protect The Boss: Original Sound Track” yang dirilis pada tanggal 12 September 2011. “Can’t Do Well, Listen” adalah sebuah lagu ballad yang menonjolkan suara merdu mendayu Lyn, dipadukan dengan melodi yang sendu nan melankolis. Sebuah music video (MV) dari lagu ini dibuat dengan menampilkan potongan gambar dari serial “Protect The Boss”.

“I don’t even know my own heart but I still say it. Women are like that, when they love, they are like that. You don’t even know how to love. You don’t even know my heart, so don’t say anything. I’m still not there yet, love is still all for me. I loved you without regrets, though you don’t know, though I can’t do well at all.” –Lyn, Can’t Do Well, Listen (OST. Protect The Boss) [translated lyrics]



* Ditulis sambil mendengarkan lagu “Can’t Do Well, Listen” oleh Lyn, yang merupakan OST dari serial drama “Protect The Boss”. Lirik lagu berupa romanisasi dari huruf Hangul Korea, beserta dengan translasinya ke dalam Bahasa Inggris.

“Jal alji motamyeonseo
(Though I can’t do well)

Naega jogeum babogatginhaesseo myeotbeonssik saenggakhamyeon halsurok
(I was a bit of a fool, no matter how much I think about it)
Heeojijadeon geu mareul deutgonaseo nega eolmana miwojideonji
(After I heard you breaking up with me, I hated you so much)
Jal ara naega neoreul neomu saranghaeseo maebeon himdeulge haenneunji molla
(I know, I just loved you too much so I maybe gave you a hard time)
Geunyang doragalkke uri mollatdeon geuttaecheoreom
(I’ll just go back to the times when we didn’t know each other)
Ipsureul mulgo nunmureul chamabwado tteoreojineun nunmulman
(I bite my lips and hold back my tears, but the tears still fall)
Gaseumi joyeowa sumdo mosswigesseo neoreul itjimotago sara
(My heart is twisting and I can’t breathe, I can’t live as I forget you)

Jal alji motamyeonseo geureoke mareulhae yeojanda geurae saranghamyeon geurae
(I don’t know very well but I still say it, women are like that, when they love, they are like that)
Sarangeul malhaljuldo moreumyeonseo naemamdo moreumyeonseo malhajima
(You don’t even know how to love, you don’t even know my heart, so don’t say anything)
Jal alji motamyeonseo geureoke hwareullae huhoeeobsi neol saranghaenneunde
(I get mad even though I don’t know very well, I loved you without regrets)
Moreumyeonseo jal aljido motamyeonseo
(Though you don’t know, though I can’t do well at all)

Tteonan ni mameul dollyeoboryeohaetjiman babogateun yeojaraseo
(I tried to turn back your heart that left, because I’m a foolish woman)
Neoreul japjimotae bureujidomotae tteonan nimoseumman bogoisseo
(But I can’t hold you, I can’t call out to you, I’m just looking at you leaving)

Nae mamdo moreumyeonseo
(You don’t even know my heart)

Nae mamdo moreumyeonseo geureoke mareulhae yeojandageurae saranghamyeongeurae
(I don’t even know my own heart but I still say it, women are like that, when they love, they are like that)
Sarangeul malhaljuldo moreumyeonseo naemamdo moreumyeonseo malhajima
(You don’t even know how to love, you don’t even know my heart. so don’t say anything)
Ajik nan anya nan sarangi jeonbuya huhoeeobsi neol saranghaenneunde
(I’m still not there yet, love is still all for me, I loved you without regrets)
Moreumyeonseo jal aljido motamyeonseo
(Though you don’t know, though I can’t do well at all)

Moreumyeonseo jal aljido motamyeonseo
(Though you don’t know, though I can’t do well at all)”
Wrote by Mashita Fandia
“Aku lari ke hutan, kemudian menyanyiku. Aku lari ke pantai, kemudian teriakku. Sepi... Sepi dan sendiri aku benci. Aku ingin bingar. Aku mau di pasar. Bosan aku dengan penat, dan enyah saja kau, pekat! Seperti berjelaga jika aku sendiri. Pecahkan saja gelasnya biar ramai. Biar mengaduh sampai gaduh. Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih. Kenapa tak goyangkan saja loncengnya? Biar terderah, atau... aku harus lari ke hutan belok ke pantai?” –puisi Rangga (Ada Apa dengan Cinta?, 2002)



Judul                : Ada Apa dengan Cinta?
Genre               : drama remaja
Sutradara         : Rudi Soedjarwo
Rilis                  : 8 Februari 2002
Durasi              : 112 menit
Distributor        : Miles Production
Pemain             : Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra

Tidak terasa sudah lebih dari satu dekade film Indonesia bangkit dari mati surinya. Produser film Mira Lesmana dan Riri Riza dapat dikatakan menjadi tokoh penting dalam tonggak kebangkitan itu sejak mereka bekerja sama dalam memproduksi film “Petualangan Sherina” pada tahun 2000. Dua tahun kemudian, duet maut ini kembali menghasilkan sebuah karya yang tak kalah fenomenalnya. Apa lagi kalau bukan “Ada Apa dengan Cinta?”. Sebagian besar remaja pada masa itu pasti sudah pernah menonton film ini, dan mereka tidak akan pernah melupakan sensasi luar biasa yang dihasilkan olehnya. Setelah sekian lama, akhirnya terlihat lonjakan jumlah penonton di bioskop untuk menonton sebuah film Indonesia. Lalu sebenarnya apa yang membuat “Ada Apa dengan Cinta?” begitu sukses pada waktu itu? Let’s take a deeper look into this phenomenal teen romance drama.



Tidak ada yang istimewa dari jalan cerita “Ada Apa dengan Cinta?”. Inti ceritanya bahkan sangat klise, yaitu tentang sepasang remaja yang berasal dari dua lingkungan pergaulan yang berbeda, mereka berdua jatuh cinta dan harus menjalani konsekuensi atas hubungan mereka, termasuk konflik dengan para sahabat. Tidak hanya sampai di situ saja, film ini bahkan diakhiri dengan ending ter-cheesy yang mungkin pernah ada dalam jagad perfilman dunia, yaitu di bandara, tidak lupa adegan kissing ala film Hollywood sebagai pamungkas pertemuan kedua tokoh utamanya. Lalu apa yang membuat film ini begitu dahsyatnya merasuki para remaja Indonesia kala itu?
Dari segi jalan dan tema cerita, “Ada Apa dengan Cinta?” memang memilih yang paling klise dan sederhana. Namun sutradara Rudi Soedjarwo dan penulis skenario Jujur Prananto sanggup mengolah dan memolesnya dengan rapi. Kesederhanaan inilah yang justru kemudian menjadi kekuatan dari jalan cerita “Ada Apa dengan Cinta?”. Film ini menawarkan kedekatan dengan realitas, dan harus saya akui, jurus ini tak pernah gagal dalam merebut hati penonton. Hampir seluruh kisah yang termuat dalam film ini dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Hubungan yang diawali dengan perselisihan dan pertengkaran, namun kemudian berlanjut menjadi cinta. Sahabat yang memiliki problem dalam keluarganya. Serta detail-detail lain yang pasti terasa familiar bagi para remaja. Rudi membingkai adegan demi adegan dengan sangat apik dan cermat. Tidak ada lompatan-lompatan adegan yang terasa janggal sama sekali dalam film ini, sesuatu yang sangat jarang didapatkan pada film-film drama remaja sejenis yang bermunculan kemudian.
Standing applause saya persembahkan untuk Jujur Prananto, atas skenario yang well-written. Terbukti bahwa cerita yang ringan sekalipun apabila dikemas oleh tangan yang tepat akan menghasilkan karya yang fantastis. Setiap pilihan kata diambil atas dasar pertimbangan dan riset, mengingat ketika menulis naskah dialog film ini, usia Jujur sudah tidak dapat dikatakan remaja lagi. Pun halnya dengan Rako Prijanto, atas puisi-puisi yang ditulisnya untuk film ini. Puisi menjadi nyawa bagi “Ada Apa dengan Cinta?”, yang bahkan masih menempel di kepala orang-orang hingga saat ini. Remaja mana pada masa itu yang tak mengenal bait kalimat “pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh”?. Berkat film ini, ratusan remaja di pelosok Indonesia mulai melirik puisi dan sastra lama sebagai interest mereka, sesuatu yang sebenarnya telah mulai ditinggalkan oleh kaum muda pada masa itu.



Karakterisasi yang kuat dan menonjol menjadi point of interest tersendiri dari “Ada Apa dengan Cinta?”, terutama pada dua tokoh utamanya, Cinta (Dian Sastrowardoyo) dan Rangga (Nicholas Saputra). Mari kita mulai dari seorang Cinta, seorang gadis cantik nan perfeksionis, who seems to have a perfect life in her perfect world. Sifat perfeksionis Cinta ini yang membawanya pada rasa penasaran ketika seorang pemuda bernama Rangga, muncul dari antah berantah dan mengalahkannya pada lomba menulis puisi di sekolahnya pada suatu hari. Cinta merasa tertantang, sebagai ketua pengurus majalah dinding sekolah yang jago berpuisi dan notabene adalah langganan pemenang di sekolahnya. Yang kemudian terjadi sudah dapat ditebak, rasa penasaran dan tersaingi Cinta berujung menjadi ketertarikan. Cinta menemukan keunikan, sesuatu yang beda, dalam sosok Rangga, yang tidak ia temukan pada kebanyakan lelaki seumurannya. Namun satu hal, ‘dunia’ mereka berbeda. Cinta adalah ikon dari cewek gaul di sekolahnya, dia cantik, pintar, populer, dan memiliki ‘geng’nya. Sementara Rangga lebih suka menyendiri, teralienasi dari pergaulan, dan menolak untuk menjadi mainstream. Pergolakan batin seorang Cinta terjadi di sini. Layaknya remaja yang penuh kebimbangan dalam mencari jati diri, ia lebih memedulikan apa yang dipikirkan orang lain ketimbang kata hatinya sendiri..
Enough said about Cinta. Let’s meet our heartthrob, the one and only, Rangga. Dia tenang, cuek, dan apatis terhadap sekitarnya. Ia mencintai sastra dan begitu tenggelam dalam buku-bukunya ketika cowok-cowok seumurannya sibuk mengejar gadis atau bermain basket. Ketika lelaki lain menjadi girang ketika melihat gadis pujaan, seorang Rangga menjadi girang ketika menemukan bukunya yang hilang. Kehidupannya yang kalem dan statis berubah 180 derajat ketika ia bertemu dengan Cinta. Ia tak menyangka bahwa seorang gadis seperti Cinta ternyata memiliki interest yang sama dengannya, yaitu sastra. Ini meluruhkan stereotype Rangga tentang gadis cantik dan populer. Sesuatu dalam diri Cinta menggugah sisi kelam dan sepi dalam dirinya. Untuk pertama kalinya, Rangga membuka diri dan hatinya kepada orang lain, dan itu adalah seorang wanita. Ketika Cinta terombang-ambing antara memikirkan citranya di hadapan para sahabat dan jujur pada perasaannya sendiri, Rangga justru sangat yakin atas apa yang ia rasakan kepada Cinta, terlepas dari segala risikonya. Sikap Cinta yang tidak jelas itulah yang membawa Rangga pada rasa kecewa. No wonder that he has this expression below.



Bicara tentang karakterisasi dalam “Ada Apa dengan Cinta?” takkan lengkap tanpa bicara tentang sahabat-sahabat Cinta. Meski hanya tokoh pendukung, keempat gadis ini memegang peranan penting dalam perjalanan Cinta dan latar belakangnya dalam mengambil keputusan-keputusan. Let’s meet the possy. Mereka adalah Alya (Ladya Cheryll), Maura (Titi Kamal), Milly (Sissy Priscilla), dan Karmen (Adinia Wirasti). Keempat karakter seperti mereka pasti ada di setiap sekolah, saya bisa jamin itu. Alya yang lembut dan cenderung tertutup, memiliki permasalahan yang pelik dengan keluarga. Maura yang fashionable dan paling terdepan seputar gosip-gosip, tipe yang sering gonta-ganti pacar. Milly yang polos dan cenderung tulalit alias lemot, tipe penggembira dan mood-booster. Karmen yang tomboi dan berbadan bongsor, cenderung cuek dengan penampilan dan tipe yang mengandalkan otot ketimbang otak. Karena takut dimusuhi dan kehilangan keempat orang inilah, Cinta tak berani jujur bahwa dirinya telah jatuh cinta pada seorang Rangga, yang notabene tidak disukai oleh mereka berempat. Namun apalah arti sahabat apabila mereka tak dapat mendukung dan menerima diri kita apa adanya? Pada akhirnya, rasa sayang mereka kepada Cinta lah yang membuat mereka menerima perasaan Cinta kepada Rangga, bahkan membantu gadis itu mati-matian untuk berusaha mengejar cintanya.
Satu aspek krusial yang menurut saya memegang peranan penting dalam kesuksesan “Ada Apa dengan Cinta?” adalah tatanan musik alias soundtrack. Thanks to the very talented musician couple, Anto Hoed and Melly Goeslaw, for those beautiful tracks. Sentuhan musik dari Hoed memberi jiwa pada film ini. Dan hebatnya, tidak ada satupun lagu yang fail dalam jajaran soundtrack film ini. Setiap lagu memiliki nyawanya sendiri dan membawa nuansa yang tepat dalam setiap adegannya. Soundtrack yang baik adalah yang sanggup membantu setiap adegan dalam menghidupkan penghayatan dan emosi penonton, dan Hoed berhasil melakukannya. So is the movie, its soundtracks are everlasting.
Terlepas dari segala faktor yang telah saya paparkan sebelumnya, adalah satu faktor penentu di balik kesuksesan “Ada Apa dengan Cinta?”, apalagi kalau bukan timing. Yes, indeed, “Ada Apa dengan Cinta?” was released at the very right time! Ketika film Indonesia tengah dalam masa transisinya dari keterpurukan menuju kebangkitan, ketika minimnya angka film Indonesia untuk remaja yang dirilis, “Ada Apa dengan Cinta?” hadir menawarkan hiburan dengan segala kesederhanaannya. Dengan jalan cerita yang dapat ditemui sehari-hari dan dekat dengan kehidupan remaja, dengan para jajaran pemain yang sedap dipandang mata dan kualitas akting yang mumpuni, dengan lagu-lagu pengisi soundtrack yang ramah telinga, “Ada Apa dengan Cinta?” sukses merebut hati jutaan remaja di Indonesia pada masa itu. Remaja perempuan mana yang tak tergila-gila pada sosok Rangga? Penggambaran Rangga yang cool menjadikan ideal type para gadis remaja di masa itu. Remaja laki-laki mana yang tak luluh hatinya melihat sosok Cinta? Sudah cantik, pintar, populer, puitis pula. Bahkan hingga kini, film ini terus dikenang dan diingat sebagai salah satu film penanda tonggak kebangkitan film Indonesia dari mati surinya.



After all, “Ada Apa dengan Cinta?” is an ordinary and typical teen romance drama. Apabila film ini dirilis sekarang, dengan kondisi perfilman Indonesia yang sekkarang ini, mungkin reaksi yang didapatkan akan jauh berbeda. Namun sejarah tak dapat ditulis ulang, dan “Ada Apa dengan Cinta?” adalah salah satu terbaik yang pernah dirilis dalam sejarah perfilman Indonesia. Satu hal yang pasti, film ini layak atas segala apresiasi yang didapatkannya pada masa itu. Terbukti bahwa sesuatu yang sangat tipikal sekalipun apabila dikerjakan dengan serius oleh tangan-tangan yang tepat, maka akan terwujud menjadi sebuah karya yang dapat merasuk sedemikian rupa di hati masyarakat. “Ada Apa dengan Cinta?” sukses membentuk pop culture pada masanya. Sesuatu yang tak dapat terulang lagi dan sangat jarang ditemui pada film-film remaja yang dirilis belakangan ini. Atas berbagai faktor di atas saya berani mengatakan bahwa film ini pun masih layak ditonton oleh remaja zaman sekarang. Setidaknya “Ada Apa dengan Cinta?” menyuguhkan kualitas dalam kesederhanaan, tidak seperti sinetron-sinetron remaja sekarang ini.

“Perempuan datang atas nama cinta. Bunda pergi karena cinta.Digenangi air racun jingga adalah wajahmu. Seperti bulan lelap tidur dihatimu. Yang berdinding kelam dan kedinginan. Ada apa dengannya? Meninggalkan hati untuk dicaci. Baru sekali ini aku melihat karya surga dalam mata seorang hawa. Ada apa dengan Cinta? Tapi aku pasti akan kembali. Dalam satu purnama. Untuk mempertanyakan kembali cintanya. Bukan untuknya. Bukan untuk siapa. Tapi untukku. Karena aku ingin kamu. Itu saja.” –puisi Rangga (Ada Apa dengan Cinta?, 2002)

Wrote by Mashita Fandia

Judul                : Sang Penari
Genre               : drama
Sutradara         : Ifa Isfansyah
Rilis                  : 10 November 2011
Durasi              : 111 menit
Distributor        : Salto Films
Pemain             : Prisia Nasution, Oka Antara


Tiga dekade sudah berlalu sejak novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari pertama kali terbit. Pada tahun 2011 lalu, karya sastra fenomenal ini menjadi inspirasi bagi sebuah film bertajuk “Sang Penari”. Digarap oleh sutradara asal Yogyakarta yang terkenal dengan karyanya “Garuda di Dadaku”, Ifa Isfansyah, “Sang Penari” mengangkat kisah cinta antara dua anak manusia yang berlatar belakang konflik pergolakan budaya dan politik Indonesia pada tahun 1960-an. Kata orang, cinta tak mengenal logika. Namun ketika cinta dihadapkan pada prinsip hidup, masihkah logika terkalahkan oleh dorongan hati atas nama cinta? Tanpa terlepas dari unsur budaya dan politik yang turut menghiasi kisah dalam “Sang Penari”, film ini adalah sebuah film tentang cinta, impian, dan pengorbanan. Tentang perjalanan cinta dua anak manusia, yang tumbuh besar bersama, namun pada akhirnya menapaki jalan takdir yang berbeda.
Kisah berawal pada tahun 1953, di sebuah desa bernama Dukuh Paruk di kawasan Banyumas, Srintil dan Rasus adalah sahabat yang tumbuh besar bersama sejak kecil. Adalah Ronggeng, sebuah kesenian tradisional berupa tarian yang diagung-agungkan oleh masyarakat desa setempat. Sejak kecil Srintil telah mengagumi penari Ronggeng di desanya, namun sebegitu besarnya rasa suka Srintil untuk menari, sebegitu besar pula rasa tidak suka Rasus melihat sahabatnya itu menari. Hingga pada suatu hari, terjadi sebuah tragedi yang menewaskan kedua orang tua Srintil. Tragedi ini menimbulkan rasa bersalah pada diri Srintil, karena sebelum meninggal, kedua orang tuanya tidak sengaja meracuni sebagian besar penduduk desa dengan makanan buatan mereka, termasuk membunuh satu-satunya penari Ronggeng yang dimiliki oleh Dukuh Paruk.
Waktu berlalu dan satu dekade sudah Dukuh Paruk tidak memiliki penari Ronggeng. Pada tahun 1963, akhirnya Srintil (Prisia Nasution) yang telah tumbuh dewasa dinobatkan sebagai Ronggeng baru di Dukuh Paruk. Meskipun tidak serta merta mendukung upaya Srintil pada awalnya, bahkan menolak habis-habisan, pada akhirnya Rasus dewasa (Oka Antara) tak sanggup berbuat apa-apa melihat wanita yang dicintainya memilih jalan untuk menjadi penari Ronggeng. Satu hal yang membuat Rasus membenci ide itu adalah bahwa ketika Srintil menjadi Ronggeng, maka wanita itu sepenuhnya menjadi milik Dukuh Paruk, bukan dirinya, terlepas dari seberapa dalam mereka saling mencintai. Menyadari bahwa harapannya untuk bersama dengan Srintil telah pupus, Rasus kemudian bergabung dengan pasukan militer. Di sana, ia diajari baca tulis dan dilatih untuk menjadi seorang prajurit.
Menjadi anggota pasukan militer tidak lantas membuat Rasus meninggalkan dan melupakan asal usulnya begitu saja. Terlebih lagi, ia tidak sanggup melupakan Srintil. Sekali lagi pria itu kembali ke kampung halamannya dan berusaha membawa Srintil pergi dari sana, namun wanita itu menolak. Meskipun mencintai Rasus, Srintil bersikeras bahwa menjadi seorang penari Ronggeng adalah takdir yang harus ia jalani. Bahwa menjadi Ronggeng adalah satu-satunya cara ia dapat menebus ‘dosa’ almarhum kedua orang tuanya pada masa lalu. Bahwa menjadi Ronggeng adalah wujud darma baktinya kepada Dukuh Paruk. Atas semua itu lagi-lagi Rasus tak sanggup berbuat apa-apa. Bagaimana pun juga, Srintil adalah seorang Ronggeng dan Rasus adalah seorang tentara, dan mereka berdua tak akan dapat bersatu.
Seiring pembangunan yang terjadi di seluruh pelosok Nusantara, Dukuh Paruk pun tidak terlepas dari sentuhan modernisasi. Sayangnya, sentuhan ini datang melalui PKI. Masyarakat Dukuh Paruk yang masih memegang teguh aturan dan adat istiadat leluhurnya, masih belum tersentuh pemahaman agama dan pendidikan baca tulis. Mereka tidak menyadari ketika PKI mulai menyusup dalam masyarakat mereka, bahkan menggunakan kesenian Ronggeng sebagai alat propaganda. Akibatnya, Srintil yang tidak memahami apa-apa turut terseret ketika oknum-oknum PKI dibantai paska tragedi berdarah G 30 S. Mengetahui bahwa keselamatan Srintil terancam, Rasus pun mengerahkan segala cara yang ia bisa untuk menyelamatkan wanita itu.



Mengangkat sebuah karya sastra ke layar lebar bukanlah perkara mudah. Pasti orang-orang akan langsung membandingkan kedua karya tersebut. Apalagi “Ronggeng Dukuh Paruk” merupakan salah satu karya sastra terbaik yang dimiliki bangsa ini. Namun satu hal yang harus disadari oleh penonton, bahwa novel dan film adalah dua jenis media yang berbeda. Maka dari itu sangatlah wajar apabila terdapat satu dua perbedaan mendasar yang sangat mungkin memunculkan beberapa kekurangan dan kelebihan. Sang sutradara, Ifa Isfansyah, sendiri mengakui bahwa “Sang Penari” tidak serta merta mengadaptasi “Ronggeng Dukuh Paruk”, melainkan terinspirasi atasnya. Ia merangkum novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”, “Lintang Kemukus Dini Hari”, dan “Jantera Bianglala”, kemudian menerjemahkannya menjadi sebuah film drama berdurasi 111 menit dengan visualisasi yang menurut saya luar biasa.
Berangkat dari masterpiece yang mengandung begitu banyak ideologi dan pemikiran di balik kisah cinta yang menjadi fokus utamanya, “Sang Penari” memiliki jalan cerita yang kuat ketika Ifa Isfansyah bersama dengan Salman Aristo dan Shanty Harmayn menuturkannya ke dalam skenario film. Mengambil setting pada pertengahan tahun 60-an, di mana sejarah kelam bangsa ini tercatat melalui serangkaian pembantaian bermotif gerakan sebuah partai yang dinilai ‘kiri’, Ifa dan kawan-kawan membingkai kisah ini secara apik. Meskipun istilah PKI dan simbol-simbolnya tidak diutarakan secara gamblang dalam film ini, orang-orang Indonesia dan mereka yang memahami sejarah pasti langsung tahu konflik apa yang terjadi ketika menontonnya. Namun hal ini justru menjadi bumerang, karena ketika film ini dibawa ke ranah masyarakat internasional, akan terjadi semacam kesenjangan pemahaman akibat kehati-hatian tim produksi dalam membingkai konflik PKI dalam film ini. Alasan atas hal ini sebenarnya masih dapat dimengerti, mengingat bahwa masyarakat Indonesia masih belum siap untuk disuguhi sisi kelam sejarah bangsanya.
Mengambil setting di sebuah desa kecil di Pulau Jawa, di mana masyarakatnya masih memegang teguh tradisi dan belum tersentuh perkembangan ideologi dan agama, Dukuh Paruk menjadi asal mula segala kisah ini berawal. Kesenian Ronggeng yang diagung-agungkan sudah seolah menjadi ‘agama’ bagi masyarakat Dukuh Paruk, sebuah bentuk kesakralan tertinggi. Para pria dan suami percaya bahwa bercinta dengan sang penari Ronggeng dapat mendatangkan berkah. Bahkan para istri turut berbangga ketika suami mereka dapat bercinta dengan sang penari. Sebuah ironi yang mungkin terasa janggal bagi masyarakat modern. Keterbelakangan desa tersebut, utamanya dalam hal kemampuan baca tulis dan tingkat pendidikan masyarakatnya, adalah faktor utama penyebab desa ini begitu mudah disusupi oleh ideologi baru yang bahkan mereka sendiri tidak paham apa maknanya, bahkan ketika mereka ditangkap dan disiksa tanpa pandang bulu. Tragis memang, namun inilah gambaran nyata sejarah Indonesia.
Ketika kisah cinta menjadi fokus dan kekuatan utama dalam film ini, segala aspek kebudayaan dan konflik perpolitikan menjadi sebuah latar belakang cerita yang memberikan sebuah benang merah dalam perjalanan hidup kedua tokohnya. Let’s meet Rasus and Srintil, our beloved Romeo and Juliet of Dukuh Paruk. Karakter Srintil adalah sebuah pribadi complicated yang terbentuk dari kecintaannya terhadap tarian, impiannya untuk menjadi seorang penari, rasa tanggung jawabnya kepada masyarakat Dukuh Paruk, dan keinginannya untuk hidup bersama pria yang ia sayangi. Pergolakan batin tak hentinya terjadi dalam diri seorang Srintil. Ketika Srintil tahu betul apa yang ia inginkan dan apa yang akhirnya ia jalani, di lain pihak Rasus masih berusaha mencari jati dirinya. Srintil adalah dunia Rasus, dan ketika ia kehilangan dunia itu, ia limbung seketika. Transformasi karakter Rasus pun terjadi di sini. Mulai dari pemuda desa yang bodoh, hingga menjadi seorang tentara yang dapat diandalkan. Ia menemukan dunia baru yang sejenak mengalihkan pikirannya dari Srintil dan Dukuh Paruk. Namun tentu saja, pengalihan itu tak bertahan lama.
Tim produksi melakukan kerja yang luar biasa untuk menghidupkan setting Dukuh Paruk. Mereka berhasil menghidupkan suasana desa pelosok beserta seluruh masyarakatnya dengan tatanan lokasi dan gaya busana yang sesuai dengan masanya. Perlu dicatat pula bahwa duet Prisia Nasution dan Oka Antara berhasil memunculkan chemistry yang dalam dan berkharisma. Kemampuan akting keduanya luar biasa dalam film ini. Logat Banyumasan tidak tampak aneh diucapkan oleh Oka yang notabene adalah orang Bali. Ini menunjukkan keseriusan dan totalitasnya dalam mendalami karakter Rasus. Ia bahkan rela menurunkan berat badannya untuk memeroleh gambaran fisik seorang Rasus, pemuda desa yang miskin. Sementara untuk Prisia, meskipun ini adalah pertama kalinya ia didapuk sebagai pemeran utama dalam film layar lebar, ia berhasil menunjukkan konsistensinya melalui akting yang brilian.


Secara keseluruhan, “Sang Penari” adalah layak untuk memboyong empat penghargaan dari sepuluh nominasi yang dikukuhkannya dalam ajang Festival Film Indonesia 2011. Piala Citra untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Ifa Isfansyah), Aktris Terbaik (Prisia Nasution), dan Aktris Pendukung Terbaik (Dewi Irawan) berhasil diraih oleh “Sang Penari”. Selain itu, film ini juga menuai tanggapan positif dari berbagai kritikus film. Bahkan sang empunya cerita, Ahmad Tohari, dikabarkan menangis terharu ketika melihat film ini. Padahal ia menolak untuk menonton adaptasi sebelumnya atas kisah ini, yaitu “Darah dan Mahkota Ronggeng” (1983). “Sang Penari” adalah satu dari sedikit film Indonesia yang memiliki nyawa. Ketika menontonnya, saya tidak merasakan ‘lompatan-lompatan janggal’ yang selalu terjadi setiap kali saya menonton kebanyakan film Indonesia. Indeed, “Sang Penari” is recommended and worth to watch!

Wrote by Mashita Fandia


“Life is ironic.” –Im Na Mi (Sunny, 2011)

“Friends are for hard times.” –Im Na Mi (Sunny, 2011)

“We’ll meet again. If you ignore us because your life is too good, we’ll go and punish you. If you hide because your life is suck, we’ll go and make it better. I don’t know who will die first among us, but until that day, no, even beyond that day, we, Sunny, will never break up.” –Ha Chun Hwa (Sunny, 2011)


Judul                : Sunny
Genre               : drama
Sutradara         : Kang Hyung Chul
Rilis                  : 4 Mei 2011
Durasi              : 124 menit
Distributor        : CJ Entertainment
Pemain             : Yoo Ho Jeong, Jin Hee Kyung, Shim Eun Kyung, Kang So Ra

People say that high school never ends, well not literally of course, but it’s the memories that last forever. Masa SMA bagi sebagian besar orang adalah masa-masa keemasan di mana mereka merajut cerita, cinta, dan persahabatan. Bagi mereka yang pernah, maupun sedang mengalaminya, bagaimana rasanya berkumpul dengan teman-teman sepermainan? Luar biasa, bukan? Bermain bersama, tertawa bersama, menangis bersama, belajar bersama, dan yang terpenting adalah, memahami hidup bersama. Melewatkan waktu bersama dengan kesadaran penuh bahwa masa-masa itu akan menjadi sebuah kenangan yang berharga di masa mendatang. Menikmati waktu-waktu kebersamaan tanpa beban, karena tahu bahwa ada orang-orang paling berarti di sisi mereka, orang-orang yang memberi makna dan harapan. Tidak peduli apa yang menyongsong di depan, selama mereka bersama, mereka menggenggam dunia dan dapat menghadapinya dengan kepala tegak. Masa-masa penuh kepolosan sekaligus keangkuhan. Sebuah film Korea Selatan berjudul “Sunny” memotret tentang masa-masa itu. Tentang arti tulus persahabatan, tentang kenangan, tentang kebersamaan, tentang makna kehidupan.



Kisah ini dimulai pada tahun 1980-an, ketika Im Na Mi remaja (Shim Eun Kyung), baru saja pindah ke sekolah barunya di Seoul. Pada hari pertama di sekolah barunya, Na Mi menjadi sasaran pem-bully-an, namun ia diselamatkan oleh Ha Chun Hwa (Kang So Ra). Chun Hwa adalah pemimpin dari sekelompok gadis yang berkumpul dan bermain bersama. Mereka adalah Kim Jang Mi (Kim Min Young) yang berbadan gempal dan terobsesi memiliki mata dengan double eyelids, Hwang Jin Hee (Park Jin Joo) yang hobi mengumpat serta berkata kasar nan jorok, Seo Geum Ok (Nam Bo Ra) yang berasal dari keluarga berada dan putri dari seorang dokter gigi, Ryu Bok Hee (Kim Bo Mi) yang hobi berdandan serta bercita-cita menjadi Miss Korea, dan terakhir adalah Jung Su Ji (Min Hyo Rin) yang merupakan gadis paling cantik di sekolah namun pendiam dan misterius. Ketujuh gadis itu kemudian menamai diri mereka Sunny. Mereka menghabiskan waktu bersama, melakukan segalanya pun bersama. Hingga pada suatu hari, sebuah tragedi memisahkan mereka.
Dua puluh lima tahun kemudian, Im Na Mi dewasa (Yoo Ho Jeong) telah menjadi seorang ibu rumah tangga dan menjalani rutinitasnya yang monoton, yaitu mengurus suami dan anaknya. Pada suatu hari ketika ia menengok ibunya di rumah sakit, tidak sengaja ia bertemu dengan Ha Chun Hwa (Jin Hee Kyung). Na Mi terkejut mendapati sahabat lamanya itu tengah menderita penyakit kanker stadium akhir. Dirinya divonis oleh dokter hanya sanggup bertahan sekitar dua bulan saja. Chun Hwa pun mengajukan sebuah permohonan kepada Na Mi, yaitu untuk mengumpulkan seluruh anggota Sunny lagi, karena ia ingin berkumpul bersama mereka untuk terakhir kalinya. Anggota pertama yang ditemukan Na Mi adalah Kim Jang Mi (Go Soo Hee), yang telah menjadi seorang pegawai asuransi. Mereka berdua akhirnya menyewa jasa pencarian orang untuk menemukan kembali anggota Sunny lainnya. Satu demi satu, akhirnya anggota Sunny ditemukan. Meskipun kondisi mereka tidak sama lagi seperti dulu, mereka menyadari bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tidak akan pernah berubah, tidak peduli berapa lama waktu yang telah berlalu.



Bukan film Korea Selatan namanya kalau tidak sanggup membuat penontonnya merasakan sensasi paradoks, yaitu tertawa terbahak-bahak dan menangis tersedu-sedu sekaligus. Bagaikan koin dengan dua sisinya, “Sunny” menyajikan tontonan yang sanggup menggugah dua sisi emosi terdalam manusia, yaitu kebahagian dan kesedihan. Film ini membingkai kisah persahabatan anak manusia dalam perjalanan hidup mereka. Sebagai sebuah film drama, “Sunny” menawarkan paket lengkap penggugah emosi, serta yang terpenting, kedekatan dengan realitas. Bagi kebanyakan orang, khususnya para wanita, menonton film ini akan melempar kita ke masa-masa suka dan duka yang pernah dilalui bersama para sahabat di sekolah. Kesombongan di masa muda yang indah, begitu kalau kata lirik lagu Sheila On 7. Berikut ini saya mencatat beberapa poin penting dari hasil perenungan atas film ini.
First of all, time changes, not everything, but some things do change as the time goes by. Waktu adalah variabel yang menakutkan dalam hidup. Waktu terus berjalan dan tak dapat diputar ulang. Manusia tidak dapat mengharapkan segala sesuatunya untuk selalu sama dan tak berubah. Indeed, life is filled with irony. Kondisi ketujuh sahabat dalam “Sunny” pun mengalami perubahan yang signifikan dalam rentang waktu 25 tahun mereka terpisah. Pribadi yang jauh lebih dewasa, keadaan yang tak sebebas dulu. Transformasi karakter dari remaja hingga dewasa dipaparkan dengan apik dalam film ini. Tokoh Im Na Mi yang dulu super cuek dan menyukai tantangan, kini memiliki kehidupan yang monoton sebagai ibu rumah tangga. Ia bahkan tidak mendapatkan respek yang diharapkan dari suami dan anaknya. Seo Geum Ok yang dulunya dibesarkan dalam keluarga serba berkecukupan, kini justru tidak memiliki apa-apa. Waktu merubah banyak hal, namun tidak semuanya, yang kemudian membawa saya pada poin kedua.
The second, even after many years have passed, some things aren’t meant to change at all. Beberapa hal tak lekang dimakan waktu. Salah satunya adalah kenangan. Salah duanya adalah watak. Terpisah sekian lama tak lantas membuat ketujuh sahabat dalam “Sunny” melupakan begitu saja kenangan tentang persahabatan mereka. Terlepas dari seluruh kenangan buruk, masa-masa itu adalah zaman keemasan mereka. Toh inti persahabatan tak hanya berbagi suka, melainkan juga duka. Transformasi karakter dalam film ini juga digambarkan dengan tidak meluruhkan watak asli para tokohnya. Basic character doesn’t change. Bahkan setelah dewasa, tokoh Kim Jang Mi masih memiliki pola pikir yang serupa dengan dirinya sewaktu masih remaja, baik secara sadar maupun tidak. Di samping itu, tokoh Hwang Jin Hee yang meskipun telah berusaha sekeras mungkin untuk menjadi sosok yang halus di hadapan sang suami, ketika ia bertemu dan berkumpul lagi dengan sahabat-sahabat lamanya, kebiasaannya untuk mengumpat tak sanggup ia elakkan. Tidak peduli berapa tua sudah umur seseorang, terkadang ketika mereka berkumpul lagi dengan sahabat mereka di masa muda, maka jiwanya akan kembali ke masa-masa itu.
The third, sometimes life doesn’t go the way that we expect to be, but as a human, we must live life to the fullest, enjoy every second of it, be grateful, and never give up to give out our best. Siapa yang menyangka para anggota Sunny akan berkumpul lagi karena leader mereka sekarat? Meeting your best friend after a long time, knowing that she’s dying, could you even imagine how it feels? Siapa yang mengira bahwa Ryu Bok Hee yang semasa remaja begitu terobsesi untuk menjadi Miss Korea, justru berakhir sebagai janda beranak satu yang bekerja di kedai minuman sederhana? Mungkin tidak perlu sejauh ke masa depan, coba lihat yang lebih dekat dulu saja. Tak ada satu pun anggota Sunny yang menyangka bahwa mereka akan berpisah dengan cara yang tragis. Seperti yang saya sempat singgung sebelumnya, hidup ini penuh dengan ironi-ironi yang memabukkan manusia.



The fourth, lovers may come and go, but best friends stay forever. That may be cliché, but that’s the way it is. Even though they’re not by our side, they remain in our heart. We may lose our feelings to lovers, but we can’t ever lose our feelings to our best friends. We may reject when lovers want to comeback, but we can’t ever say no when best friends call for us. One of the sole reasons is that best friends are not only for the good times, but also for the bad times. Especially for girls, they become closer through tears. Orang-orang mengatakan, ketika persahabatan lelaki terjalin melalui baku hantam, maka persahabatan perempuan terjalin melalui air mata. The moment when girls share their tears, that’s when their friendship becomes real. Jung Su Ji adalah satu-satunya anggota Sunny yang masih bersikap dingin kepada Im Na Mi bahkan ketika ia telah resmi menjadi bagian dari mereka. Namun mereka justru menjadi sangat dekat setelah menumpahkan isi hati dan ganjalan dalam pikiran mereka, terlebih lagi, setelah mereka menangis bersama.
The fifth, friendship is everyone’s greatest treasure, while love is their greatest journey, and family is their eternal home. Ada tiga adegan yang mungkin sederhana namun berhasil meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Pertama, tentang persahabatan, adalah adegan ketika para anggota Sunny berkelahi dengan geng perempuan dari sekolah lain. Siapa bilang tawuran hanya buat cowok? Girls are fighting too in their own way of course. Kedua, tentang keluarga, adalah adegan ketika Im Na Mi dewasa menjenguk sang ibu di rumah sakit. Sang ibu begitu senangnya hanya dibawakan tas tangan oleh putrinya, meskipun belum tentu ia sanggup menggunakan tas itu karena ia sedang sakit. Ini menyentak saya sekali lagi, bahwa di saat si anak sibuk tumbuh dewasa, terkadang mereka lupa bahwa di saat yang sama sang orang tua juga menjadi lebih tua. Ketiga, tentang cinta, adalah adegan ketika Im Na Mi dewasa mencari cinta pertamanya, hanya karena ia penasaran seperti apa dan bagaimana cinta pertamanya itu kini menjadi. Terkadang seseorang mencari lagi cinta pertamanya bukan karena ia ingin kembali, namun hanya sekadar menamatkan rasa penasaran yang tersisa.
Last but not least, the movie’s plot is going back and forth in an interesting way. Menonton film ini tidak akan membuat para penontonnya merasa pusing dengan alur maju-mundur yang digunakan oleh sang sutradara. Justru, alur maju-mundur ini berhasil diolah secara apik sehingga menjadi kekuatan dari film ini. Usually flashbacks describe the past in a distinct manner, but this movie presents the past and present in a fluid narrative flow. Sang sutradara sendiri menyatakan bahwa, “I prefer criss-crossing between time rather than just a flashback.” Perpindahan time-frame dalam film ini menunjukkan konjungsi antara keputusan-keputusan yang diambil oleh para karakter ini pada masa lalu dan masa sekarang. Melalui alur tersebut, terlihat hubungan sebab-akibat atas keputusan-keputusan yang mereka ambil.


Lahir dari tangan dingin sutradara bertalenta, Kang Hyung Chul, “Sunny” menjadi box office hits pada tahun perilisannya dan menempatkan sang sutradara menjadi one of the highest grossing directors in South Korea, setelah film pertamanya, “Speed Scandal” alias “Scandal Makers” juga menjadi hits. “Sunny” juga melambungkan nama jajaran para pemerannya, terutama para aktris muda yang menghidupkan ketujuh karakter anggota Sunny versi remaja dengan sangat apik. Film ini meraih penghargaan dalam ajang bergengsi 48th Daejong Film Awards untuk kategori Best Director dan Best Editing. Best Director juga berhasil diraih Kang Hyung Chul atas film ini dalam ajang 2011 KOFRA Film Awards Ceremony. Aktris Kang So Ra pun memeroleh penghargaan dalam ajang 48th Paeksang Arts Awards sebagai Most Popular Actress berkat perannya sebagai Ha Chun Hwa versi remaja. Selain itu, “Sunny” juga menembus berbagai festival film internasional seperti Busan International Film Festival, Mumbai Film Festival, Shanghai International Film Festival, dan lain sebagainya. What more can I say about “Sunny”? Indeed, this movie has everything. It has so many to tell. And of course, this movie is very highly recommended. “Sunny” will leave a deep impression in everyone who watches it. It’s surely very worth to watch.

Wrote by Mashita Fandia
“So, there are only two kinds of song. Rock song and love song, right?” –Ped (Suckseed, 2011)

Ped: “Why do you listen to the music?”
Earn: “Well, I don’t know. There’s something like have a friend with us.” (Suckseed, 2011)

“It’s what I say. Music is not for competition. It’s for courting a girl, man!” –Khung (Suckseed, 2011)

“You don’t know, man. The one is in game will never see the vision. You stalk him, watch the way he courts, and write it down.” –Khung (Suckseed, 2011)

“If you like her, then go tell her. How could she know if you don’t tell, right?” –Earn (Suckseed, 2011)



Judul                : Suckseed
Genre               : komedi romantis
Sutradara          : Chayanop Boonprakob
Rilis                  : 17 Maret 2011
Durasi               : 125 menit
Distributor        : GMM Thai Hub
Pemain             : Jirayu Laongmanee, Pachara Chirathivat, Nattasha Nauljam

People say that when the chemistry is already there, then it’s all about timing. But the thing is, sometimes timing acts like a bitch. Love is not all about timing, because it doesn’t give a shit whether it’s the right time or not, but relationship is. And when the timing isn’t right, all that left is an unrequited love. Waktu adalah variabel yang kejam dalam cinta. Betapa dalamnya seseorang memendam rasa cinta untuk orang lain, ketika waktu tidak berpihak padanya, maka cinta itu takkan terwujud. Dan terkadang naasnya, ketika waktu telah berpihak pada cinta, ada beberapa hal lain yang harus dikorbankan sebagai gantinya, termasuk persahabatan. People say that lovers come and go, but bestfriends stay forever. But when they have to choose only one between love and friend, what would they choose? Bagi manusia, cinta dan persahabatan adalah perjalanan, dan perjalanan adalah pelajaran. Pelajaran yang memperkaya masa muda mereka, yang membentuk jati diri mereka, yang mendewasakan mereka. Sebuah film Thailand berjudul “Suckseed” mengisahkan tentang perjalanan anak manusia, dalam mengenal arti cinta dan persahabatan.



Kisah berawal ketika mereka duduk di bangku sekolah dasar. Ped adalah bocah laki-laki lugu dan pemalu yang diam-diam menyukai Earn, bocah perempuan yang ceria, enerjik, dan sangat menyukai musik. Tidak seperti bocah-bocah kebanyakan yang mudah mengutarakan perasaannya, Ped tidak memberitahu kenyataan bahwa ia naksir Earn kepada siapapun, termasuk sahabatnya sendiri, Khung. Hingga pada suatu hari, sebuah kesalahpahaman terjadi. Teman-teman sekelas mereka mengira bahwa Khung lah yang naksir pada Earn sehingga mereka berdua menjadi bahan ledekan. Namun Ped tidak mengatakan apa-apa untuk meluruskan rumor tersebut. Naasnya, kesalahpahaman itu terjadi tepat sebelum Earn pindah sekolah ke kota lain. Beberapa tahun pun berlalu, dan semenjak itu pula Ped tidak sanggup melupakan cinta pertamanya. Ia bahkan tidak menemukan perempuan lain untuk disukai, apalagi didekati.
Pada suatu hari ketika mereka telah duduk di bangku SMA, Ped (Jirayu Laongmanee) mendapati Earn (Nattasha Nauljam) kembali ke kota tersebut dan bersekolah di tempat yang sama dengannya. Earn telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan ceria, sementara Ped tumbuh menjadi lelaki yang tetap lugu dan pemalu. Sahabat Ped sejak kecil, Khung (Pachara Chirathivat) telah tumbuh menjadi lelaki yang cuek dan enerjik. Kecantikan Earn membuat Khung tertarik pada gadis itu. Secara terang-terangan ia mengatakan pada Ped bahwa ia menyukai Earn. Meskipun terkejut dan tak rela cinta pertamanya diambil begitu saja oleh sahabatnya sendiri, Ped tidak mengatakan apa-apa soal perasaannya. Khung yang impulsif kemudian memutuskan untuk membentuk sebuah band guna menyaingi band sekolah milik saudara kembarnya. Ia pun merekrut anggota bandnya satu persatu. Khung sendiri sebagai vokalis sekaligus gitaris, Ped sebagai bassist, Ex (Thawat Pornrattanaprasert) sebagai drummer, dan terakhir Earn sebagai gitaris. Keterlibatan dirinya dan Earn dalam satu band yang sama membuat perasaan Ped semakin dalam untuk gadis itu.



Para filmmaker Thailand sepertinya semakin mahir dalam memroduksi film yang sanggup mengaduk-aduk emosi penonton, bahkan dalam bentuk film yang paling ringan menghibur sekalipun, yaitu drama remaja. “Suckseed” telah sukses menuangkan realitas kehidupan remaja dari berbagai sisi dalam sebuah kisah yang tidak hanya kocak dan mengundang gelak tawa, melainkan juga memiliki makna dalam mengenai persahabatan dan cinta di baliknya. Spoiler alert, ketidakterbukaan dapat menimbulkan perpecahan dalam persahabatan yang sedalam apapun telah dijalin. Maka saya menemukan kisah dalam film ini sangat mendekati realitas ketika pada akhirnya Ped kehilangan baik sahabatnya, Khung, dan cintanya, Earn. Tidak satupun dari mereka bertiga yang berakhir bersama. Believe it or not, kejadian yang serupa benar-benar pernah terjadi dalam circle pertemanan saya sendiri. Selain itu, saya mencatat beberapa aspek yang memberi makna dalam film ini.
First of all, you gotta be true to yourself. Karena jujur terhadap diri sendiri adalah langkah awal untuk dapat mengatakan kejujuran pada orang lain. Setidaknya apabila kita belum sanggup menjadi jujur pada orang lain, jujurlah pada diri kita sendiri sebagai tahap awal untuk menuju ke sana. Menyorot kehidupan seorang remaja dari sosok Ped, ia menemukan dirinya kesusahan untuk memahami perasaannya sendiri. Ia jelas-jelas merasakan cinta untuk Earn, hanya saja ia enggan untuk mengakuinya, baik pada dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya, termasuk sahabatnya sedari kecil, Khung. Dalam satu adegan, Khung berkata tentang Ped, “Spending a long time with him, I never saw him courting anyone.” Maka ketika Khung kemudian mendapati bahwa Ped ternyata telah menyukai Earn sejak lama, ia merasa terkhianati. Bukan karena Ped memutuskan untuk berpacaran dengan gadis yang telah menolak cinta Khung, melainkan karena Ped tidak pernah mengatakan kejujuran tentang perasaannya untuk Earn kepada Khung. Padahal jauh sebelum Khung mendekati Earn, lelaki itu telah menanyakan berkali-kali pada Ped apakah ia juga menyukai Earn, namun waktu itu Ped tetap berbohong dan mengatakan bahwa ia tidak memiliki perasaan apa-apa untuk gadis itu.
The second is that being too impulsive is not too good, because sometimes you gotta listen to your surrounding. Meneropong kehidupan remaja dari sosok Khung, ia adalah bocah ambisius nan impulsif yang melakukan apa saja atas kehendaknya sendiri. Seorang tipe leader, bukan follower. Sayangnya, sifat ini tidak didukung dengan sikap yang demokratis. Ia sangat jarang, bahkan cenderung tidak pernah, mendengarkan pendapat orang-orang di sekitarnya. Ini membentuk Khung menjadi pribadi yang egosentris. Don’t blame him, because he lives every single day with people who always comparing him to his ‘perfect’ twin brother, Kay.



The third is that sometimes boys do have thinking like girls. Perempuan memiliki pemikiran bahwa hanya ada dua kemungkinan tentang laki-laki yang tampan, yaitu antara ia adalah seorang bajingan atau homoseksual. Ternyata, laki-laki memiliki pemikiran serupa tentang perempuan. Ada satu adegan ketika cinta Ex kepada gadis pujaannya harus kandas karena gadis itu lebih memilih kawan tomboinya. Lalu kemudian Ped, Khung, dan Ex pergi ke kota lain untuk mengintip sekolah khusus perempuan di sana. Ketika tak juga muncul perempuan cantik yang mereka harapkan, Khung berkata, “Cool down, man. Girls like them always have a cute friend.” Namun kemudian ketika perempuan cantik muncul, mereka tidak sendirian. “The cute girl always couples with … a tomboy.” Pada titik ini mereka bertiga menemui jalan buntu karena di dekat perempuan cantik pasti ada seorang tomboi yang menghalangi jalan mereka.
The fourth is that this movie depicts the real high school life. Naksir dengan teman sekelas, naksir dengan teman satu sekolah, membentuk sebuah band karena sama-sama menyukai musik, adalah tiga di antara sekian banyak hal yang pasti ditemukan dalam kehidupan remaja. Membaca komik di kelas, bermain kartu, dan mencoba segala hal baru yang menarik perhatian mereka, itulah remaja. Siapa yang tidak pernah melewati fase seperti ini? Setiap orang pasti memiliki cerita nakalnya semasa sekolah, dan film ini menghadirkan kembali masa-masa penuh gairah itu.
The last but not least, this movie shows the transformation of music technology. Sebagai background cerita, musik memegang peranan penting dalam film ini. Kita dapat melihat transformasi yang terjadi dalam teknologi alat pemutar musik di sini. Penggunaan walkman adalah tren ketika mereka masih duduk di bangku SD, yang kemudian digantikan dengan penggunan CD player ketika mereka duduk di bangku SMA. Finalnya, ketika mereka telah tumbuh dewasa menjadi seorang mahasiswa, CD player telah digantikan oleh MP3 player dan iPod. Selain transformasi teknologi alat pemutar musik, kehadiran para musisi papan atas Thailand sebagai cameo dalam film ini juga menjadi daya tarik yang membuat musik terasa menjadi lebih hidup.



Pada akhirnya, “Suckseed” adalah film tentang pencarian remaja atas jati diri mereka. Tentang bagaimana mereka mengenal persahabatan dan cinta. Tentang bagaimana mereka menyelami perjalanan dan memahami kehidupan. Dibingkai dalam kisah komikal yang sangat menghibur, “Suckseed” merupakan tontonan yang dapat dinikmati untuk membangkitkan semangat. Meskipun merupakan aktor dan aktris muda, akting para pemerannya terlihat sangat natural. This movie brings the excitement of youth life. And indeed, “Suckseed” is highly recommended!

“Well, from now on, we’re all reborn again. Leave all disturbances behind, and soon, our band will be on stage in there.” –Khung (Suckseed, 2011)

“Never mind, we’ll walk forward. There is a hope waiting. Maybe born to be a loser, but not born to be weak. Just a little bit more. Have to go a little bit more. Even if it still sucks, life is suck, then we will suck together. This life needs to try a bit. It’s maybe good for a bit more. Even if we suck, life is so suck, we will suck together.” (Suckseed, 2011)

Wrote by Mashita Fandia
Newer Posts Older Posts Home

About Me

About Me
29 | music | movies | cultural studies

Featured post

Out of the Woods

Let’s analogizing a (romance) relationship as a tropical forest, with all of its maze of trees, wild animals, and dangerous gorges; t...


TSOGM - a fiction

TSOGM - a fiction
Click on the picture to read the stories. Enjoy! ;)
Powered by Blogger.

Blog Archive

  • ►  2020 (8)
    • ►  March (4)
    • ►  February (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  September (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2018 (199)
    • ►  November (21)
    • ►  October (18)
    • ►  September (19)
    • ►  August (18)
    • ►  July (17)
    • ►  June (17)
    • ►  May (20)
    • ►  April (17)
    • ►  March (19)
    • ►  February (15)
    • ►  January (18)
  • ►  2017 (223)
    • ►  December (18)
    • ►  November (23)
    • ►  October (18)
    • ►  September (18)
    • ►  August (23)
    • ►  July (17)
    • ►  June (17)
    • ►  May (17)
    • ►  April (23)
    • ►  March (17)
    • ►  February (15)
    • ►  January (17)
  • ►  2016 (38)
    • ►  December (16)
    • ►  November (6)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (5)
    • ►  June (1)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
    • ►  March (5)
  • ►  2015 (189)
    • ►  November (14)
    • ►  October (20)
    • ►  September (17)
    • ►  August (17)
    • ►  July (18)
    • ►  June (18)
    • ►  May (17)
    • ►  April (17)
    • ►  March (19)
    • ►  February (16)
    • ►  January (16)
  • ►  2014 (199)
    • ►  December (16)
    • ►  November (18)
    • ►  October (18)
    • ►  September (16)
    • ►  August (16)
    • ►  July (17)
    • ►  June (16)
    • ►  May (17)
    • ►  April (16)
    • ►  March (17)
    • ►  February (15)
    • ►  January (17)
  • ▼  2013 (195)
    • ►  December (16)
    • ►  November (15)
    • ►  October (17)
    • ►  September (15)
    • ►  August (16)
    • ▼  July (17)
      • When A Woman Loves
      • Ada Apa dengan Cinta?
      • Sang Penari
      • Sunny
      • Suckseed
      • The Secret Agents Couple
      • Getting Married
      • Only Tears
      • Suddenly
      • The Sound of Rain
      • Don't Cry
      • The Girl Who Can't Say Goodbye, The Boy Who Can't ...
      • For A Person Like Me, You're The Answer
      • Stop Hurting
      • Don't Love Me
      • Memories of Bali
      • The Princess' Man
    • ►  June (18)
    • ►  May (16)
    • ►  April (16)
    • ►  March (16)
    • ►  February (17)
    • ►  January (16)
  • ►  2012 (215)
    • ►  December (18)
    • ►  November (20)
    • ►  October (17)
    • ►  September (18)
    • ►  August (16)
    • ►  July (18)
    • ►  June (18)
    • ►  May (19)
    • ►  April (17)
    • ►  March (20)
    • ►  February (18)
    • ►  January (16)
  • ►  2011 (18)
    • ►  December (13)
    • ►  November (5)

FOLLOW US @ INSTAGRAM

Copyright © 2016 pieces of me. Designed by OddThemes & Blogger Templates