Mei Li :
“What if you have a boyfriend, but he’s
not available to eat with you? He doesn’t have time to go anywhere with you.
Then what’s the use in having a boyfriend?”
Ped :
“People don’t have boyfriends or
girlfriends to be together all the time. They have them to know that there’s
still someone who loves them.”
–
Bangkok Traffic
Love Story, 2009
Judul : Bangkok
Traffic Love Story
Genre : komedi romantis
Sutradara : Adisorn Tresirikasem
Rilis : 15 Oktober 2009
Pemain : Cris Sirin Horwang, Ken Theeradej Wongpuapan
Cinta dapat ditemukan di mana
saja, kapan saja. Kita tidak akan pernah tahu kapan kita akan bertemu dengan
jodoh kita, di mana, dalam kondisi seperti apa. Bahkan di tengah lalu lintas kota Bangkok
yang padat sekalipun, kita dapat menemukan cinta. “Bangkok Traffic Love Story”
memotret kisah cinta dua orang anak manusia di tengah lalu lintas kota Bangkok
yang ramai. Film komedi romantis asal negeri Gajah Putih ,
Thailand , ini menggambarkan
dengan manis sebuah kisah cinta dengan latar belakang kota
Bangkok serta
hiruk pikuk lalu lintas kotanya, baik di siang maupun malam hari.
Masih single di usia yang tidak dapat dikatakan muda lagi, ditambah dengan kenyataan bahwa sahabat terbaiknya sejak kecil baru saja menikah, membuat Mei Li (Cris Sirin Horwang) berakhir dalam kondisi mabuk pada malam pernikahan sahabatnya di Hari Valentine. Namun siapa sangka, kejadian malam itu justru menjadi pembuka jalan bagi Mei Li untuk menemukan cinta sejatinya. Cerita diawali dengan rasa depresi Mei Li yang ditinggal menikah sahabatnya, Ped (Panissara Phimpru). Kondisinya yang sangat mabuk membuatnya baru tersadar pada pukul 4 pagi. Dalam perjalanan pulangnya, Mei Li mengalami kecelakaan kecil. Saat itulah ia bertemu dengan Loong (Ken Theeradej Wongpuapan), pria tampan yang baru pulang bekerja shift malam sebagai engineer di BTS Skytrain.
Mei Li memang baik-baik saja
dalam kecelakaan itu, namun mobilnya rusak parah. Akibatnya, ia harus berangkat
bekerja menggunaan kendaraan umum. Padahal, letak kantornya yang sangat jauh
dari rumah mengharuskannya berganti lima
kendaraan umum untuk sampai ke tujuan. Maka dimulailah petualangan Mei Li
menghadapi ganasnya lalu lintas kota Bangkok di siang hari. Namun
rupanya takdirnya dengan Loong tidak berakhir pada malam ketika ia mabuk saja.
Mei Li mendapati bahwa perawat neneknya bercinta di atap rumahnya dengan si
pacar, yang tak lain tak bukan adalah penjaga rumah Loong. Alhasil, mereka
berdua bertemu lagi ketika Loong datang ke rumah Mei Li untuk menjemput penjaga rumahnya. Mei
Li yang sudah terpesona dengan keteduhan wajah Loong sejak pertemuan pertama
mereka, makin terpana pada pertemuan kedua itu.
Pertemuan ketiga mereka,
lagi-lagi secara tidak sengaja, adalah di stasiun BTS pada malam hari ketika
Mei Li tengah dalam perjalanan pulang dari kerjanya, sementara Loong dalam
perjalanan menuju kantornya. Sejak saat itu, Mei Li selalu mencari cara untuk
bertemu dengan Loong. Entah harus disebut sebagai kesialan atau keberuntungan,
atau mungkin kesialan yang membawa keberuntungan, setiap pertemuan Mei Li
dengan Loong selalu diwarnai dengan kesialan. Kesialan yang pada akhirnya
membuat mereka bertemu kembali, lagi dan lagi. Well, I guess this is what
people called destiny.
Sedari ia remaja, Mei Li tidak
pernah mendekati para pria. Salah interpretasi dari nasihat ibunya lah yang
membuat Mei Li percaya bahwa perempuan tidak boleh mendekati lebih dulu dan
tergila-gila pada pria. Hal ini pula yang membuat Mei Li tidak pernah memiliki
pacar. Kini, di usianya yang telah matang dan teman-teman dekatnya yang telah
menikah, Mei Li memutuskan untuk mengambil sikap berbeda terhadap Loong. Karena
minim pengalaman, ia meminta bantuan Plern (Ungsumalynn Sirapatsakmetha),
remaja cantik yang juga tetangganya, yang memiliki banyak pengalaman dekat
dengan para pria. Namun ketika bertemu dengan Loong, alih-alih membantu Mei Li,
Plern justru mendekati Loong untuk kepentingan dirinya sendiri.
Merasa tidak ada gunanya
mengandalkan Plern, Mei Li mengambil tindakan atas instingnya sendiri. Akankah
Mei Li yang lugu dan polos serta tanpa pengalaman ini sanggup mendapatkan hati
Loong? Rupa-rupanya, justru keluguan dan kepolosan, serta kebanyakan adalah
kekonyolan, Mei Li lah yang membuat hati Loong akhirnya tertambat pada wanita
ini. Puncaknya, Loong mengajak Mei Li untuk merayakan Songkran (Tahun Baru
Thai) bersama. Tradisi dalam perayaan Songkran adalah perang air, di mana pada
hari libur nasional itu orang-orang turun ke jalanan untuk bermain air dengan
keluarga, kawan, tetangga, bahkan orang-orang yang tidak mereka kenal. Naas
bagi Mei Li, pada hari libur yang berbahagia itu, ia mendapati kenyataan bahwa
dua hari lagi Loong akan berangkat ke Jerman untuk melanjutkan studinya.
Meskipun menyadari bahwa memiliki
seorang kekasih bukan berarti harus bersama-sama setiap saat, kegundahan Mei Li
tidak hanya disebabkan karena Loong akan pergi ke luar negeri, melainkan juga
karena shift kerja mereka yang
berbeda. Mei Li bekerja pada siang hari, sementara Loong pada malam hari.
Meskipun mereka tetap bersama, sekembalinya Loong dari luar negeri pun mereka
akan sangat jarang bertemu apabila kondisi yang sama tetap berlaku. Berpikir
bahwa hubungan itu takkan berhasil, Mei Li memutuskan untuk mengakhirinya
sebelum terlalu dalam. Pada hari kepergian Loong, sebuah kotak yang berisi
benda-benda kenangan kebersamaan singkat mereka sampai ke tangan Mei Li.
Melihat benda-benda itu, Mei Li menyadari perasaan Loong kepadanya bahkan sejak
pertemuan pertama mereka. Namun ketika ia menyusul ke bandara, semuanya telah
terlambat. Loong telah pergi. Waktu berlalu dan dua tahun kemudian, rupanya
takdir Mei Li dan Loong belum berakhir.
Dibalik cerita film ini yang
secara keseluruhan luar biasa dan kocak mengocok perut, tersimpan kisah cinta
Mei Li dan Loong yang sanggup menyentak kita akan kenyataan yang ada, bahwa
setidaknya cinta memerlukan pengorbanan. Cinta memang bukan berarti harus
bertemu setiap hari, makan bersama setiap saat, namun setidaknya cinta
membutuhkan kebersamaan. Kebersamaan atas hasil pengorbanan masing-masing pihak
terhadap waktu yang mereka miliki, untuk diberikan kepada orang yang mereka
cintai. Sutradara film ini, Adisorn Tresirikasem, berhasil membungkus ide ini
dalam jalan cerita “Bangkok Traffic Love Story” yang segar, ringan, dan sangat
menghibur.
Terdapat dua adegan paling
menyentuh versi saya dalam film ini. Pertama, ketika Mei Li memperoleh ‘kotak
kenangan’ yang diberikan oleh Loong. Melalui kotak itu, kita ditunjukkan bahwa
ternyata perasaan Mei Li sedari awal tidak bertepuk sebelah tangan. Pria itu pun
telah tertarik padanya. Ia bahkan menyimpan seluruh barang-barang yang
dirusakkan oleh Mei Li sejak pertemuan pertama mereka, menghasilkan sebuah twist yang sempurna di saat menjelang
penghujung film ini. Sesuatu yang menahan Loong untuk mengutarakan perasaannya
kemudian terungkap bahwa karena ia akan segera pergi ke luar negeri. Itulah
mengapa ia merasa ragu dan tidak mengambil sikap sebelumnya terhadap Mei Li.
Kedua, ketika dua tahun kemudian
Mei Li dan Loong bertemu kembali. Pada waktu itu Mei Li telah berganti
pekerjaan sehingga ia kini bekerja pada malam hari. Sebaliknya, sekembalinya
Loong dari Jerman, ia kini bekerja pada shift
siang hari. Fakta ini membuktikan bahwa mereka masih berharap pada hubungan
mereka dulu, dan kedua-duanya rela mengorbankan diri untuk berganti pekerjaan
supaya dapat saling bertemu. Meskipun yang terjadi kini waktu bekerja mereka
tetap berbeda, setidaknya usaha mereka untuk berganti pekerjaan telah menjadi
bukti pengorbanan dan harapan atas hubungan mereka. Fakta inilah, yang meskipun
tidak terucapkan dalam dialog film ini, membuat Loong berani untuk datang
kepada Mei Li, bahkan setelah dua tahun lamanya mereka terpisah.
“Bangkok Traffic Love Story”
memotret kehidupan wanita lajang di kota
urban dengan sangat apik. Dengan segala mimpinya untuk menemukan Mr. Right di
tengah kesibukan pekerjaannya dan semua temannya yang telah menikah, Cris Sirin
Horwang sanggup menghidupkan karakter Mei Li yang comical dan clumsy dengan
sempurna. Begitu pula dengan Ken Theeradej Wongpuapan. Gambaran seorang pria
lajang mapan nan baik hati, yang langka ditemukan dalam kenyataan, dapat
dilakoni oleh Ken dengan sangat baik. Meskipun cerita ini ringan, “Bangkok
Traffic Love Story” berakhir bahagia tanpa sesuatu yang klise. Tidak ada adegan
tokoh utama yang batal pergi karena tidak ingin meninggalkan orang yang
dicintainya, tidak ada adegan perpisahan mengharu biru di bandara, semuanya
terkesan sangat realistis.
Kekuatan utama film ini terletak
pada humor-humor slapsticks yang
digunakannya. Berkali-kali penonton dapat dibuat terkikik bahkan tergelak
berkat tingkah-tingkah konyol para karakternya serta kejadian-kejadian super hilarious yang di luar dugaan. Indeed, “Bangkok Traffic Love Story”
menyimpan banyak kejutan dan pesona. Melalui film ini Thailand
berhasil membuktikan bahwa mereka tidak hanya piawai dalam menghasilkan film
ber-genre horor saja, melainkan juga
komedi romantis. Bukan hanya sekadar komedi romantis biasa, film ini berhasil
keluar dari paradigma komedi romantis a la Hollywood
yang menonjolkan adegan intim seperti berciuman. Tanpa adegan ciuman sekalipun,
“Bangkok Traffic Love Story” sanggup membuat penonton berdecak merasakan
keromantisan dalam film ini. So, this movie is surely super recommended.
“Last Valentine’s day, if this
thing had landed on my head, we probably wouldn’t have met. ‘Cause I would have
had to go to the hospital first.
If this hadn’t broken, I probably
would have never seen this. I’m sorry. I really didn’t have the courage to
call. Even if I used it now, it’s probably too late.
I want to hear you sing this
song.
People usually go watch a movie
on their first date. But we watched the stars during the middle of the day. Wasn’t
that romantic?
Although the camera is broken,
the memory is fine.” –Loong’s last letter for Mei Li (Bangkok Traffic
Love Story, 2009)
Wrote by Mashita Fandia