A Crazy Little Thing Called Love
“Why does our time never match?”
–Shone (First Love, 2010)
“I have something to tell you. I
like you very much. I’ve been loving you for these three years. I've done
everything, changed myself in every aspect because of you. I applied for a
classical dancer club, played a stage drama, be a drum major, be better at
studying. It's for you. But I know for now that the thing that I should do the
most, and should have done since a long time ago is telling you straightly that
I love you.” –Nam (First Love, 2010)
Judul : First Love (A Little Thing Called Love)
Genre : komedi romantis
Sutradara : Puttipong Promsaka Na Sakolnakorn, Wasin Pokpong
Rilis : 12 Agustus 2010
Durasi : 118 menit
Distributor : Sahamongkol Film International
Pemain : Mario Maurer, Baifern Pimchanok Luevisadpaibul
Cinta pertama. Kata orang,
ingatan manusia tentang cinta pertama mereka tidak akan pernah hilang. Ingatan
itu mungkin mengendap dan memudar, tetapi ia akan selalu ada. Cinta pertama
hadir ketika manusia telah memiliki rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya,
yang pada umumnya dialami ketika mereka masih remaja dan menginjak usia
pubertas. Pada saat itu, berbagai hal dapat terjadi akibat cinta pertama,
kekonyolan, kepolosan, hal-hal yang menuntun seseorang pada pendewasaan.
Hal-hal yang membuat mereka mengenal tentang sesuatu yang disebut cinta.
Pengalaman cinta pertama yang akan mereka kenang dan membuat mereka tersenyum
ketika mengingatnya kelak. Sebuah film Thailand berjudul “First Love”, atau
yang terkenal juga dengan judul “A Little Thing Called Love”, membawa kita pada
kenangan tentang cinta pertama di usia muda yang penuh dengan gejolak.
Adalah
Dengan ketiga sahabatnya yang
setia dan pantang menyerah dalam mendukung Nam, serta partisipasi dari guru
Bahasa Inggris yang selalu mendorong Nam untuk mengerahkan sisi terbaiknya, Nam
akhirnya berhasil menjadi seorang murid berprestasi dan populer. Tidak hanya
itu, ia pun berhasil masuk ke dalam lingkaran pertemanan Shone, kakak kelas
yang diam-diam disukainya. Sayangnya, untuk hal yang satu itu Nam secara
tidak langsung memanfaatkan rasa suka sahabat Shone sendiri kepadanya. Adalah
Top (Acharanat Ariyaritwikol), sahabat masa kecil Shone yang kemudian pindah ke
sekolah yang sama dengan Shone dan Nam . Sejak hari pertama ia pindah
ke sekolah itu, Top telah menaruh perhatian kepada Nam . Laki-laki itu bahkan secara
terang-terangan mengatakan pada Shone bahwa ia benar-benar menyukai Nam . Konflik
mulai bermunculan ketika Nam
telah memasuki lingkaran pertemanan Shone. Selain harus bergelut dengan
perasaannya sendiri dan perhatian yang ia peroleh dari Top, ia juga menghadapi
kenyataan bahwa ia semakin jauh dari ketiga sahabatnya, yang bahkan tanpa
keberadaan mereka, tidak mungkin ia sanggup mencapai posisinya saat ini.
It’s good to know that “First Love” is not just another rom-com movie. Despite being a comedic movie that brings great laughter, this movie also brings the sentimental feelings of first love’s experiences at the same time. Menjadi catatan saya adalah adegan pengungkapan perasaan
First of all, Nam ’s character transformation. Film ini
menunjukkan bahwa cinta adalah kekuatan aneh yang bahkan sanggup mengubah
seekor itik buruk rupa menjadi angsa putih yang cantik. And yes, in the name of love,
the ugly duckling turns into a beautiful
white swan. Bagi seorang Nam ,
berusaha menggapai Shone adalah bagaikan pungguk merindukan bulan. Namun rasa
cinta yang ia miliki memberinya kekuatan untuk mengubah dirinya menjadi lebih
baik. Dari seorang yang bukan siapa-siapa menjadi seorang Nam yang dikenal seantero sekolah
berkat prestasi dan kecantikannya. I love
how this story depicts the bright side of love that brings out the best in
people who feel it. Bagaimana pun hasil akhirnya, cinta telah membawa Nam
untuk berproses menjadi pribadi yang lebih dewasa.
Kedua, bahwa (lagi-lagi) cinta
layak untuk diperjuangkan. Perubahan Nam menjadi sosok yang lebih baik
dari sebelumnya adalah perjuangannya dalam upaya untuk mendapatkan cinta.
Meskipun selama proses itu ia tidak melakukan satu hal yang paling penting
untuk dilakukan, yaitu mengungkapkan perasaannya. But this thing happens to the most of first loves. First love is usually left unspoken.
Satu rasa kecewa saya pada karakter Nam adalah ketika ia tidak menolak
perasaan sahabat Shone, Top, yang menyukainya. Alih-alih mengatakan sejujurnya
sejak awal bahwa ia menyukai orang lain, ia justru memanfaatkan perasaan Top
untuk menjadi lebih dekat dengan Shone dan masuk ke dalam lingkaran pertemanan
mereka. Ketika akhirnya Nam
menyadari kesalahannya, ia telah terlambat. Namun di sisi lain, Shone pun tidak
dapat berkata apa-apa ketika melihat sahabatnya mendekati gadis yang ia cintai.
Bagaimana pun, pengungkapan adalah bagian dari perjuangan, dan cinta takkan
terasa nyata sebelum ia diungkapkan.
Ketiga, bahwa cinta adalah soal waktu. Love doesn’t always happen with a right man at the right time, but we can only make it happen with a right man at the right time. Shone menanyakan pada dirinya sendiri dalam film ini, “Why does our time never match?” Film ini menunjukkan bahwa betapa waktu merupakan variabel yang memiliki andil sangat besar dan menentukan dalam kehidupan percintaan seseorang. Bahkan ketika dua orang sudah saling menyukai bahkan menyayangi, apabila waktu tak berpihak pada mereka pun, mereka belum dapat bersama. Ketika waktunya belum tepat bagi
Keempat, meski tersirat, film ini
juga mengangkat makna dalam sebuah persahabatan. Adalah ketiga sahabat Nam
sejak kecil, yang memiliki peran signifikan dalam membantu gadis itu untuk
meng-upgrade dirinya hingga ia merasa
pantas bersanding dengan Shone. Ketika Nam pada akhirnya berhasil masuk
dalam lingkaran pertemanan Shone, gadis itu sesaat lupa pada
sahabat-sahabatnya, yang membuat para sahabatnya kemudian merasa kecewa dan
menjauhinya. Hal ini kerap terjadi dalam pola pertemanan gadis remaja. Namun
seperti dalam film ini pula, sahabat sejati akan selalu memaafkan. Mereka ada
tidak hanya pada saat suka semata, melainkan juga saat duka. Sisi lain
persahabatan juga terlihat dalam hubungan Shone dan Top. Demi menjaga perasaan
sahabatnya, Shone rela menekan perasaannya sendiri. Di sisi lain, Top pernah
bertanya kepada Shone apakah ia memiliki ketertarikan pada Nam , namun waktu itu Shone menjawab
tidak. Atas dasar itulah kemudian Top berani memantapkan diri untuk mendekati Nam .
Dari situ terlihat bahwa sebenarnya Top juga menjaga perasaan Shone sebagai
sahabatnya.
Last but not least, this
movie brings back the excitement of first love. Puluhan, mungkin bahkan
ratusan, film telah mengangkat tema tentang cinta pertama. Namun hanya beberapa
yang sanggup bertahan di ingatan untuk waktu yang lama. “First Love” adalah
salah satu yang berhasil menancapkan pengaruhnya. Sepintas memang film ini
seperti tidak menawarkan sesuatu yang baru, alur ceritanya sudah umum ditemui
dalam berbagai cerita orang kebanyakan. Namun justru disitulah letak kekuatan
film ini, yaitu pada alur cerita yang mendekati realitas orang kebanyakan. Gadis remaja mana yang belum pernah naksir
pada seniornya di sekolah? Bahkan hal-hal konyol yang dilakukan Nam
untuk Shone pasti pernah dilakukan oleh sebagian besar gadis seumurannya.
Memandang si idola dari kejauhan, sengaja lewat di depan ruang kelasnya hanya
untuk melihatnya sejenak, meninggalkan cokelat dan hadiah di kendaraannya,
menelpon tanpa berkata apa-apa hanya untuk mendengar suaranya, dan lain
sebagainya. Adegan-adegan dalam film ini realistis, kecuali mungkin pada bagian
akhirnya, ketika Nam
dan Shone bertemu lagi. Bukan hal yang mustahil memang, ketika akhirnya kita
bertemu lagi dengan cinta pertama kita dan kemudian bisa bersama dengannya,
hanya saja hal-hal seperti itu ‘just too
good to be true’. Apalagi setelah selang sembilan tahun lamanya. Namun
tidak ada yang tidak mungkin ketika Tuhan telah berkehendak. Hanya saja tak
semua orang mengalami kisah cinta seperti di film.
“First Love” became the Asian sleeper hit on 2011, after the local success in its home country,
Thailand , on 2010. Pertama, film ini diproduksi dengan budget yang tergolong rendah, serta dengan promosi yang sederhana.
Kedua, film ini ber-genre komedi
romantis, yang mana di Thailand
bukan merupakan genre favorit. Namun
terlepas dari dua hal tersebut, “First Love” berhasil menuai popularitas, tidak
hanya di Thailand saja,
melainkan di seluruh Asia . Film ini tidak
hanya melambungkan nama para pemeran tokoh di dalamnya, melainkan juga membawa
mereka pada berbagai penghargaan di ajang-ajang bergengsi. “First Love” juga
ditayangkan di beberapa festival film internasional, seperti Shanghai
International Film Festival dan Okinawa International Movie Festival. Tidak
heran bahwa film ini mendapatkan tanggapan positif dari para kritikus film. Indeed, this movie is highly recommended! The fresh and light-hearted story will brighten your day. At the same time, the plot and some scenes will make you recall the excitement of first
love. Unless you have a cold stone
heart, this movie will touch you
emotionally.
“All of us have someone who is hidden in the bottom of the heart. When
we think of him, we will feel like always feel a little pain inside. But we
still want to keep him. Even though I don’t know where he is today, what he
is doing.
But,
he is the one who makes me know a crazy little thing called love.” –Nam (First
Love, 2010)
Tags:
a crazy little thing called love
a little thing called love
baifern pimchanok luevisadpaibul
first love
mario maurer
movie
thai movie
0 komentar